20/06/15

Pidato Jokowi Mencari Bentuk

Rizal Mallarangeng

Barangkali sekarang adalah saat yang tepat untuk mengingatkan Joko Widodo bahwa podium dan persuasi adalah instrumen kekuasaan yang penting, apalagi jika dilakukan seorang presiden.

Teddy Roosevelt, presiden Amerika Serikat di awal abad ke-20, pernah berkata bahwa podium bagi pimpinan tertinggi eksekutif adalah the bully pulpit. Dalam membuat kebijakan, tangan presiden terikat dengan berbagai kewenangan yang melekat di lembaga lainnya. Walau duduk di kursi tertinggi pemerintahan, kekuasaan seorang presiden selalu terbagi. Tetapi, di podium, dengan simbol kebesaran negara, ia berdiri sendiri, bebas mengutarakan ide, opini, dan bujukan yang mampu mengubah pikiran begitu banyak orang.

Memang, untuk bisa memanfaatkan podium secara maksimal, diperlukan bakat alamiah. Obama, misalnya, sejak awal telah menemukan gaya retorika yang memukau sebab ia memiliki bakat besar untuk berbicara di depan publik. Kemampuan berpidato adalah sebuah seni. Ia dapat dipelajari, namun faktor bakat dan kepribadian memiliki pengaruh yang tidak kecil.

Dalam hal ini barangkali harus diakui bahwa Jokowi, sebagai seorang pribadi, tidak termasuk a natural public speaker. Tetapi, tidak berarti bahwa ia tidak perlu atau tidak bisa tampil sebagai pembicara yang menarik serta membangkitkan inspirasi. Pembicara yang baik tidak harus menjadi singa podium.

Sejauh ini, dalam berpidato sebagai presiden, Jokowi sebenarnya beberapa kali tampil dengan sangat mengesankan. Contoh terbaik dalam hal ini adalah pidatonya pada peringatan Hari Pers Nasional di Jakarta, pada akhir April.

Di hadapan ratusan tokoh pers yang menghadiri acara tersebut, dengan naskah pidato di tangan, tetapi hanya sesekali diliriknya, Jokowi seolah menemukan dirinya, comfortable in his own skin, berbicara sebagai pemimpin dengan pesan yang berbobot. Ia menjelaskan berbagai program pemerintah, meminta kesabaran sambil menekankan bahwa di ujung jalan yang berliku pasti terbentang horizon baru yang lebih baik buat semua.

Dengan pidato semacam ini, kita melihat pada diri Jokowi seorang pemimpin yang sungguh-sungguh serta mengerti apa yang harus dilakukannya. Ia juga memperlihatkan ketegasan, tanpa meninggalkan citra kesederhanaan yang selama ini melekat padanya.

Pidato semacam ini, dengan durasi sekitar 15 menit, patut mendapat acungan dua jempol serta tepuk tangan yang meriah. Kalau diberi nilai, ia layak mendapat A plus.

Sayang, beberapa pidato Jokowi lainnya tidak mencapai nilai sebaik itu, bahkan mungkin jauh di bawahnya.

Di Blitar pada 1 Juni, misalnya, pidato Jokowi sebenarnya mengandung banyak persoalan. Faux pas tentang kota kelahiran Bung Karno, yang kemudian ramai menjadi bahan olok-olok di dunia maya, hanya salah satu di antaranya.

Kalimat pembuka pidato ini agak lebay, berlebihan, karena mengungkapkan perasaan yang mungkin sulit dipercaya ("Setiap kali saya berada di Blitar, kota kelahiran proklamator kita. hati saya tergetar."). Isinya juga terlalu normatif dengan logika yang melingkar, tautologis ("Pancasila harus kita wujudkan dengan memperkuat persatuan nasional.").

Menjadi diri sendiri

Namun, kelemahan terbesar di sini: Jokowi tidak menjadi dirinya sendiri. Mungkin ia dan tim penulis pidatonya larut dalam momen besar peringatan kelahiran Pancasila serta peran Bung Karno, dan karena itu teks yang dibacanya pun bertebaran dengan kalimat-kalimat besar yang sebenarnya asing bagi kepribadiannya. Aura Jokowi cocok dengan kata "kerja," bukan kata "perjuangan," apalagi kata "revolusi." Kalau ia terlalu memaksakan ungkapan yang sesuai dengan cita-rasa Bung Karno, maka Jokowi justru mengecilkan kekuatannya sendiri.

Jadinya, selama delapan menit Presiden Ke-7 RI ini berpidato di Blitar, suasana yang tercipta datar-datar saja, tanpa antusiasme, tanpa kehangatan. Mungkin itu sebabnya, sebagaimana yang tampak di layar televisi, pada saat pidato tersebut disampaikan beberapa kali Ibu Megawati Soekarnoputri berbisik-bisik dengan Boediono, mantan wapres, yang duduk persis di sebelahnya.

Semua itu barangkali patut menjadi pelajaran berharga, bagi Jokowi dan bagi tim inti di lingkaran kepresidenan. Dua contoh pidato di atas memperlihatkan bahwa setelah hampir setahun, Jokowi masih mencari bentuk yang baku. Terkadang kekuatannya muncul bersinar, seperti dalam beberapa momen terbaik masa kampanye tahun lalu, namun terkadang pula kekuatan ini meredup hampir tak bersisa.

Saran saya, jangan kecil hati. Perjalanan ke depan masih panjang. Pemimpin harus terus belajar-bahkan Obama sampai sekarang, kalau menghadapi peristiwa penting, mempersiapkan dan melatih dirinya dua atau tiga jam sebelum menyampaikan pidato di depan publik.

Tidak ada pemimpin yang langsung jadi. Justru yang hebat adalah pemimpin yang tidak terbebani, tetapi tumbuh dalam kekuasaan. Yang penting adalah kemauan untuk belajar. Kembangkan kelebihan yang sudah ada, sambil menyadari dan terus memperbaiki kelemahan yang masih tersisa.

Kita semua berharap Jokowi akan menjadi pemimpin yang sukses. Kita tahu, sebagai presiden, tangannya tidak begitu saja bebas bergerak dalam melahirkan kebijakan sebab ia harus mengarungi banyak kepentingan, terutama dari kelompok pendukungnya sendiri.

Justru karena itulah, pada saat berdiri di podium dan menjadi satu-satunya pusat perhatian orang, Jokowi harus menjadi dirinya sendiri serta berbicara sebagai pemimpin tertinggi. Hanya dengan cara ini ia dapat memelihara modal politiknya yang terbesar, yaitu simpati dan opini publik.

God speed, Mr President.

Rizal Mallarangeng; Direktur Eksekutif Freedom Institute, Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar