10/05/14

Urbanisasi di Indonesia

Saratri Wilonoyudho

DUA hari berturut-turut (15 dan 16 April) Kompas menyajikan dua tema menarik tentang pertumbuhan kota di Jawa yang mengarah kepada megapolitan, seperti Jabodetabekjur, Bandung Raya, Kedung Sepur, dan Gerbangkertasusila. Megapolitan yang membentang dari arah barat sampai timur diperkirakan akan ”menyatu” sehingga Jawa akan menjadi pulau kota. Kecenderungan serupa juga terjadi di seputar Kota Medan, Palembang, Makassar, dan sebagainya.

Data Badan Pusat Statistik (1995 dan 2005) menunjukkan, proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin besar, 22,3 persen pada 1980 menjadi 30,9 persen pada 1990 dan 43,11 persen pada 2005. Yang menjadi masalah, urbanisasi ini akan menimbulkan berbagai efek negatif, seperti terkikisnya lahan- lahan subur di sekitar kota besar (spread effect), dan permasalahan dalam kota, seperti kemacetan lalu lintas, degradasi lingkungan, sanitasi, dan banjir.

Ditinjau dari letak pulau, maka di Pulau Jawa proporsi penduduk perkotaan mencapai angka 70 persen dan di Luar Jawa hanya 26 persen. Angka tersebut relatif konstan hingga saat ini.

Kota yang didominasi jumlah penduduk yang besar adalah Jakarta, Bandung, Medan, Surabaya, dan Semarang. Indeks primasi Jakarta terhadap empat kota besar lain juga masih tinggi, yakni 0,56 pada 1980 dan 0,58 pada 1990, dan menurun menjadi 1,41 pada 2005.

Pola-pola keruangan di Jawa masih mengarah kepada bentuk koridor, misalnya koridor Jakarta-Semarang melalui Cirebon, Semarang-Yogyakarta, dan Surabaya-Malang.

Kota-kota kecil di antara dua kota besar atau lebih pada umumnya hampir menyatu sehingga boleh dikatakan kota-kota kecil tersebut perannya melemah. McGee menyebutnya sebagai fenomena ”desa-kota”, dan fenomena ini dapat diamati dalam kerangka region-based urbanization dan bukannya sebagai city based.

Kesenjangan

Fenomena ini menunjukkan bahwa dalam pembangunan kewilayahan, meningkatnya urbanisasi terkait dengan isu, terutama terkait dengan masalah ”kesenjangan wilayah” (regional imbalances).

Banyak indikator yang digunakan untuk memperlihatkan bahwa sebuah wilayah dianggap lebih maju dibandingkan dengan wilayah yang lainnya.
Hill (1993), misalnya, menyebut indikator yang bersifat statis, seperti Indeks Pembangunan Manusia (human development index), Indeks Kualitas Kehidupan secara Fisik (physical quality of life index), dan laju produk domestik regional bruto (PDRB).

Dari uraian itu tampak bahwa pembangunan kewilayahan terkait erat dengan sistem ekonomi-politik sebuah negara. Hal ini juga disepakati oleh Hill (1996), bahwa dengan kebijaksanaan pusat akan terjadi sebuah keputusan untuk mengembangkan wilayah mana saja, dan akan ”mengorbankan” wilayah yang lain. Pada masa Orde Baru, untuk mengembangkan sebuah wilayah dianut konsep kutub pertumbuhan.

Konsep ini, menurut Douglass (1998), dilakukan dengan jalan mengalokasikan investasi yang tinggi di sektor industri di pusat kota yang besar. Harapannya, pertumbuhan ekonominya dapat menyebar dan membangkitkan pembangunan wilayah di sekitarnya (spread effect dan trickle down effect). Asumsinya, barang-barang yang dihasilkan diekspor ke luar dan pusat-pusat metropolitan untuk menjadi ”mesin pembangunan” (engine of development).

Konsep kutub pertumbuhan mengasumsikan bahwa dengan industrialisasi diharapkan akan muncul peluang kerja dan mampu menampung luapan kerja dari sektor pertanian.

Di negara-negara berkembang diasumsikan ada produk pertanian yang dapat dipacu produktivitasnya sehingga akan memperluas kesempatan kerja dan pendapatan. Dari titik inilah diharapkan tumbuh usaha kecil menengah usaha farm, ada pergerakan modal, ada kredit, dan teknologi dengan riset.

Tidak cocok

Dalam kenyataannya, strategi kutub pertumbuhan ini tidak cocok di negara-negara berkembang seperti Indonesia, karena ada dualisme antara sektor pertanian dan industri. Pada satu sisi sektor pertanian lahannya,− terutama di Jawa, −sangat sempit karena ada fragmentasi atau pewarisan.

Pada sisi lain, sektor industri sangat padat modal dan berorientasi kepada substitusi impor. Teori-teori dari Boeke (1961) tentang dualisme sektor ekonomi ataupun dari Geertz tentang involusi pertanian banyak menjelaskan tentang kemiskinan dan peluang kerja di pedesaan.

Dari sketsa tersebut tampak bahwa kalau negara-negara maju mengalami proses yang simultan antara sektor pertanian dan sektor modern, maka negara-negara berkembang seperti Indonesia tidak demikian.

Di negara-negara berkembang—kecuali Tiongkok—industri yang dikembangkan adalah industri substitusi impor, dan pusat kapitalisme tetap ada di New York, Berlin, London, atau Tokyo. Wajar jika modernisasi pertanian terhambat dengan serius. Bahkan untuk urusan kedelai atau gula, negeri ini harus impor.

Sebagai penutup, kesenjangan wilayah harus dipecahkan dengan konsepsi kuat untuk jangka waktu yang panjang, yang dilandasi keadilan sosial.

Daerah-daerah yang kurang berkembang didorong dengan mobilisasi seluruh kelembagaan, dengan kemampuan aparatur daerah yang terampil dan memiliki visi-misi ke depan yang jelas. Kesemuanya mestinya dijalankan dalam sebuah jaringan (networking) yang erat.

Masalahnya, bangsa ini banyak dijejali pejabat dan kepala daerah yang bermental pedagang, yang kurang bergairah mengembangkan wilayahnya. Kegemaran impor berbagai komoditas merupakan indikatornya.

Saratri Wilonoyudho, Ketua Koalisi Kependudukan Jawa Tengah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar