05/02/14

Menembak Mati Teroris

Franz Magnis-Suseno

Di tahun-tahun pertama sesudah keambrukan rezim Orde Baru, sikap aparat terhadap terorisme melempem. Pengusutan bom Istiqlal pada 1999 dihentikan begitu saja meski para pelaku di lapangan lekas tertangkap.

Para perencana dan pelaksana bom-bom di malam Natal 2000 (di sekitar 30 tempat bom-bom meledak di malam Natal itu, 17 orang mati dan lebih dari 100 orang luka-luka) tidak diusut sungguh-sungguh. Bahwa dua-tiga dari puluhan pengeboman itu akhirnya terbongkar hanya merupakan buah sampingan kebetulan dari pengusutan bom-bom di Bali di kemudian hari. Syukurlah zaman jahiliah impunity sekarang sudah berlalu, sekurang-kurangnya dalam hal terorisme.

Bahwa sekarang para teroris diuber-uber dan diburu, bahwa para pemburu tidak mau mengambil risiko, bahwa tersangka teroris yang tidak langsung menjatuhkan senjatanya dan mengangkat tangan akan ditembak, menurut saya, sudah jelas dan kiranya dimengerti oleh sebagian besar masyarakat.

Kita tidak mau diledakkan oleh orang-orang yang menganggap diri Tuhan dan kita juga tidak mau ada polisi lagi yang ditembak mati. Kita bersyukur bahwa terorisme tidak dibiarkan lagi.

Justru karena dukungan luas itu, Densus 88, polisi, dan pemerintah harus betul-betul memperhatikan pertanyaan-pertanyaan kritis dari masyarakat. Kalau mereka mempertanyakan mengapa begitu banyak teroris tertembak mati, jangan mereka dianggap simpatisan teroris, atau orang yang apriori antiaparat, atau orang naif yang tidak tahu bahwa teroris memang berbahaya.

Kredibilitas aparat

Yang dipertaruhkan adalah kredibilitas aparat yang memberantas terorisme. Kejahatan kaum teroris adalah mereka memakai kekerasan membabi buta untuk mencapai tujuan-tujuan mereka. Mereka tidak menunjukkan hormat terhadap harkat kemanusiaan orang lain. Mereka bukan Tuhan, tetapi merasa berdaulat seperti Tuhan.

Pemberantasan terorisme hanya mempertahankan harkatnya jika harkat kaum teroris sebagai manusia pun dihormati. Yang membedakan kebajikan dari kebajinganan bukan tujuan, misalnya mencapai masyarakat yang lebih adil, melainkan sarana yang dipakai untuk mencapai tujuan itu. Bajingan memakai segala sarana, orang yang bajik hanya memakai sarana yang sesuai dengan martabat setiap manusia sebagai ciptaan istimewa dari tangan Tuhan. Tujuan baik, memberantas terorisme, akan menjadi jelek apabila dilakukan dengan cara-cara yang jelek.

Maka, kalau teroris ”diburu”, kita sendiri tidak boleh menjadi teroris. Tujuan pemburuan itu adalah agar mereka tidak dapat melakukan terorisme mereka dan dibawa ke pengadilan. Nasib mereka selanjutnya wajib mutlak ditentukan dalam suatu proses hukum. Penjahat pun dihormati harkat kemanusiaannya dan itu justru yang tercapai dalam proses hukum. Bahwa penjahat pun diperlakukan menurut hukum adalah tanda negara yang beradab.

Oleh karena itu, memang wajar kalau ada komentator yang mempertanyakan apakah pembunuhan langsung–eksekusi– para teroris melanggar hak-hak asasi manusia. Jawabannya jelas: kecuali pembunuhan adalah satu-satunya jalan untuk membuat mereka tidak mengancam para penangkap, maka segala eksekusi tentu melanggar hak asasi manusia.

Kita pernah mengalami masa yang mengerikan. Generasi saya masih ingat bagaimana orang seperti Tan Malaka, tokoh-tokoh PKI seperti Aidit dan Nyoto, dan ribuan tahanan dieksekusi begitu saja tanpa proses hukum. Kita masih ingat ’petrus’, penembakan misterius terhadap preman-preman di Pulau Jawa pada tahun 1980-an. Katanya sekitar 10.000 orang ditembak mati begitu saja dalam waktu satu setengah tahun. Kita tentu mengharapkan bahwa masa-masa jahat dan barbar itu tak pernah kembali.

Maka, Densus 88 diharapkan terus melakukan tugas pengamanan kita dari ancaman terorisme. Kita merasa berterima kasih kepada mereka. Namun, segala kesan bahwa mereka kembali ke zaman eksekusi ekstrayudisial akan menghancurkan segala kebaikan yang mau mereka capai. Kita harus membiasakan diri membatinkan sedalam-dalamnya bahwa setiap orang, yang paling jahat pun, kita perlakukan sesuai dengan harkat kemanusiaan yang diterimanya dari Tuhan.

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar