22/05/14

Risiko Demokrasi

Ignas Kleden

DALAM penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sering terdengar kritik tentang terbatasnya realisasi demokrasi hanya pada tingkat prosedural saja. Demokrasi diwujudkan hanya melalui pembentukan lembaga-lembaga dan pelaksanaan prosedur dan tata cara, tetapi belum memperlihatkan hasil yang dijanjikan olehnya sebagai sistem politik. Ada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi para anggotanya lebih sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak banyak berperan sebagai wakil yang menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang mereka wakili dan yang telah memilih mereka karena berbagai janji dan impian masa depan yang ditawarkan.

Ada pemilihan umum, tetapi hasilnya masih sering dipertanyakan apakah hasil itu benar-benar menunjukkan suara rakyat, atau menjadi gema gencarnya serangan fajar, atau cerminan disiplin penghitungan suara yang mengundang pertanyaan dan keraguan. Demikian pula ada lembaga peradilan, tetapi pencari keadilan masih kebingungan, ke mana mereka mencari keadilan dan dapat menemukannya. Ada pemerintah dengan berbagai kementerian, tetapi cukup banyak keluarga yang tetap meringkuk di bawah garis kemiskinan, dengan kondisi yang tak banyak berubah dari rezim pemerintahan yang satu ke rezim yang lain.

Semua ini lambat laun menimbulkan anggapan bahwa demokrasi hanyalah suatu formalitas, yang tidak membawa perbaikan substantif untuk rakyat berupa kesejahteraan yang lebih merata, keadilan yang lebih pasti, dan perlindungan hak-hak rakyat yang merasa aman di bawah naungan undang-undang. Sementara itu, kita tahu, baik substansi demokrasi maupun prosedurnya, merupakan dua hal yang sama pentingnya, seperti dua sisi dari satu mata uang yang sama.

Substansi demokrasi dan psikologi politik

Dapatlah dibayangkan rakyat akan bersorak-sorai kalau suatu pemerintah memberi perhatian utama pada pembagian pendapatan nasional secara lebih merata. Meski demikian, pemerintah tak dapat melakukan pemerataan pendapatan ini dengan melanggar hak milik perorangan seorang warga negara, dan mengambil begitu saja tanah, rumah, dan penghasilan seorang kaya dan membagikannya kepada kelompok yang tak berpunya. Atau orang-orang yang diduga melakukan korupsi ditangkap dan dijebloskan ke penjara tanpa melalui proses pengadilan.

Dalam dua contoh tersebut, substansi demokrasi dicoba diwujudkan (yaitu kesejahteraan dan keadilan), tetapi dengan cara yang melanggar asas demokrasi yang melindungi kepemilikan pribadi dan menegakkan praduga tak bersalah di pengadilan.

Pada titik itulah terlihat bahwa prosedur demokrasi sangat penting dalam menjamin bahwa tujuan-tujuan substantif demokrasi hanya boleh dicapai dan diwujudkan melalui cara-cara demokratis, dan bukannya dengan sembarang cara, sekalipun cara-cara itu mungkin lebih efektif. Ini artinya, baik demokrasi prosedural maupun demokrasi substansial sama-sama mengandung risiko kalau dua kepentingan itu tidak diambil secara bersama, tetapi secara terpisah satu dari yang lainnya.

Sementara itu, sering kita alami bahwa dalam psikologi politik, pendapat umum dapat dengan mudah berubah dan cepat bergerak dari ujung yang satu ke ujung yang lain meskipun kedua ujung tersebut merupakan titik ekstrem yang tidak mengandung seluruh kebenaran dan kebaikan. Setelah Presiden Soekarno mencanangkan dan melaksanakan program nation building, pemerintahannya dianggap terlalu ideologis dan kurang memberi perhatian pada perbaikan ekonomi.

Kemudian, tatkala Presiden Soeharto memegang kekuasaan, dia memperkenalkan program pembangunan ekonomi yang diterima secara luas, sekalipun dengan membatasi beberapa hak politik dan hak sipil.

Di negara maju yang lain, kita melihat Presiden Bush senior (presiden ke-41 AS) menekankan pentingnya suatu politik luar negeri yang relatif berhasil meredam ketegangan Perang Dingin. Dalam kampanye pemilihannya yang kedua, presiden ini rupanya tidak menyadari adanya suatu peralihan generasi di AS. Semenjak Franklin D Roosevelt, presiden-presiden AS semua pernah terlibat dalam Perang Dunia II, entah sebagai anggota militer atau sebagai Panglima Tertinggi (commander in chief) yang menjadi wewenang dan tanggung jawab presiden AS.

Pada tahun 1992 tatkala Presiden Bush senior berjuang untuk dipilih kembali, generasi baby boomer dan mereka yang lebih muda merupakan bagian cukup besar dari para pemilih yang mempunyai keinginan dan impian lain. Gubernur Bill Clinton dari Arkansas, yang lebih muda 22 tahun, melihat pergeseran generasi ini. Dengan cerdas, dia memasuki kampanye dengan menggeser perhatian Amerika dari politik luar negeri yang menjadi kekuatan pendahulunya, dan berusaha menjawab kecemasan yang semakin meluas tentang keadaan ekonomi. Dia mencanangkan slogan kampanyenya, ”It’s the economy, stupid!” (masalah kita adalah ekonomi, tolol!), dan memenangi pemilihan sebagai presiden ke-42 AS.

Tak bisa disangkal, dalam menyongsong Pemilu Presiden RI 9 Juli 2014 nanti, masih ada nostalgia ke masa pemerintahan Presiden Soeharto dalam perbandingan dengan pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Rupanya ini psikologi yang biasa. Berhadapan dengan kesulitan masa sekarang, orang enggan memaksa diri mencari penyelesaian, tetapi kembali ke masa silam yang dibayangkan aman sentosa dan merasa tenteram di sana.

Dianggap keamanan di masa lampau lebih terjamin, sambil lupa bahwa tokoh-tokoh nasional yang dianggap melakukan provokasi politik dijebloskan begitu saja ke dalam penjara tanpa proses pengadilan sebagaimana yang berlaku dalam negara hukum, sementara para pencopet, penggarong, dan penodong dibunuh secara misterius dan ditinggalkan di pinggir jalan setelah dikarungkan.

Dibayangkan pemilu di masa lalu lebih mulus dan tanpa banyak pergolakan dan konflik, sambil diabaikan bahwa ada paksaan di masa lalu untuk memenangkan satu partai saja dengan mayoritas mutlak, sambil hak politik rakyat untuk membentuk partai politik lain dibatasi dengan ketat. Dikira kehidupan di masa lalu lebih tenteram, sementara kritik diawasi, oposisi dilarang, dan pemimpin redaksi surat kabar dapat ditelepon setiap saat untuk membatalkan publikasi berita atau isu tertentu yang tak disenangi pemerintah.

Memang, masa lampau, khususnya masa lampau yang dekat, seakan selalu bermuka dua. Dalam kesulitan menghadapi masalah-masalah di masa sekarang, masa lampau tampak lebih indah dari aslinya, dan seakan menjadi tempat pelarian yang aman.

Sebaliknya, kalau ada kesulitan di masa sekarang yang muncul akibat tindakan, kelalaian, dan pelanggaran di masa lampau, kesulitan di masa sekarang dicoba dihilangkan dengan melupakan masa lampau.

Pendulum politik

Pemilihan presiden RI yang segera berlangsung dalam waktu dekat akan menjadi sebuah tes tentang pandangan dan penghayatan kita di Indonesia tentang masa lampau dan masa sekarang. Juga tes tentang pendulum dalam psikologi politik, apakah menjadi kecenderungan yang dapat dikontrol atau selalu kebablasan. Istilah-istilah ini seakan menunjuk pada sesuatu yang abstrak sekali, sementara dalam praktik politik semua ini menjadi nyata dan dapat diamati.

Apakah mungkin terjadi bahwa kejenuhan orang dengan proseduralisme dalam demokrasi seperti yang terjadi sekarang akan mendapat balasannya dalam dukungan penuh kepada seorang calon presiden yang dapat meyakinkan kita tentang program politik yang mewujudkan tujuan-tujuan substantif demokrasi seperti kesempatan kerja yang lebih luas, pendidikan yang lebih baik, dan pemerintahan yang lebih bersih, tetapi dengan jaminan yang masih dapat diragukan tentang komitmennya untuk tetap menghormati prosedur demokrasi?

Hal ini akan semakin sulit di tengah dukungan besar dari para pengikut yang sudah lama mendambakan realisasi demokrasi dalam substansinya, dan mungkin sekali akan bersikap permisif terhadap pelanggaran prosedur-prosedur demokrasi yang baku, seperti keharusan mencari penyelesaian masalah dengan cara tanpa kekerasan atau non-violent problem-solving.

Demikian pula masa lampau setiap calon presiden kita seyogianya diperjelas sebagai rujukan tentang perilaku pemimpin Indonesia yang sejalan dengan tuntutan demokrasi. Dengan mengakui kemungkinan perubahan perilaku tiap orang dalam perjalanan waktu, tidak ada salahnya mengingat dan mengingat kembali bahwa kekuasaan presiden yang demikian besar hendaknya menjadi api obor yang menerangi perjalanan bangsa Indonesia melalui liku-liku kesulitan dan tantangan menuju masa depan yang lebih baik, dan bukannya menjadi api yang membakar hutan dan mengirim panas dan asapnya ke berbagai penjuru negeri.

Great men make great mistakes, orang-orang besar membuat kesalahan-kesalahan besar, begitu pesan filsuf Austria-Inggris, Karl R Popper. Seluruh bangsa Indonesia sepatutnya menjaga agar kekuasaan besar membuat kebajikan besar dan mencegah bencana besar.


Ignas Kleden; Sosiolog, Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar