04/02/14

Perang di Suriah Pasca-Geneva 2

Darmansyah Djumala

PERANG saudara di Suriah yang telah berlangsung hampir tiga tahun kian mengenaskan. Lebih dari 130.000 nyawa melayang sia-sia dan mengempaskan lebih dari 2 juta wanita dan anak-anak ke tenda-tenda pengungsi.

Di tengah kecamuk perang dan nestapa itu, untunglah ada sepotong harapan dan usaha menghentikan perang.  Difasilitasi Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, untuk kali pertama Pemerintah Suriah dan oposisi berunding menyelesaikan konflik.

Perundingan yang diselenggarakan di Markas PBB Geneva (dikenal dengan Konferensi Geneva 2) itu menindaklanjuti hasil kesepakatan Konferensi Geneva 1 pada Juni 2012 yang mengamanatkan pembentukan pemerintahan transisi di Suriah.

Namun, alih-alih membentuk pemerintahan transisi, menyetu- jui akses guna menyalurkan bantuan kemanusiaan bagi rakyat sipil yang terjebak perang di kota Homs saja  kedua pihak tak kunjung mencapai kata sepakat. Sampai hari terakhir putaran perundingan pertama Geneva 2 masih belum terlihat tanda kedua pihak sepakat menghentikan perang. Dapatkah Konferensi Geneva 2 menghadirkan damai, atau setidaknya menghentikan perang di Suriah?

Pemerintahan transisi

Sejatinya Konferensi Geneva 2 diharapkan dapat menghasilkan kesepakatan mengenai bentuk dan mandat pemerintahan transisi Suriah. Namun, justru dalam ihwal inilah pandangan kedua pihak berlawanan secara diametral: oposisi bersikukuh agar Bashar al-Assad tak jadi bagian pemerintahan transisi, sedangkan rezim Assad tak ingin isu pemerintahan transisi itu jadi agenda utama Konferensi Geneva 2.

Terkait pembahasan isu pemerintahan transisi ini, ada manuver cerdas yang dimainkan rezim Assad dalam Konferensi Geneva 2 dalam upayanya berkelit dari wacana itu. Meski sejak awal Konferensi Geneva 2 dimandatkan menindaklanjuti salah satu kesepakatan Konferensi Geneva 1, yaitu pembentukan pemerintahan transisi Suriah, ternyata sampai akhir perundingan rezim Assad tak sudi isu itu dibicarakan, apalagi  dibahas tuntas. Rezim Assad membelokkan isu utama Geneva 2 pada satu hal: terorisme. Menarik kemudian dipertanya-an: mengapa isu terorisme yang malah ditonjolkan Assad?

Assad sangat paham, isu terorisme sungguh seksi di mata Barat. Dengan mengangkat isu terorisme, Assad berharap akan terbangun opini bahwa Suriah adalah korban terorisme. Jika  pemerintahnya menghalau pasukan bersenjata, itu bukan berarti  membunuh pejuang demokrasi, tetapi membasmi terorisme. Label sebagai negara yang membasmi terorisme akan menempatkan Suriah pada posisi yang lebih  kurang sama dengan negara-negara Barat.

Pada titik inilah dapat ditengarai bahwa upaya mengangkat isu terorisme pada Konferensi Geneva 2 tidak lebih dari sebuah pengalihan isu. Isu terorisme di Geneva 2 telah mengubah narasi konflik Suriah: dari gerakan prodemokrasi melawan rezim totaliter menjadi  pemerintahan yang sah membasmi terorisme internasional.

Lebih jauh, pengalihan isu ini dapat mengubah citra rezim Suriah, yang dulu dianggap korban konspirasi Barat untuk mendemokratiskan tanah Arab, sekarang dipandang sebagai mitra Barat dalam membasmi terorisme. Label sebagai mitra Barat inilah  yang sedang dimainkan rezim Assad, menuai simpati dunia dan menjustifikasi tindakan kerasnya terhadap pemberontak.

Dengan strategi pengalihan isu seperti itu, tidak heran ketika  Menteri Luar Negeri Suriah Walid Muallem saat Konferensi Geneva 2 dengan penuh percaya diri dan gamblang mengungkapkan daftar teroris internasional yang ikut mengacaukan Suriah. Memang sejak pecah konflik pada Maret 2011, Suriah menjadi lahan subur bagi terorisme internasional. Menurut Muallem, tidak kurang teroris dari Inggris, Perancis, Pakistan, dan Arab Saudi nimbrung dalam konflik.

Lanskap konflik Suriah makin kompleks dengan kehadiran teroris yang memang berafiliasi dengan kelompok teroris legendaris Al Qaeda seperti Al-Nusra Front, yang target politiknya adalah menumbangkan rezim Assad.

Di samping itu, ada juga kelompok Ahrar ash-Sham yang beranggotakan 10.000–20.000 pejuang bersenjata dan kelompok pejuang ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) yang memiliki wilayah operasi di Irak dan Suriah. Meski ketiga kelompok ini sama-sama merupakan sayap Islamis dalam kelompok oposisi dan berbeda dalam afiliasi organisasi, mereka disatukan satu hal: menjatuhkan Assad dan menginginkan Suriah diperintah rezim yang prosyariat Islam. Yang menarik adalah kelompok Ahrar ash-Sham. Meski menginginkan syariat Islam, mereka dinilai tidak anti-Barat.

Menyulitkan Barat

Kompleksitas peta terorisme di Suriah yang demikian itu akan menyulitkan posisi Barat dalam menangani konflik Suriah. Pertama, sikap politik Ahrar ash-Sham yang tidak anti-Barat sangat mungkin bertemu dengan kepentingan AS dan Barat yang menginginkan Assad lengser dari singgasananya. Jika hal itu terjadi, pelabelan Ahrar ash-Sham oleh rezim Assad sebagai teroris akan menempatkan AS dan Barat dalam posisi rikuh: bagaimana bisa Barat yang anti-teroris dapat bekerja sama dengan organisasi teroris hanya untuk kepentingan sesaat, yaitu menjatuhkan Assad.

Kedua, dalam berbagai laporan media, dikabarkan posisi pasukan pemerintah di medan laga lebih baik dibandingkan dengan pejuang oposisi. Berbagai kota penting kini kembali dikuasai oleh pasukan pemerintah.

Jika tendensi ini terus berlanjut, AS dan Barat dihadapkan pada pilihan sulit. Seperti dikatakan mantan Dubes AS untuk Irak dan Suriah, ”as bad as he  (Assad) is, he is not as bad as the jihadist who would take over in his absence.” Ini menyiratkan bahwa lebih baik bagi AS mulai bicara dengan Assad daripada membiarkan teroris terus gentayangan di Suriah karena terorislah yang akan menguasai Suriah sepeninggal Assad. Bagi AS saat ini, hanya Assad yang bisa membasmi teroris, musuh utama AS di tanah Arab.

Konferensi Geneva 2, dilihat dari aspek penyelesaian konflik, jauh untuk disebut sukses. Tidak ada keputusan berarti yang dapat meredakan ketegangan antara kedua pihak. Konferensi Geneva 2 hanya menegaskan bahwa Assad mampu mengalihkan isu dan mengubah narasi perang Suriah: dari gerakan prodemokrasi melawan pemerintahan totaliter menjadi perang melawan terorisme internasional.

Manuver ini telah menempatkan Suriah dan Barat berada dalam posisi yang sama, menghadapi musuh bersama yang bernama terorisme internasional. Selagi belum ada bantuan konkret berupa pasukan dan senjata di lapangan dari Barat secara masif untuk pasukan oposisi, dengan adanya pergeseran narasi tadi, Assad akan memperkuat posisi militernya di berbagai kota.

Dengan komplikasi lanskap politik terorisme di Suriah, ditambah dengan belum adanya titik terang untuk membahas pembentukan pemerintahan transisi, perang di Suriah masih akan terus berlanjut dan semakin mematikan.

Darmansyah Djumala, Diplomat Indonesia; Bertugas di Polandia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar