Syamsul Hadi
Tanggal 14-15 November, KTT Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik atau APEC berlangsung di Singapura dengan tema ”Sustaining Growth, Connecting the Region”.
KTT yang dihadiri pemimpin 21 negara anggota APEC ini diarahkan pada tiga bahasan utama, yaitu positioning menghadapi pemulihan ekonomi global, dukungan terhadap sistem perdagangan multilateral, dan percepatan integrasi ekonomi regional.
Meski ekonomi dunia telah berangsur membaik, krisis global tetap menjadi fokus penting KTT ini. Seiring dengan itu, muncul berbagai pertanyaan kritis tentang efektivitas dan relevansi APEC di tengah hadirnya beragam perubahan dan alternatif pilihan dalam kerja sama di level global dan regional. Ide yang berkembang untuk ”menurunkan” level APEC menjadi sebatas forum para menteri ekonomi tampaknya berangkat dari kritisisme itu.
Kehadiran G-20 sebagai pengganti G-8 di level global dan gagasan Jepang tentang formasi komunitas Asia Timur dalam KTT ASEAN di Thailand baru-baru ini di level regional, misalnya, jelas merupakan dinamika yang langsung maupun tidak langsung menyempitkan ruang bagi artikulasi peran APEC dalam arsitektur kerja sama ekonomi di level global dan regional.
Dinamika dan perubahan
Dalam Transforming East Asia: the Evolution of Regional Economic Integration (2006), Nao Munakata menyatakan, berdirinya APEC tahun 1989 dilandasi kekhawatiran akan kemunculan blok ekonomi Eropa (Uni Eropa) dan Amerika Utara (NAFTA). Australia sebagai inisiator utama forum ini menginginkan APEC menjadi ”pintu masuk” baginya ke kawasan Asia Timur, yang dihuni ASEAN dan negara-negara industri baru yang diprediksi akan menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dunia masa depan.
Proposal Australia semula tidak menyertakan AS dalam keanggotaan APEC. Keanggotaan AS (dan Kanada) dalam APEC diusulkan Jepang yang saat itu menghadapi kesulitan akibat aneka tekanan ekonomi AS yang sedang dilanda pembengkakan defisit perdagangan yang masif. Bagi Jepang, kehadiran APEC diharapkan menjadi tandingan atas kecenderungan proteksionisme AS, bukan dengan ”mengucilkan”, tetapi dengan memastikan keterlibatan AS di dalamnya.
Semula fokus APEC dibatasi pada liberalisasi ekonomi dengan target-target penurunan hambatan perdagangan secara sukarela. Asumsi di balik pendekatan sukarela ini adalah liberalisasi perdagangan akan menguntungkan negara-negara yang melakukannya karena akan mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi.
Pandangan ini dinilai tidak cukup oleh ASEAN dan negara-negara berkembang dalam APEC yang menginginkan adanya program-program pembangunan kapasitas untuk menjembatani kesenjangan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang dalam APEC. Keinginan kelompok negara berkembang ini diakomodasi dalam pembentukan The Economic and Technical Cooperation (Ecotec) yang lalu menjadi salah satu pilar penting APEC. Sayang, seperti dicatat oleh Hadi Soesastro (Diplomat Magazine, September/Oktober 2007), pilar Ecotec dalam APEC tidak berjalan sesuai dengan harapan.
Hal yang sama terlihat dalam rendahnya komitmen atas liberalisasi perdagangan yang telah dicanangkan, yang menyebabkan berbagai keputusan APEC berhenti sebatas kertas. Relevansi APEC dipertanyakan ketika APEC nyaris tidak berbuat apa-apa saat krisis Asia 1997-1998. Hal yang sama terulang dalam krisis finansial global 2008-2009.
Pergeseran relevansi
Relevansi APEC justru menonjol dalam isu-isu keamanan, seperti tecermin dalam penggunaan forum ini sebagai sarana sosialisasi program melawan terorisme global yang dicanangkan Presiden George W Bush sejak 2001. Selanjutnya, kehadiran Obama sebagai pemimpin baru AS yang bertipe pembangun konsensus dipastikan akan berdampak luas bagi arah dan dinamika APEC. Lebih dari para pendahulunya, Obama menunjukkan keinginan besar untuk membangun kedekatan politik dengan negara-negara Asia. Namun, kehadiran militer AS di kawasan ini justru akan dikurangi, sebagaimana tecermin dari keinginan Obama mengurangi sejumlah besar pasukan AS di Okinawa, Jepang.
Padahal, baik Jepang, Australia, maupun ASEAN sama-sama membutuhkan kehadiran AS sebagai faktor penyeimbang kebangkitan ekonomi dan militer China (dan India). Hasrat Hatoyama membawa Jepang lebih independen dari AS dalam politik luar negeri, misalnya, dipastikan terbentur hambatan Pasal 9 konstitusi Jepang, yang membatasi keleluasaan dalam pengembangan kekuatan militernya. Wacana komunitas Asia Timur (yang sama sekali bukan ide baru) yang diungkap Hatoyama dalam KTT ASEAN belum lama ini tampaknya lebih merupakan usaha Jepang tampil lebih proaktif dalam percaturan wacana kelembagaan di Asia Pasifik, untuk mengompensasi kekurangannya di bidang militer, agar Jepang tidak lebih ”tenggelam” berhadapan dengan China yang sedang bersinar.
Ironisnya, semangat multilateralisme dan sikap properdamaian Obama dalam politik global dan regional justru dibarengi kemunduran ekonomi AS yang memaksa mengurangi komitmen atas liberalisasi perdagangan, seperti tecermin dalam keinginan meninjau kembali NAFTA.
Sengketa dagang AS-China yang terus menajam akhir-akhir ini menunjukkan, dalam beberapa tahun ke depan, AS akan terus mempertahankan kecenderungan proteksionisme sampai ekonominya benar-benar pulih. Ini berarti keinginan Singapura sebagai tuan rumah untuk benar-benar mengembalikan APEC pada jalur integrasi ekonomi regional tidak mudah diwujudkan.
Pada masa mendatang, keunggulan APEC akan tetap berasal dari keberadaannya sebagai satu-satunya forum regional yang menjembatani negara-negara di tiga benua berbeda: Asia, Australia, dan Amerika. Dengan cakupan geografis yang luas, ditambah ketimpangan kemakmuran antarnegara anggota yang masih demikian lebar, keunggulan itu justru menjadi sisi lemah bagi efektivitas kerja sama ekonomi yang harus menjadi bisnis utama APEC.
Syamsul Hadi Pengajar Ekonomi Politik Internasional di Departemen Hubungan Internasional FISIP UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar