23/04/14

Tiga Juta Lapangan Kerja Berkualitas

P Agung Pambudhi

SEDERET data ditampilkan Ahmad Erani Yustika untuk menunjukkan elastisitas penciptaan lapangan kerja yang memburuk di mana setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi menciptakan jumlah lapangan kerja yang semakin kecil dari tahun ke tahun. Diungkapkan, pertumbuhan ekonomi tinggi tak serta-merta menciptakan lapangan kerja besar, bahkan yang terjadi pertumbuhan ekonomi tinggi telah menciptakan perangkap pertumbuhan berupa disparitas pendapatan antar-golongan yang secara sempurna terjadi di Indonesia.

Artikel Erani ini menanggapi pendapat Gustav Papanek, Presiden Boston Institute for Developing Economies. Sayangnya, komentar Papanek tentang pentingnya menaruh perhatian pada industri padat karya tidak dibahas Erani.

Dalam penciptaan lapangan kerja, gagasan studi Papanek terbagi dalam dua bagian: dukungan bagi investasi industri padat karya dan kebijakan penciptaan lapangan kerja aktif (active employment) lewat anggaran pemerintah dengan melibatkan rakyat dalam aktivitas pembangunan.

Lapangan kerja berkualitas

Mengapa investasi padat karya? Industri inilah yang paling berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar, jauh melampaui daya serap tenaga kerja industri padat modal ataupun jasa pada umumnya. Industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan alas kaki mampu menyerap banyak tenaga kerja dengan tingkat keterampilan rendah (low skills).

Tersedia surplus tenaga kerja yang dapat dilatih dengan segera untuk mengerjakan pekerjaan low skills itu. Industri padat karya inilah yang mampu menjadi pull-factor untuk menarik ”surplus” tenaga kerja di sektor tak produktif seperti pertanian dan para pekerja informal. Secara meyakinkan, Papanek memaparkan surplus tenaga kerja, di antaranya ditunjukkan dalam analisis soal ”surplus” tenaga kerja pertanian.

Untuk penciptaan tiga juta lapangan kerja berkualitas per tahun dan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi, Papanek mensyaratkan beberapa hal utama.

Pertama, Indonesia harus mampu mengambil 10 persen pasar investasi padat karya Tiongkok yang akan ditinggalkannya mengingat upah tenaga kerjanya sudah tidak akan kompetitif lagi. Jika Indonesia tidak mampu memanfaatkannya, kesempatan ini tak akan berulang mengingat negara-negara kompetitor seperti Vietnam, Kamboja, dan India akan mengambilnya.

Kedua, pembenahan daya dukung industri padat karya, di antaranya dengan mengurangi biaya logistik dan transportasi yang saat ini masih sekitar 26,5 persen dari total biaya, jauh lebih tinggi dibandingkan negara kompetitor seperti Malaysia (13 persen) dan Jepang (10 persen). Ketiga, dukungan ketersediaan energi dengan biaya kompetitif, di antaranya dengan konversi penggunaan minyak (BBM) ke gas (BBG) yang didukung sarana dan prasarana distribusi gas dari lokasi produksi ke area konsumsi.

Keempat, penciptaan kluster industri di luar Jakarta yang lebih murah biaya lahan dan tenaga kerja dengan meningkatkan anggaran infrastruktur yang saat ini sekitar 1 persen dari PDB menjadi 5 persen (yang dapat dibiayai dari pengurangan subsidi BBM dan insentif pajak bagi investasi yang membangun infrastruktur).

Kelima, menjaga upah minimum buruh yang masuk akal disertai program peningkatan kualitasnya agar naik produktivitasnya sehingga meningkatkan pendapatan buruh. Keenam, kebijakan kurs BI dengan menjaga penguatan rupiah di tingkat yang dapat diterima sehingga memberikan insentif bagi eksportir. Ketujuh, pengurangan biaya regulasi dengan kepastian dan penegakan hukum serta implementasi tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Karya Papanek memberikan rekomendasi operasional yang amat dibutuhkan, relatif konkret dan tidak terlalu normatif sebagaimana kebanyakan studi. Tentu sejumlah catatan bahkan barangkali sanggahan bisa ditujukan ke studi tersebut.

Soal fokus industri padat karya, selain soal upah minimum, berbagai prasyarat Papanek tersebut bukan merupakan kepentingan spesifik industri padat karya, melainkan juga kebutuhan industri manufaktur pada umumnya. Maka, persoalannya bukan picking the winner untuk industri yang diutamakan, melainkan penciptaan daya dukung investasi yang memungkinkan setiap bidang industri lebih berdaya saing. Baik industri manufaktur padat karya maupun padat modal akan diuntungkan.

Namun, Papanek juga benar bahwa perhatian pada industri padat karya memungkinkan untuk penyerapan tenaga kerja yang besar. Di sisi lain, industri manufaktur padat modal juga penting untuk penciptaan nilai tambah yang membawa tarikan aktivitas ekonomi lainnya.

Biaya tenaga kerja

Tantangan utama dari implementasi rekomendasi Papanek adalah terkait upah minimum. Sejatinya tak ada yang baru dalam gagasan menempatkan upah minimum sebagai jaring pengaman (safety net) sehingga besarannya hanya untuk memenuhi kebutuhan minimum—mirip basis kebutuhan fisik minimum yang berlaku sebelumnya, bukan berdasar kebutuhan hidup layak (KHL) yang kini berlaku.

Namun, sebagai negara yang masih sangat muda dalam berdemokrasi, di mana euforia kebebasan demikian kuat memengaruhi berbagai aspek kehidupan termasuk dalam pola relasi pemberi kerja dan tenaga kerja, gagasan institusionalisasi upah minimum sebagai jaring pengaman hampir merupakan utopia, jauh panggang dari api. Politisasi pengupahan yang menempatkan posisi pengusaha-pekerja berhadapan secara diametral dalam tata kehidupan ekonomi politik Indonesia merupakan tantangan amat besar untuk mencapai keharmonisan hubungan bipartit, terlebih ketika unsur pemerintah dalam relasi tripartit demikian lemah dalam menjamin kepastian dan penegakan hukum.

Formula ideal upah minimum yang mengakomodasi kepentingan pengusaha, pekerja, dan pencari kerja secara teknokratis obyektif bisa dirancang. Termasuk dengan mempertimbangkan kemampuan pemerintah menyediakan pelayanan dasar kesehatan, pendidikan, dan infrastruktur dasar yang berpengaruh terhadap penentuan upah minimum. Namun, soalnya lebih pada kemauan politik dan kemampuan pemerintah menegakkan aturan demokrasi berupa pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang didukung ukuran-ukuran obyektif dengan baik.

Lebih lanjut, tak mudah untuk menempatkan kebijakan pengupahan dalam kaitannya dengan produktivitas sebagai basis penentuan upah yang adil bagi pengusaha dan pekerja—yang pengukuran akuratnya lebih mungkin ditentukan di tingkat perusahaan—di tengah kuatnya pengaruh gerakan buruh terhadap serikat pekerja/serikat buruh (SP/SB) di tingkat perusahaan.

Belum lagi jika bicara berbagai ketentuan lain ketenagakerjaan dalam UU No 13/2003 dan sejumlah peraturan turunannya terkait pemutusan hubungan kerja, pesangon, kebijakan alih daya (outsourcing), dan lain-lain yang sangat kontroversial.

UU ketenagakerjaan ini mencatat rekor UU yang paling banyak dilakukan uji materi, baik oleh pengusaha maupun pekerja, sehingga tidak keliru jika dikatakan sebagai UU yang tidak diinginkan pengusaha ataupun pekerja, tetapi ironisnya sampai saat ini segala upaya untuk merevisinya selalu menemui jalan buntu.

Rekomendasi Papanek soal upah minimum semestinya bisa dilaksanakan, tetapi mensyaratkan kepemimpinan nasional yang amat kuat untuk bisa melampaui uji pertama: amendemen UU No 13/2003 sebagai awal pembenahan berbagai persoalan ketenagakerjaan.

Diskusi lanjut rekomendasi Papanek tentu bisa diteruskan, tetapi saya membatasi tulisan ini di sini, untuk menyambut ajakan Erani dalam mendiskusikan suatu karya akademik. Rekomendasi akademik Papanek untuk penciptaan tiga juta lapangan kerja mungkin bisa dilaksanakan berdasarkan catatan di atas, dan sejumlah kontribusi pemikiran lainnya dari para pemangku kepentingan atas kerja akademiknya. 

P Agung Pambudhi, Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia;
Wakil Ketua Dewan Pengurus Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah
KOMPAS, 22 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar