16/04/14

Ancaman Perlambatan Pertumbuhan Tiongkok

Rene L Pattiradjawane

APA yang terjadi seandainya laju pertumbuhan ekonomi Tiongkok turun terlalu cepat? Tak ada yang tahu jawabannya dan tak ada yang bisa memberikan gambaran bahwa perekonomian Tiongkok tak akan turun. Yang kita tahu, dampak penurunan laju pertumbuhan Tiongkok akan krusial, tidak hanya bagi Tiongkok, tetapi juga bagi perekonomian dunia.

Awal April, Perdana Menteri Li Keqiang berjanji mempercepat konstruksi jaringan kereta api dan perumahan bagi orang- orang tidak mampu, sebagai upaya menahan kemerosotan pertumbuhan dan jaminan bagi investor domestik dan internasional bahwa Beijing tak akan membiarkan ekonominya bergerak terlalu lambat.

Dalam pertemuan kabinet awal bulan ini, Li menargetkan pembangunan jalur kereta api sepanjang 6.600 kilometer pada tahun ini, lebih panjang 1.000 kilometer dibandingkan dengan yang dibangun tahun lalu. Upaya ini dimaksudkan untuk mendukung dan membantu pemerintah menciptakan lapangan kerja bagi 10 juta orang sekaligus untuk menjaga stabilitas ekonomi dan sosial tahun ini.

Para pihak di Asia Tenggara melihat perkembangan pertumbuhan Tiongkok dengan waswas, memantau apakah stimulus kecil yang dilakukan Li Keqiang akan mampu meyakinkan pasar bahwa pertumbuhan bisa didorong terus. Para kolumnis ekonomi di luar Tiongkok pun berpendapat, melakukan transisi ke perlambatan pertumbuhan yang lebih berimbang merupakan tantangan tersendiri bagi Tiongkok.

Persoalannya, selama beberapa dekade terakhir tak ada pemimpin Tiongkok yang berpengalaman bekerja dengan situasi ekonomi yang rendah. Selama ini mereka terbiasa mengelola pertumbuhan ekonomi yang masif, bergerak sangat cepat, dan nyaris tanpa krisis seperti dialami negara-negara Asia ketika dilanda Krisis Keuangan Asia 1998.

Kekhawatiran terjadi dari tiga sisi. Pertama, dampak yang ditimbulkan penurunan pertumbuhan ekonomi Tiongkok akan segera dirasakan negara-negara Asia Tenggara yang selama ini menjadikan Tiongkok sebagai mitra ekonomi dan perdagangan yang paling strategis sejak tahun 2005. Berbagai impor dan ekspor nonmigas dari negara-negara Asia Tenggara memang menuju dan berasal dari daratan Tiongkok.

Kedua, ketika ASEAN mulai menjalankan konektivitas di antara negara-negara anggotanya melalui pembentukan Komunitas ASEAN 2015, pilar ekonomi yang menopang konektivitas tersebut sangat rentan menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi pada para mitra utama yang disebut sebagai ASEAN+3 (Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan).

Ketiga mitra strategis ASEAN ini menjadi ”penyelamat” ketika krisis keuangan 1998 berhasil dilalui melalui skema yang dikenal sebagai Chiang Mai Initiative, ketika 13 bank sentral mengadakan perjanjian ”multilateral currency swap”.

Dikhawatirkan, ketimpangan akibat pelemahan pertumbuhan ekonomi Tiongkok dengan cadangan devisa hampir mencapai 4 triliun dollar AS akan berdampak pada kesinambungan konektivitas kerja sama ekonomi dan perdagangan kawasan. Faktor lingkungan internasional yang tak menguntungkan karena lemahnya ekonomi penghasilan tinggi yang masih bergelut keluar dari krisis yang dihadapi juga menjadi ancaman nyata ketika ekonomi Tiongkok yang sangat kuat harus berhadapan dengan persoalan domestik yang akut.

Rene L Pattiradjawane, Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar