Ninok Leksono
”Masa depan itu tak tertulis, tetapi bagaimana kita membayangkannya bisa memengaruhi sikap dan perilaku kita saat ini, sebagaimana sejarah perorangan dan kolektif bisa menentukan siapa kita dan bagaimana kita bertindak...” (Richard Watson, dalam Pengantar The Future-50 Ideas You Really Need to Know, Quercus, 2012)
SATU dari 50 ide dalam buku ini adalah ”Demokrasi Digital”, yang menyebut tentang ”pemerintahan rakyat oleh rakyat”. Digitalisasi meniscayakan pemerintah perlu mendengarkan warga lebih seksama lagi di masa depan karena akan ada lebih banyak lagi pemilih yang bisa menyampaikan aspirasi politik tanpa harus menjadi anggota partai.
Futuris Alvin Toffler menambahkan, ”Teknologi politik zaman industri bukan lagi teknologi yang pas untuk peradaban baru yang kini sedang terbentuk di sekeliling kita. Politik kita sudah ketinggalan zaman.”
Boleh jadi itu ide untuk masa depan yang masih jauh. Namun, masa depan itu niscaya datang. Apa yang jadi penggeraknya? Mantan Wakil Presiden Amerika Serikat, Al Gore, dalam karyanya The Future (Random House, 2013), menyebut ada enam penggerak perubahan global paling penting. Keenamnya tidak saja konvergen—memusat—tetapi juga berinteraksi satu sama lain.
Tentu saja kita berkepentingan merebut kembali kendali nasib kita dan membentuk masa depan. Menurut Al Gore, yang dituntut adalah kemampuan menghadapi, antara lain, ekonomi global yang makin saling terhubung dan munculnya jejaring komunikasi elektronik berlingkup dunia yang menghubungkan pemikiran dan perasaan miliaran orang (seperti halnya Facebook).
Respons belum memadai
Terhadap pelbagai prospek perubahan yang ada sejauh ini, pemerintahan demi pemerintahan boleh jadi telah memperlihatkan upaya untuk merespons. Terakhir, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, meluncurkan Komite Inovasi Nasional, selain Komite Ekonomi Nasional, serta Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Namun, banyak inisiatif baik yang dalam perjalanannya tak mewujud nyata.
Penyebabnya adalah tersedotnya sumber daya waktu, tenaga, dan pikiran pemerintah untuk urusan (survival) politik, satu distraksi yang harus ditebus mahal dengan pupusnya peluang membuat langkah-langkah besar.
Dengan energi yang banyak tersedot untuk masalah politik ini, kinerja ekonomi tak bisa lebih optimal daripada apa yang bisa dicapai sekarang. Selain kesenjangan—seperti diperlihatkan indeks gini—yang membesar, ternyata fundamental ekonomi Indonesia tidak sekokoh seperti yang banyak diklaim. Karena amat bergantung pada impor untuk hampir sebagian besar kebutuhan, defisit perdagangan pun tak terelakkan.
Di tengah masa yang penuh guncangan ini, fokus bangsa Indonesia setahun ke depan tak ayal lagi adalah pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Dari luar, terkesan kita telah cukup dewasa untuk mempraktikkan demokrasi.
Namun, di kalangan concerned citizen (warga peduli) masih sering muncul argumen, yang kita jalankan sejauh ini baru sampai pada demokrasi formal prosedural. Demokrasi yang maslahat, di mana hasil pemilu legislatif ataupun pemilu presiden mampu membawa bangsa pada lompatan kuantum kemajuan, ibaratnya masih menunggu Godot.
Bayangan kemenangan golongan putih (golput), bayangan masih akan terus berlanjutnya sistem politik transaksional, dan hukum yang masih belum memuaskan penegakannya memang masih jadi alasan bagi tumbuhnya pesimisme.
Jika di hari kemarin kita sering mendengar wacana amputasi bagi elemen yang tidak berfungsi baik, kini kita diingatkan kembali pada konsep creative destruction. Sebagaimana dicetuskan ekonom Joseph Schumpeter dalam karyanya, Capitalism, Socialism and Democracy (1942), destruksi kreatif meminta dilakukannya ”perubahan industri dengan terus-menerus merevolusi struktur ekonomi dari dalam, menghancurkan yang lama, dan secara tanpa henti mencipta yang baru”. Ada alasannya kalau penghancuran kreatif ini kita lakukan tidak saja untuk ekonomi, tetapi juga untuk bidang politik dan hukum.
Mimpi dan PR-nya
Prediksi McKinsey (2012) bahwa Indonesia akan menjadi ekonomi nomor tujuh di dunia dalam kurun 1,5 dekade ke depan tentu saja membesarkan hati elite. Sama seperti ketika media Barat menyebut Indonesia punya golden chance untuk menjadi negara maju.
Namun, satu hal yang harus kita sadari ketika kita mendengar kata ”prediksi” atau ”peluang” adalah bahwa di dalamnya ada persyaratan. Alih-alih menjadi ekonomi nomor 7, gonjang-ganjing yang ada sekarang ini, di tambah dengan faktor-faktor penggerak—atau bisa juga disebut ”pengguncang”—seperti disebut dalam The Future-nya Al Gore, mengandung potensi memelorotkan peringkat Indonesia.
Tentunya kita juga awas terhadap faktor-faktor yang membuat satu negara lalu disebut sebagai negara gagal. Pemikiran yang dikandung dalam buku Why Nations Fail karya Daron Acemoglu dan James A Robinson (Crown Business, 2012) bisa menjadi satu acuan untuk menjauhkan kita dari faktor-faktor yang menjadikan RI sebuah negara gagal.
Satu hal yang juga tak disangsikan lagi adalah bahwa menjadi ”ekonomi nomor 7” adalah mimpi yang harus diwujudkan dengan kerja keras dan mentalitas baru. Kembali pada buku Why Nations Fail, ternyata lembaga politik dan ekonomi buatan manusialah yang jadi penentu penting bagi kesuksesan—atau sebaliknya kegagalan—ekonomi satu negara.
Meminjam semangat High Level Panel yang menyiapkan agenda pembangunan pasca-Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) (2015), karakteristik pembangunan yang dianjurkan adalah ”berkelanjutan, berkeadilan, dan ramah lingkungan”. Sejauh kita gagal membongkar kebiasaan lama melalui creative destruction, agenda pasca-2015 pun akan sulit kita capai, sebagaimana kita masih banyak kedodoran dalam upaya mencapai MDG.
Nyata sekali bahwa pekerjaan rumah bangsa Indonesia, bukan hanya bagi presiden yang terpilih dalam Pemilu Presiden 2014, amatlah banyak. Ini bukan musim semi yang indah, tetapi tetap harus kita sambut.
Ninok Leksono; Pemimpin Redaksi Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar