08/03/14

Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan

Musdah Mulia

Membaca laporan Indeks Demokrasi Indonesia selama tiga tahun terakhir terlihat kualitas demokrasi yang masih rendah.

Indikasi paling menonjol adalah meningkatnya kasus kekerasan di banyak wilayah Indonesia, baik oleh masyarakat dalam bentuk tindakan anarkistis dan main hakim sendiri maupun oleh aparat pemerintah dan penegak hukum berupa tindakan represif dan otoriter.

Akibatnya, demokrasi belum banyak membawa keadilan, kedamaian, dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat seperti dijamin dalam Pancasila dan konstitusi Indonesia. Hal itu jelas mengindikasikan adanya kesenjangan (diskrepansi) antara tuntutan demokrasi berupa nilai-nilai keadaban publik yang luhur dan perilaku demokrasi yang cenderung tidak beretika sebagaimana dipertontonkan secara nyata, baik oleh aparat pemerintah maupun masyarakat luas.

Gunung es kekerasan

Perilaku kekerasan mencakup makna yang amat luas, di dalamnya ada bentuk khusus, yaitu kekerasan terhadap perempuan (KTP). Data kasus KTP di Indonesia dari tahun ke tahun meningkat drastis. Jika pada 2012 ada lebih dari 600 kasus, pada 2013 tercatat 992 kasus, yang dominan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) 372 kasus dan kasus kekerasan dalam pacaran berjumlah 59 kasus (data resmi LBH APIK Jakarta).

Sebuah peningkatan jumlah yang signifikan dan mengerikan. Namun, bagaikan gunung es, kasus yang terdata hanya sedikit sekali. Itu pun bukan data dari lembaga negara, melainkan dari lembaga swadaya masyarakat (NGO) yang peduli terhadap isu perempuan. Ketiadaan data membuktikan betapa negara masih abai dan belum serius menangani kasus KTP. Padahal, dalam berbagai dokumen Perserikatan Bangsa-Bangsa, KTP dinyatakan sebagai kejahatan hak asasi manusia yang sistemik dan berdampak luas.

Bentuk KTP secara umum dapat dikelompokkan dalam dua kategori: kekerasan di ranah domestik (di dalam rumah tangga) dan kekerasan di ranah publik (di luar rumah tangga).

KDRT dapat pula dibagi ke dalam empat jenis: penganiayaan fisik, seperti tamparan, pukulan, tendangan; penganiayaan psikis, seperti ancaman, hinaan, cemoohan; dan penganiayaan seksual dalam bentuk pemaksaan hubungan seksual, baik dalam pernikahan maupun di luar pernikahan. Jenis keempat adalah pengabaian kewajiban memberikan nafkah materi kepada istri atau mengontrol uang belanja.

KDRT merupakan masalah yang sangat kompleks dan jumlah kasusnya amat besar. Namun, karena kejahatan ini terjadi di dalam rumah tangga, sering kali sulit dipantau dan kemudian terabaikan. Yang lebih menyedihkan, ada anggapan bahwa KDRT hanyalah urusan internal keluarga dan merupakan aib jika dibicarakan dengan orang luar. Akibatnya, KDRT menjadi sesuatu yang dipandang lumrah di masyarakat. Merespons anggapan sesat ini, dalam Konferensi Internasional di Vienna muncul semboyan ”the personal is political.” Persoalan pribadi sekalipun jika membawa bahaya bagi orang banyak, harus dibawa ke ruang publik. Tujuannya, menghindarkan orang lain mengalami bahaya dan penderitaan serupa.

Menarik untuk dicermati, pelaku KTP dari 992 kasus yang disebutkan di awal, ternyata bukan orang biasa, melainkan terdapat juga aparatur negara yang seharusnya berkewajiban melindungi masyarakat. Terdapat 14 kasus yang pelakunya aparatur negara:  TNI dan Polri, serta pejabat dari institusi lain.

Bentuk KTP yang dilakukan aparatur negara cukup beragam, seperti ingkar janji, pemerkosaan, penelantaran ekonomi, perselingkuhan, dan penganiayaan fisik. Fatalnya, proses hukum 14 kasus tersebut berjalan sangat lambat. Ada banyak faktor berkelindan di dalamnya, seperti kurangnya sensitivitas jender dalam penyidikan, selain masalah birokrasi yang berbelit-belit.

Minim rujukan hukum

Problem lain yang dihadapi, minimnya rujukan hukum bagi kasus KTP. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) hanya mengatur dua jenis kekerasan seksual terhadap perempuan yang masuk ranah tindak pidana, yaitu pemerkosaan dan pencabulan, padahal ada begitu banyak jenis KTP. Betul, sudah ada UU PKDRT, UU Perlindungan Anak, dan UU Trafficking, tetapi implementasinya masih berjalan tertatih-tatih. Bahkan, sebagian aparat penegak hukum (APH) belum tahu keberadaan undang-undang tersebut, apalagi implementasinya.

Selain terkait materi hukum, juga problem terkait struktur hukum dan budaya hukum yang masih sangat kuat. Tidak jarang korban harus berhadapan dengan aparatur yang sinis, tidak ramah, serta cenderung membela pelaku  dan menyalahkan korban. Tambahan pula, budaya hukum patriarki yang masih kental, membuat korban enggan dan sangat malu untuk melapor. Alih-alih mereka dilindungi dan diperlakukan sebagai korban yang memerlukan welas asih dan dukungan, mereka malah mendapat cemoohan serta stigma sebagai perempuan nakal dan tidak taat aturan.  

Begitu pula proses penyidikan dalam kasus kekerasan seksual seperti pemerkosaan dan pelecehan seksual. Laporan korban  cenderung tidak dipercayai. Bahkan, sering kali penyidik mencurigai dan menyalahkan korban. Lebih parah lagi, korban justru dipersalahkan sebagai pemicu kekerasan. Akibatnya, dalam berbagai kasus kejahatan pemerkosaan, penyidik dan publik masih cenderung menganggap pemerkosaan sebagai bentuk hubungan wajar atas dasar suka sama suka. Ini sangat mengerikan!

Kesimpulannya, sangat perlu membangun sistem hukum yang adil (fair trial) sehingga siapa pun yang menjadi korban kekerasan akan terpenuhi haknya  memperoleh peradilan yang adil. Sebaliknya, siapa pun pelaku kekerasan terhadap perempuan akan diperlakukan sama di hadapan hukum (equality before the law). Bukankah keadilan sosial merupakan tujuan utama dari Pancasila, landasan pijak kita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara?

Akhirnya, dalam rangka memperingati  Hari Perempuan Sedunia (International Women’s Day), 8 Maret, kami kelompok perempuan yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Korban Kekerasan Terhadap Perempuan memilih tema sentral, ”Akhiri Kekerasan Sekarang Juga!” Perempuan Indonesia sebagai warga negara penuh dan manusia seutuhnya berhak hidup damai dan sejahtera tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun agar mereka dapat menyumbangkan partisipasi dan kontribusi positif dan konstruktif secara optimal dalam seluruh bidang pembangunan bangsa. Selamat Hari Perempuan.

Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah; Direktur Eksekutif Megawati Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar