15/03/14

Deklarasi untuk Indonesia

Jaleswari Pramodhawardani

SEMUA pertanyaan dan spekulasi itu terjawab sudah. Tanpa perayaan, jauh dari hiruk-pikuk simbol kepolitikan Jakarta, PDI Perjuangan mengumumkan Joko Widodo alias Jokowi sebagai calon presiden 2014.

Melalui perintah harian yang ditulis tangan oleh Megawati Soekarnoputri, yang disampaikan Ketua DPP PDI-P Puan Maharani, Jumat (14/3), Megawati selaku pemegang mandat melalui Kongres III PDI-P 2010 untuk memilih capres partainya menyerahkan kembali mandat tersebut kepada rakyat Indonesia untuk memastikan Jokowi menjadi presiden RI melalui Pemilu 2014. Walaupun sudah diduga sebelumnya, pernyataan ini tetap jadi kejutan politik, setidaknya bagi kubu lawan yang masih berharap Megawati diajukan menjadi capres. Bukan untuk mendukung, melainkan menyisakan harapan bagi kemenangan mereka.

Selain itu, di luar dugaan orang, cara deklarasi capres ini dilakukan dengan tidak menggunakan cara-cara konvensional. Ketika banyak partai tampil dengan banyak warna, penuh gambar, penuh gaya, dan kebesarannya, PDI-P justru sebaliknya. Ia tampil dengan dominasi warna putih, simbol Jokowi, yang memancarkan kemurnian dan daya tarik universal. PDI-P mengesankan tidak sedang menawarkan apa pun atau tidak sedang berupaya menjejali publik dengan kemegahan kampanye deklarasi.

Pilihan untuk sederhana, tak mengandalkan media utama—dan menabrak kaidah-kaidah marketing dan advertising sekaligus—menjadikan kesederhanaan sebagai sesuatu yang hebat dan bermanfaat bagi banyak orang. Hal ini terbukti dengan ajakan mereka untuk mengunduh, menggunakan, dan memanfaatkan simbol-simbol Jokowi melalui lamannya untuk disebarluaskan. Kesukarelaan dan kegotongroyongan ingin didorongkan di sini. Bahkan, ketika deklarasi capres tersebut dibacakan, Jokowi menerima mandat tersebut ketika blusukan di daerah Marunda saat di Masjid Si Pitung.

Menyelami politik Megawati

Jika mencermati isi pidato ataupun pernyataan politik Megawati selama ini, ia memiliki sikap politik yang jelas sejak awal. Ia telah melewati hamparan sejarah panjang, melewati fase-fase kritis pergulatan Indonesia sebagai bangsa dan PDI-P sebagai kekuatan politik. Bersama PDI-P yang ia pimpin, Mega telah mengalami evolusi, penajaman dan kontekstualisasi dari gagasan dasar Bung Karno mengenai nasionalisme kerakyatan, pidato lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, dan Tri-Sakti. Jalan ideologis yang dipilih partainya sebagai hasil pergulatan politiknya selama ini.

Namun, di sisi lain harus diakui, sungguh tak mudah jadi pemimpin perempuan di tengah mayoritas budaya masyarakat patriarkis dan feodalisme yang belum sepenuhnya luntur dari kultur Indonesia. Kedua hal ini sering memberikan stigmatisasi terhadap keputusan dan gaya politiknya yang dianggap tidak sesuai dengan arus utama selama ini.

Melalui deklarasi ini pula memperlihatkan banyak pihak cabut lotre yang salah tentang dirinya. Tuduhan bahwa ia masih menginginkan jabatan presiden untuk dirinya sendiri tak terbukti. Prasangka bahwa ia menyiapkan penggantinya berdasarkan ”darah biru” trah Soekarno, sebagai bagian dari politik dinasti, terpatahkan sudah. Megawati bukan tidak tahu kritikan pedas yang ditujukan kepadanya. Partainya kerap dituduh beraroma feodalisme yang hanya menyandarkan suara pada fanatisme pemilihnya dan hubungan darah Soekarno. Di beberapa forum, ia bahkan bertanya balik: apa yang salah dengan politik dinasti? Mengapa fanatisme pemilih dianggap buruk?

Ia mengatakan, tentu tak semua politik dinasti buruk. Beberapa di antaranya membangun keberlangsungan mereka pada meritokrasi dan dukungan rakyat yang nyata. Di sisi lain Megawati juga paham ekses buruk dari politik dinasti, yaitu jebakan peluang untuk korupsi, kolusi dan nepotisme. Menurut Mega, kejahatan itulah yang perlu diwaspadai dan dicarikan mekanisme untuk pencegahannya.

Transformasi kepemimpinan

Deklarasi yang meloloskan Jokowi melenggang dalam Pilpres 2014 memunculkan interpretasi menarik. Pertama, inilah kemenangan politik Megawati sesungguhnya. Sejak Kongres III PDI-P 2010, Megawati senantiasa menyosialisasikan pentingnya menegaskan dan mengukuhkan kembali ideologi sebagai jalan perjuangan partai. Untuk menguatkan hal itu, Megawati dan PDI-P rela menapaki jalan sunyi sebagai partai politik oposisi satu dekade untuk konsolidasi dan mematangkan basis partai. Ia memiliki kesempatan untuk melakukan perekrutan dan kaderisasi partai di semua level.

Kedua, Jokowi merupakan representasi dari transformasi kepemimpinan baru, sekaligus memperlihatkan keberhasilan kaderisasi di tubuh partai. Ia diharapkan jadi pelopor kepemimpinan kaum muda, yang kuat dan teguh di tengah tantangan kemiskinan, pengangguran, keterbelakangan yang terus membengkak; di tengah-tengah frustrasi sosial masyarakat yang tak berdaya melihat masa depan yang lebih baik. Tantangan ini jelas tidak ringan. Ia perlu mengembangkan demokrasi matang yang mampu me¬m¬be¬ri arah kesejahteraan bagi rakyat. Karena itu, ia selalu menegaskan, unsur kepemimpinan sangat penting dimiliki seorang presiden. Menjadi presiden mudah, jadi pemimpin jauh lebih sulit.

Ketiga, melalui deklarasi ini Megawati membangun kepolitikan baru dengan menunjukkan bahwa parpol bertanggung jawab menghasilkan kader-kader terbaiknya mengelola bangsa dan negara ini. Partai tak bisa lagi berpangku tangan, tetapi ikut bertanggung jawab terhadap sepak terjang kader partainya. Karena itu, ideologi kerja menjadi bagian dari praktik keseharian pengelolaan partai dan dalam merumuskan kebijakan-kebijakan negara. Hal itu merupakan wujud kerangka hubungan dinamis antara negara dan rakyat yang membuat penguatan partai menjadi agenda krusial dan sebuah keharusan.

Deklarasi capres PDI-P mungkin hanya langkah kecil dari perjalanan panjang Jokowi menuju RI-1. Tentu akan banyak pertanyaan yang diajukan publik kepadanya tentang komitmen dan kerja nyata untuk kebaikan bangsa ini. Yang jelas, Jokowi dan PDI-P tidak boleh gagal mencoba mempertahankan kepercayaan rakyat yang telah memilihnya. Jokowi akan dihadapkan pada tuntutan tentang pemerintahan baru, yang membutuhkan inovasi, imajinasi, kebijakan, dan visi baru mengelola bangsa dan negara ini.

Perjalanan 16 tahun reformasi membutuhkan sebuah kepemimpinan bukan sekadar keahlian diplomasi, dan satu-satunya tes yang valid dari kepemimpinan adalah kemampuan untuk memimpin, yaitu memimpin dengan penuh semangat dan tidak cepat berpuas diri dalam kerja nyata untuk rakyat. Singkatnya, Jokowi akan dihadapkan pada tantangan pembuktian kepemimpinan generasi baru untuk mengatasi masalah-masalah baru dan peluang baru. Jokowi tentu saja tidak sendiri. Di seluruh dunia, khususnya di negara-negara baru, banyak orang muda yang merengkuh puncak kekuasaan, yang tidak terikat oleh tradisi masa lalu, yaitu orang-orang yang tidak dibutakan oleh kekhawatiran dan membenci persaingan, orang muda yang dapat membuang slogan lama; delusi dan kecurigaan. Jokowi memang harus membuktikan bahwa pilihan dan mandat Megawati terhadapnya tepat.

Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti Puslit Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) LIPI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar