12/05/14

Bangkitnya Kapitalisme Negara

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

PENGHITUNGAN  suara Pemilu Legislatif 2014 memang belum usai. Akan tetapi, dari berbagai hitung cepat dan berbagai pertemuan politik yang mulai marak sepekan terakhir, banyak yang memprediksi kontestan Pilpres 2014 akan mengerucut ke tiga partai dengan jumlah suara paling signifikan: PDI-P, Golkar, dan Gerindra.

Beberapa pembicaraan soal koalisi sudah mengerucut pada capres PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), dan capres Gerindra, Prabowo Subianto. Dua hal menarik dari peta ini. Pertama, menguatnya retorika nasionalisme dengan berbagai ekspresi politik. Retorika nasionalis ini dapat dilacak pada jargon ”Indonesia Hebat” ala PDI-P dan ”Ekonomi Kerakyatan” yang dibawa Prabowo.

Ide tentang kedaulatan terutama banyak terlontar dari pernyataan Prabowo (Kompas, 27/3) dan Jokowi (Kompas, 13/4). Gesture dan penampilan keduanya di mata publik juga menyiratkan figur yang merakyat (baju kotak-kotak Jokowi) dan nasionalis (seragam dan peci Prabowo) serta kuatnya wacana nasionalisme yang membentuk identitas politik keduanya. Pertarungan yang menarik.

Kedua, siapa pun yang terpilih, program ekonomi mereka harus berhadapan dengan tren ekonomi-politik di tingkat global. Rene L Pattiradjawane di Kompas (9/4) mencatat bahwa ada kecenderungan perubahan wacana politik di beberapa negara Asia dengan menguatnya nasionalisme.

Thailand, misalnya, mengalami krisis demokrasi yang membuat sentimen nasionalisme kembali menguat setahun terakhir. Di India, kemunculan kaum ultranasionalis yang percaya pada Model Gujarat juga meref- leksikan adanya keinginan kembali pada nasionalisme dengan membawa sentimen kerakyatan pada kebijakan publik yang mereka tawarkan.

Hal serupa terjadi di Kamboja, Laos, Myanmar, dan Vietnam yang sejak awal mengambil halu- an kapitalisme negara ala Tiongkok. Ini sejak lama sudah terjadi di Malaysia dengan kebijakan pro Melayu.

Peta di Asia Tenggara

Ada semacam nationalist turn dalam politik global. Tentu saja ini tak boleh dilupakan begitu saja. Menguatnya nasionalisme bisa jadi akan mengubah peta kerja sama ekonomi di tingkat regional dan global, terutama di Asia Tenggara.

Setidaknya tiga konsekuensi penting dari menguatnya wacana nasionalisme di negara Asia Tenggara. Pertama, menguatnya peran negara dalam perekonomian. Kita akan melihat posisi negara yang kembali sentral dalam mendefinisikan kepentingan nasional dan bagaimana perekonomian diatur. Ada pergeseran paradigma.

Kedua, bergesernya paradigma kapitalisme yang berbasis ”pasar bebas”—dengan posisi negara sebagai regulator untuk menjaga kepentingan pasar— menjadi lebih terencana. Dengan menguatnya negara, peran teknokratis dan perencanaan menjadi penting. Semua kepentingan ekonomi akan dinegosiasikan dengan perencanaan birokratis yang bisa menyuburkan oligarki dengan sistem lebih tertutup

Ketiga, munculnya ”kapitalisme negara”. Dengan model yang lebih nasionalis dan state-centrist, bukan berarti kapitalisme akan lenyap. Berkaca pada model ekonomi Tiongkok dan Rusia, ”nasionalisme” justru menyuburkan kapitalisme dengan memindahkan wilayah kerjanya pada basis negara. Semua kepentingan ekonomi akan bernegosiasi dengan negara dan melestarikan akumulasi kapital yang selama ini jadi denyut nadi kapitalisme.

Dengan demikian, krisis ekonomi global tak serta-merta meruntuhkan kapitalisme secara keseluruhan. Justru dengan perkembangan politik mutakhir, ada kecenderungan transformasi kapitalisme dari neoliberalisme menjadi kapitalisme negara. Ini makin mempertegas tesis Poulantzas (1972) dan Alavi (1972) bahwa negara pada dasarnya punya otonomi relatif terhadap akumulasi kapital.

Munculnya kapitalisme negara ini perlu mendapat perhatian serius. Dari tiga partai dengan suara terbanyak (PDI-P, Golkar, dan Gerindra), hampir tak ada yang meng-address kontradiksi kapitalisme dalam program dan visi-misi mereka. Alih-alih bicara soal kapitalisme, mereka lebih banyak bicara soal nasionalisasi dan kedaulatan.

Wacana tentang nasionalisasi tanpa dibarengi diskusi kritis tentang kapitalisme global hanya akan menggiring kita pada perubahan modus akumulasi kapital dari modal asing menjadi modal pribumi dengan modus eksploitasi dan akumulasi kapital yang tak jauh berbeda. Ini yang kerap dilupakan dalam analisis belakangan ini.

Apa arti kecenderungan menguatnya nasionalisme bagi regionalisme di Asia Tenggara? Kajian Helen Nesadurai (2003) tentang pembentukan AFTA mengingatkan kita bahwa pada dasarnya konfigurasi regionalisme ASEAN tak terlepas dari tarik ulur kepentingan di level domestik. Ide tentang Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA) pada 2003 dan cetak biru yang menyertainya (2009) tak lepas dari akomodasi negara ASEAN dengan ide pasar bebas yang memang arus besar pascakrisis Asia.

Rapuh

Maka, proyek ekonomi regional yang cukup ambisius (seperti KEA) bersifat rapuh dan sangat bergantung pada kontestasi di level domestik. Kesepakatan itu akan sangat bergantung pada apa yang terjadi pada anggotanya. Kita bisa melihatnya pada desain KEA. Cetak birunya memberi empat pilar ekonomi ASEAN: pasar tunggal dan basis produksi; kawasan ekonomi berdaya saing tinggi; kawasan dengan pembangunan ekonomi merata; serta kawasan terintegrasi penuh dengan ekonomi global.

Dengan munculnya ”kapitalisme negara”, bisa jadi ASEAN tetap dipertahankan karena posisinya penting sebagai akumulasi kapital. Namun, interpretasi akan sangat berbeda. Di bawah kapitalisme negara, bisa jadi KEA akan jadi sarana mengukuhkan oligarki yang terbentuk karena posisi sentral negara mengatur kebijakan ekonominya.

Siapa pun presiden terpilih, kita harus waspada dengan kecenderungan semacam ini. Wacana nasionalis dan pro rakyat sangat menggoda dalam hiruk-pikuk krisis ekonomi global. Bisa jadi wacana itu didorong untuk mengukuhkan kembali oligarki ekonomi-politik melalui kapitalisme negara. Maka, berhati-hatilah pada koalisi transaksional. Mari memilih dengan cerdas!

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar; Peneliti ASEAN Studies Center UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar