03/02/14

“Tapering Off” Menyusahkan Kita

A Tony Prasetiantono

BANK sentral Amerika Serikat, The Fed, akhirnya memutuskan untuk melanjutkan pengurangan stimulus moneter (tapering off). Jika semula quantitative easing diturunkan dari 85 miliar dollar AS menjadi 75 miliar dollar AS per bulan, kini dosisnya diturunkan menjadi 65 miliar dollar AS per bulan. Hal ini diputuskan dalam rapat terakhir Ben S Bernanke sebagai Gubernur Bank Sentral AS, 28 Januari, sebelum dirinya diganti Janet Yellen per 1 Februari 2014.

Sebenarnya, penurunan stimulus moneter ini bisa diinterpretasikan positif. Stimulus dikurangi karena ada tanda-tanda perekonomian AS membaik. Sejak Mei 2013, tercipta rata-rata 125.000 hingga 140.000 pekerjaan baru (new employment) sehingga tingkat pengangguran AS terpangkas dari puncak terburuk 10 persen (2010) menjadi 6,7 persen pada Januari 2014. Karena data inilah Ben S Bernanke mewacanakan pengurangan stimulus sejak Mei 2013.

Jika perekonomian AS membaik, negara dengan produk domestik bruto tertinggi di dunia, yakni 16 triliun dollar AS, ini semestinya akan meningkatkan permintaan produk barang dan jasa di seluruh dunia. Bagi Indonesia, misalnya, jika pertumbuhan ekonomi AS di atas 2 persen pada 2014, itu berpotensi menaikkan permintaan pada produk primer. Harga kelapa sawit, batubara, timah, karet, dan lain-lain bisa naik sehingga menguntungkan neraca perdagangan Indonesia.

Namun, agak di luar dugaan, ternyata tapering off dimaknai lain oleh pelaku ekonomi, khususnya di pasar uang dan surat berharga. Tanda-tanda membaiknya perekonomian AS justru direspons dengan aliran modal ke AS. Para pemilik aset menukar kekayaannya menjadi aset berdenominasi dollar AS. Akibatnya, dollar AS menguat pada hampir seluruh mata uang dunia. Inilah dampak tapering off yang menyusahkan.

Indonesia termasuk negara yang mata uangnya terdepresiasi paling parah. Mengapa? Pertama, dari sisi fundamental, Indonesia tengah menderita defisit perdagangan dan transaksi berjalan. Defisit perdagangan 2013 sebesar 5 miliar dollar AS. Defisit ini memburuk dari level sebelumnya minus 1,67 miliar dollar AS (2012). Adapun defisit transaksi berjalan sekitar 32 miliar dollar AS. Angka sangat buruk. Defisit keseimbangan eksternal ini ujung-ujungnya menggerus cadangan devisa dan kurs rupiah.

Kedua, dari sisi sentimen, tingkat kepercayaan kepada pemerintah terus menipis. Terkuaknya berbagai kasus korupsi menggerus tingkat kepercayaan para pelaku ekonomi. Akibatnya, para pemilik valuta asing enggan melepas dollar sehingga rupiah melemah hingga Rp 12.200 per dollar AS.

Sebenarnya Indonesia tidak sendirian menghadapi situasi seperti ini. Setidaknya ada dua negara emerging markets lain yang nasibnya mirip, yakni India dan Turki. Begitu Federal Open Market Committee di AS memutuskan menambah penurunan tapering off, suku bunga acuan India dinaikkan 0,25 persen menjadi 8 persen. Ini agar mata uang rupee tidak merosot lebih lanjut. India dalam satu-dua tahun terakhir mengalami krisis aliran modal ke luar negeri (capital outflow) yang menyebabkan depresiasi rupee secara dalam (The Economic Times, 31/1).

Inflasi di India saat ini 10,1 persen. Jadi, dengan suku bunga acuan 8 persen, sebenarnya India mengalami suku bunga riil negatif hampir 2 persen. Situasi yang hampir sama terjadi di Indonesia: suku bunga BI Rate 7,5 persen versus inflasi 8,38 persen sehingga suku bunga riil negatif 0,88 persen.

Bagaimana Turki? Paul Krugman menyebutkan sebagai ”tertular oleh krisis kawasan Eropa selatan yang dipelopori Yunani” (”Talking Troubled Turkey”, The New York Times, 31/1). Turki barusan menaikkan suku bunga overnight-nya (pinjam-meminjam antarbank selama semalam), dari 3,5 persen ke 8 persen (borrowing) dan 7,75 persen ke 12 persen (lending). Langkah ini untuk mencegah agar mata uangnya, lira, tidak kembali merosot. Inflasi Turki saat ini 7,5 persen, yang berarti masih mempertahankan suku bunga riil positif. Hasilnya positif, lira yang semula merosot dari 2,25 lira menjadi 2,39 lira dan menguat ke 2,18 lira per dollar AS.

Bagaimana Indonesia? Perlukah suku bunga acuan (BI Rate) dinaikkan dari 7,5 persen menjadi 7,75 persen atau lebih? Pandangan para ekonom terbelah dua. Urgensi menaikkan suku bunga memang ada. Seperti India dan Turki, kita juga dihinggapi kekhawatiran aliran modal keluar. Rupiah yang melemah bisa mengkhawatirkan. Saat ini BI tentunya ingin menjaga agar rupiah tidak menyentuh level psikologis baru Rp 12.500 atau bahkan Rp 13.000 per dollar AS. Salah satu caranya menaikkan suku bunga. Namun, masih ada cara lain berupa lelang swap valas. Jaminan kurs tertentu bagi para pemilik devisa yang bersedia ”menitipkan” dananya ke BI.

Sementara itu, data ekspor-impor mulai menunjukkan gejala menggembirakan. Per Desember 2013, ada tanda-tanda surplus neraca perdagangan lagi hampir 800 juta dollar AS. Ini surplus lanjutan setelah pada November 2013 terjadi surplus 776 juta dollar AS. Saya menduga surplus ini karena kombinasi dua hal. Pertama, pelemahan rupiah ke level Rp 12.000 per dollar AS telah mendongkrak ekspor karena produk kita menjadi lebih murah dalam dollar AS. Sebaliknya, impor turun karena harganya lebih mahal. Kedua, kenaikan harga bahan bakar minyak telah menekan konsumsi sehingga impor BBM berkurang.

Sebenarnya kita mulai ”menikmati” dampak pelemahan rupiah. Dalam perspektif ini, upaya menjaga kurs rupiah dengan cara menaikkan suku bunga belum kita perlukan. Apalagi inflasi 2014 diyakini akan lebih rendah daripada tahun lalu (8,38 persen). Karena tidak ada beban menaikkan harga BBM lagi pada 2014, ekspektasi inflasi bisa diturunkan menjadi 5,5 persen hingga 6,5 persen. Memang benar inflasi Januari 2014 diperkirakan bisa mendekati 1 persen karena serangkaian banjir dan bencana alam. Namun, ke depan, potensi inflasi tidaklah besar.

Dengan inflasi yang menurun, BI Rate 7,5 persen tidak mempunyai argumentasi kuat untuk dinaikkan lagi. Justru ke depan, BI Rate sangat mungkin berangsur-angsur diturunkan sehingga suku bunga riil akan bergerak ke positif atau setidaknya netral (suku bunga sama dengan inflasi). Meski berlangsung pelan, saya mulai melihat adanya asa perbaikan ekonomi pada 2014, apalagi jika sentimen positif bertiup kencang dari penyelenggaraan pemilu yang sukses nanti. Ini yang harus kita jaga.

A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik (PSEKP) UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar