14/11/09

Pencapaian dan Tantangan Ekonomi India

THEE Kian Wie

Dalam pidato pembukaan National Summit 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, Indonesia harus menerapkan moto ”Indonesia Bisa”. ”Jika China bisa, India bisa, Indonesia juga harus bisa,” kata Presiden.

Meski China dan India sering disejajarkan sebagai dua raksasa ekonomi Asia yang telah tumbuh pesat selama dua-tiga dasawarsa, pencapaian ekonomi India kurang diketahui dibandingkan dengan pencapaian ekonomi China.

Ekonomi India

India mengalami laju pertumbuhan ekonomi yang lamban selama beberapa dasawarsa, rata- rata hanya 3,0 persen setahun, sehingga diejek sebagai ”laju pertumbuhan Hindu”. Baru pada akhir pemerintahan Rajiv Gandhi, akhir 1980-an, terutama setelah 1991 saat Manmohan Singh, menteri keuangan meluncurkan program reformasi ekonomi yang luas, ekonomi India mulai tumbuh lebih pesat.

Program reformasi ekonomi ini meliputi deregulasi sektor keuangan dan liberalisasi kebijakan perdagangan yang proteksionis dan kebijakan investasi asing langsung yang amat restriktif. Dampak kumulatif program reformasi kebijakan ekonomi berhasil mendorong investasi swasta langsung, termasuk swasta asing, sehingga meningkat 7-8 persen dari produk domestik bruto (PDB) India dalam 4-5 tahun.

Sejak liberalisasi ekonomi awal 1990-an, India muncul sebagai negara utama dalam teknologi informasi (TIK) dan komunikasi dan BPO (business process outsourcing), yang berhasil meningkatkan pertumbuhan rata-rata 6,0 persen setahun (dua kali ”laju pertumbuhan Hindu” yang hanya 3,0 persen).

Pertumbuhan ekonomi kian pesat, terutama sejak 2002, membuat India disejajarkan dengan China, dua negara adidaya ekonomi Asia. Dalam beberapa tulisan tentang ekonomi India dan China, orang menggunakan istilah Chindia, yaitu kedua raksasa ekonomi yang tumbuh pesat, setidaknya sampai mereka terkena dampak negatif krisis finansial dunia (GFC). Amat mungkin, India dan China kelak akan muncul sebagai dua ekonomi terbesar di dunia, seperti pada abad ke-15.

Menjadi adidaya ekonomi

Ada tiga hal yang membuat negara menjadi adidaya ekonomi. Pertama, skala ekonomi negara itu harus besar sehingga memengaruhi ekonomi dunia.

Kedua, ekonomi negara itu harus dinamis sehingga memberi sumbangan pertumbuhan ekonomi dunia. Ketiga, ekonomi negara itu harus terbuka pada arus perdagangan luar negeri dan arus modal asing sehingga berdampak besar pada ekonomi negara lain.

Berdasarkan tiga tolok ukur ini, China merupakan negara adidaya ekonomi, tetapi India belum meski ada potensinya.

Pada tahun 1990 hingga 2002, laju pertumbuhan ekonomi India rata-rata 6,0 persen setahun. Namun, tahun 2002-2008, ekonomi India tumbuh hampir 9,0 persen setahun (1 persen lebih rendah dari China yang tumbuh 10 persen setahun, sebelum kedua negara ini terkena dampak negatif GFC). Dengan laju pertumbuhan 6,0 persen setahun, tingkat hidup rata-rata orang India meningkat empat kali lipat dalam 40 tahun. Dengan laju pertumbuhan 9,0 persen setahun, tingkat hidup orang India bisa meningkat 16 kali lipat.

Meski India dan China tumbuh pesat selama dua dasawarsa, PDB China dua kali lebih besar daripada PDB India. Pertambahan dalam perdagangan luar negeri China tiap tahun juga lebih besar dari jumlah total perdagangan luar negeri India. China juga berhasil menarik investasi asing langsung tiap tahun, jauh melebihi total investasi asing langsung yang berhasil diterima India dalam 60 tahun.

Tenaga kerja

China mengalami boom industri manufaktur padat karya yang didirikan investor asing dari negara-negara industri baru (NIB) Asia Timur, khususnya Hongkong, Taiwan, dan Korea Selatan. NIB menciptakan lapangan kerja baru bagi puluhan juta pekerja kurang terampil dari pedalaman China. Sedangkan pertumbuhan ekonomi India kurang berhasil menciptakan lapangan kerja baru. Ini disebabkan pertumbuhan India, terutama dipicu sektor jasa, khususnya TIK dan BPO, yang hanya mempekerjakan 5-10 juta pekerja terampil.

Faktor penting yang merintangi pertumbuhan ekonomi India adalah elite politik India. Berbeda dengan elite politik China yang merangkul ideologi kapitalisme (tetapi tidak demokrasi liberal Barat), elite politik di India umumnya masih terkungkung ideologi sosialisme. Karena itu, di India privatisasi perusahaan negara yang tidak efisien amat ditentang elite politik sehingga memerlukan subsidi besar pemerintah.

Dengan kebijakan perburuhan yang usang warisan pemerintah kolonial Inggris dan kebijakan yang menyediakan bidang-bidang usaha kecil, pertumbuhan sehat usaha kecil dan industri padat karya amat dirintangi.

India juga mempunyai sistem finansial lebih sehat dan efisien daripada China. India juga mewarisi dua hal baik dari Raja Inggris, yaitu kepastian penegakan hukum dan penguasaan bahasa Inggris yang baik. Hal ini merupakan faktor amat penting yang mendorong perkembangan pesat industri jasa-jasa teknologi informasi India.

THEE Kian Wie Staf Ahli Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar