15/06/15

Menjaga Pilar Kebangsaan

Laporan Diskusi Kompas-NU (1)

Pengantar Redaksi: Harian ”Kompas” bersama Panitia Muktamar Ke-33 Nahdlatul Ulama menggelar diskusi bertema ”Meneguhkan Islam Nusantara” di Redaksi ”Kompas”, Jakarta, Rabu (27/5). Hadir sebagai pembicara Guru Besar Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Azyumardi Azra; peneliti studi keislaman Universitas Vienna, Austria, Rudiger Lohlker; dan Dekan Ilmu Keislaman untuk Mahasiswa Internasional Al-Azhar, Mesir, Abdel-Moneem Fouad. Katib Syuriyah PBNU KH Yahya C Staquf bertindak sebagai moderator. Laporan disajikan mulai hari ini.

Lahirnya Nahdlatul Ulama pada 31 Januari 1926 tak lepas dari napas untuk menciptakan sebuah negara yang memadukan nasionalisme dengan semangat keagamaan. Hingga kini, NU terus aktif mengawal kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.

Sejak awal kemerdekaan, sikap NU amat jelas dalam mendukung pemerintahan Presiden Soekarno. Hal ini, antara lain, bisa dilihat dari Muktamar Ke-20 NU di Surabaya, 8-13 September 1954, yang memutuskan Presiden Soekarno sebagai waliy al-amri al-dlaruri bi al-syawkah atau pemegang pemerintahan dengan kekuasaan penuh.

Dalam buku Soekarno dan NU: Titik Temu Nasionalisme dijelaskan bahwa keputusan itu diambil sebagai antisipasi terhadap ancaman pemberontakan yang ingin menggulingkan Soekarno dan mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Keputusan itu juga dilakukan untuk menyatukan para nahdliyin terkait sikap NU dalam mendukung pemerintahan Indonesia.

Di sisi lain, dalam penutupan Muktamar Ke-23 NU di Solo, Jawa Tengah, pada 1962, Soekarno menyampaikan pidato berjudul ”Saya Cinta Sekali pada NU”. Dalam pidato itu, Soekarno menegaskan, NU punya kontribusi besar dalam keberhasilan Indonesia merebut Irian Barat (Papua) dari Belanda.

Pernyataan Soekarno itu tak berlebihan. Pasalnya, Rais Aam PBNU saat itu, KH Wahab Hasbullah, pernah menyarankan perebutan Irian Barat dilakukan dengan Diplomasi Cancut Tali Wondo. Saran itu diterjemahkan oleh Presiden Soekarno dengan Operasi Tri Komando Rakyat atau Trikora.

Saat itu, KH Wahab juga pernah berujar, Soekarno tanpa NU akan kesulitan menjalankan program-program pemerintahannya. NU memandang pemimpin negara juga menjalankan kepentingan umat Islam sehingga para ulama memberikan keabsahan atas kepemimpinan Soekarno.
Seiring dengan berakhirnya pemerintahan Soekarno, pengaruh NU secara langsung dalam pemerintahan juga cenderung turun. Apabila pada dekade 1950-an Partai NU sempat menyumbangkan sejumlah ulama di jabatan strategis kabinet, seperti wakil perdana menteri, menteri pertanian, dan menteri agama, pada masa Orde Baru, Partai NU diharuskan melebur dengan partai lain dengan menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP).

Meski pengaruh NU secara langsung dalam kekuasaan terlihat menurun saat Orde Baru, peran ormas keagamaan itu dalam menegaskan nilai kebangsaan tak pernah berkurang. Dalam muktamar ke-27 pada 1984 di Situbondo, Jawa Timur, NU memutuskan kembali ke khitah (semangat) yang didengungkan pada 1926 dengan keluar dari keterlibatan politik praktis dan menerima sepenuhnya Pancasila sebagai dasar negara.

NU menyatakan, Islam dan Pancasila saling menguatkan dan mendukung. Dalam pengakuan terhadap Pancasila, NU menjadikan pengamalan nilai-nilai yang benar dalam Pancasila sebagai salah satu cara menjalankan syariat agama.

Keputusan NU ini merupakan langkah monumental bagi kehidupan berbangsa dan beragama di Indonesia. NU yang menjadi ormas keagamaan terbesar di Indonesia menanamkan nilai-nilai kebangsaan yang menginspirasi pihak lain untuk menjalankannya, terutama dalam pengakuan terhadap Pancasila.

Radikalisme

Saat ini, Indonesia tidak lagi menghadapi masalah penanaman nilai-nilai kebangsaan. Tantangan lain juga muncul, antara lain radikalisme.

Terkait ancaman radikalisme, ulama NU juga mengambil peranan penting untuk menangkalnya. Muktamar Ke-32 NU di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 2010, bahkan bertema ”Khidmah Nahdliyah Untuk Indonesia Bermartabat”. Tema itu disusun berdasarkan keprihatinan merebaknya paham-paham radikal sehingga dikhawatirkan meredupkan sikap moderat yang menjadi karakteristik masyarakat Indonesia.

Namun, tekad kuat NU untuk menangkal paham radikal ditengarai belum didukung atau dimanfaatkan secara optimal oleh pemerintah. Hal itu, antara lain, ditandai dengan keterlibatan NU dalam program kontraterorisme umumnya hanya pada penyelenggaraan sebuah acara. Ruang yang lebih lebar perlu diberikan pemerintah kepada NU dalam mendukung upaya melawan radikalisme.

Pemerintah perlu makin menyadari bahwa wajah Islam yang ditawarkan NU adalah Islam yang diharapkan dan cocok untuk Indonesia.

Dalam muktamar ke-33 di Jombang, Jatim, Agustus mendatang, NU akan kembali menggoreskan langkah penting membawa paham Islam di Indonesia menjadi mendunia, Islam yang moderat dan menanggalkan kekerasan. Tiga upaya akan terus dilakukan NU untuk mengantisipasi paham radikal, yaitu memperkuat dakwah, meningkatkan pelayanan sosial, dan memberdayakan ekonomi umat.

Zaman berubah, tantangan bangsa pun berganti. Namun, NU tetap mengambil peran penting dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. ● (Muhammad Ikhsan Mahar)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar