23/04/14

Nasionalisme Tuan Presiden

Donny Gahral Adian

PEMILIHAN presiden tinggal sebentar lagi. Setiap kandidat pun sudah mengobral janji politiknya kepada publik. Satu yang mengikat semua kandidat adalah ideologi tua bernama nasionalisme. Semua, misalnya, berjanji akan mengedepankan kepentingan nasional jika terpilih nanti.

Tidak ada lagi impor beras, garam, dan bawang merah. Sumber-sumber ekonomi akan dikelola putra-putri terbaik bangsa sendiri. Nasionalisme sudah menjadi jargon pokok di setiap kampanye.

Padahal, kita semua tahu banyak yang lain di mulut lain pula di hati. Nasionalisme hanya berdetak saat kampanye. Nasionalisme ibarat puisi yang enak didengar. Persoalannya, saat terpilih, pemimpin akan memerintah tidak dengan puisi, tetapi prosa. Dan prosa itu bernama ketergantungan di segala bidang.

Kepentingan nasional

Banyak yang salah kaprah mengeja nasionalisme. Nasionalisme bukan mengisolasi diri dari relasi-relasi global. Nasionalisme justru memanfaatkan relasi-relasi global demi kepentingan nasional. Kita tidak boleh menolak kemungkinan untuk memperoleh gas murah dari negara lain.

Namun, syaratnya, negara tersebut harus membuka pasar tekstilnya bagi Indonesia. Nasionalisme tidak anti impor. Nasionalisme hanya mengutuk impor barang ekonomi yang dapat dihasilkan bangsa sendiri secara lebih efisien dan murah.

 Nasionalisme bukan kata-kata belaka. Dia harus bisa diraba. Nasionalisme berbeda dengan berbagai ujar populis yang beredar di ruang publik belakangan ini. Beberapa kandidat, misalnya,  berjanji untuk lebih berpihak kepada pelaku ekonomi lokal. Persoalannya, keberpihakan itu butuh langkah-langkah nyata.

Bagaimana keberpihakan tersebut dapat maujud jika subsidi pertanian terus- menerus dipangkas. Izin untuk waralaba asing terus-menerus diumbar. Ikan di perairan sendiri terus-menerus dicuri nelayan asing tanpa sanksi. Harga solar untuk nelayan kecil terus menerus dinaikkan. Nasionalisme membutuhkan keberanian dan bukan jargon atau puisi kacangan.

Para kandidat presiden harus mampu melindungi kepentingan nasional secara bijaksana. Paling tidak, ada tiga kepentingan nasional yang perlu dijadikan agenda utama bagi mereka yang berkepentingan di tahun politik ini.

Pertama adalah ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan adalah kepentingan nasional sebab bertanggung jawab terhadap nafkah bagi jutaan keluarga. Petani tembakau saat ini, misalnya, sedang kebingungan akibat regulasi yang menuntut diversifikasi tanaman tembakau. Padahal, sektor ini menghidupi banyak sekali keluarga. Pemimpin berikut harus memiliki keberpihakan yang jelas terhadap sentra- sentra ekonomi kerakyatan di republik ini.

Kedua adalah energi. Energi menentukan hidup-mati sebuah bangsa. Indonesia memiliki sumber energi yang melimpah, baik yang terbarukan maupun tidak. Ini tentu saja akan menarik banyak sekali investor asing untuk menanamkan modalnya. Investasi asing bukan sesuatu yang haram. Namun, energi sebagai kepentingan nasional harus dilindungi dengan memberlakukan aturan yang ketat.

Investasi bukan berarti eksploitasi tanpa batas. Investasi harus menguntungkan bangsa sendiri. Kepentingan nasional kita sebagai bangsa adalah ketersediaan energi yang murah dan berlimpah. Hak istimewa bagi korporasi-korporasi energi milik bangsa sendiri bukan sesuatu yang haram untuk diberikan.

Ketiga adalah ideologi. Pancasila adalah kepentingan nasional yang wajib dilindungi mati-matian oleh siapa pun yang mengelola republik ini. Perlindungan yang dimaksud bukan dengan menghidupkan lagi aparatus ideologis seperti Badan Pelaksana Pembinaan dan Pendidikan P4 (BP7) dulu. Demokrasi memiliki limitasi terhadap upaya-upaya indoktrinasi ideologis. Pemimpin harus melindungi Pancasila melalui jalan kebudayaan.

Hakikat kultural Pancasila adalah solidaritas atau dalam bahasa Bung Karno:  ”gotong royong”. Gotong royong” berlawanan dengan individualitas keras model liberalisme atau kolektivisme sempit ala fundamentalisme. Artinya, segala agenda yang berporos pada kedua ”isme” tersebut patut diwaspadai sebagai ancaman  terhadap kepentingan nasional.

Lalu siapa?

Pertanyaannya berikut, siapa lalu yang mampu mengelola republik ini di bawah panji-panji nasionalisme? Beberapa nama sudah berseliweran. Rakyat pun sudah kenyang dihujani berbagai janji. Persoalannya, janji adalah ujaran yang tak bersandar pada kekinian. Janji melulu soal masa depan.

Siapa pun bisa berjanji di tahun politik ini. Namun, kita harus awas membedakan antara janji dan komitmen. Janji tak bersandar pada rekam jejak, sementara komitmen justru sebaliknya. Seorang mantan koruptor bisa saja berjanji untuk memberantas korupsi. Namun, dia tidak bisa berkomitmen terhadap janjinya sebab rekam jejak berkata lain.

Nasionalisme membutuhkan rekam jejak yang gamblang. Komitmen seorang terhadap nasionalisme diuji pada saat-saat kritis. Saat, misalnya,  kepala daerah menghadapi pilihan yang sulit: memberikan izin kepada waralaba asing atau merehabilitasi pasar tradisional. Keduanya berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi. Namun, yang pertama berpihak pada konsumerisme kelas menengah, sementara yang kedua pada lapangan pekerjaan bagi para pelaku usaha kecil.

Rekam jejak menyimpan integritas. Integritas adalah konsistensi dan ketahanan etis. Nasionalisme membutuhkan konsistensi. Seorang pemimpin tidak bisa sesekali memperhatikan kepentingan nasional, tetapi di lain waktu meloloskan protokol internasional yang mengancam kepentingan nasional. Dia juga  tidak bisa meneken undang-undang jaminan sosial nasional, tetapi mengulur-ulur terbitnya peraturan turunan akibat lobi perusahaan asuransi asing.

Nasionalisme juga membutuhkan keberanian. Keberanian bukan sesuatu yang sekadar diteriakkan di atas podium. Pemimpin harus berani menegosiasi ulang semua kontrak karya yang merugikan republik. Semua pinjaman luar negeri dengan bunga yang tidak masuk akal harus berani ditolak. Segenap hibah dengan syarat-syarat tertentu yang di kemudian hari merugikan juga harus ditolak.

Nasionalisasi perusahaan asing juga bukan sesuatu yang tabu dilakukan. Saat-saat kritis menuntut langkah-langkah dramatis. Pemimpin kita nanti jangan kalah dengan seorang perempuan Argentina bernama Cristina Fernandez. Cristina berani menasionalisasi perusahaan Spanyol demi kepentingan rakyatnya.

Seorang presiden bisa datang dari beragam latar belakang, mulai dari pengusaha, akademisi, sampai militer. Namun, nasionalisme tidak mengenal latar belakang. Seorang akademisi bisa saja lebih nasionalis ketimbang mantan petinggi militer. Profesi tidak sebangun dengan konsistensi terhadap ideologi. Konsistensi tersebut ditempa oleh pengalaman politik yang lama dan penuh dinamika.

Oleh sebab itu, siapa pun  dia  haruslah seorang politisi. Politisi bukan dia yang piawai merebut kekuasaan, tetapi cakap memanfaatkan kekuasaan bagi kepentingan bangsa dan negaranya.  Dia yang memakai kekuasaan untuk mendapatkan komisi dari lembaga-lembaga keuangan asing jelas bukan politisi.                                                                                                                 

Apa pun, tahun ini kita akan mendapatkan presiden baru. Sekilas, semua kandidat sepertinya berpegang pada nasionalisme. Mereka tampil layaknya pembela terdepan kepentingan bangsa dan negaranya. Namun, nasionalisme tidak bisa ditemukan pada kesan-kesan yang dibangun iklan. Nasionalisme, sekali lagi, tersimpan dalam rekam jejak, konsistensi, dan keberanian. Semoga kita memperoleh pemimpin sedemikian.

Donny Gahral Adian, Konsultan Politik
di Hendropriyono and Associates Strategic Consulting

KOMPAS, 22 April 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar