01/02/14

Demi Kesetaraan dan Keyakinan

Sukidi

Pada 30 Januari 2014, Todung Mulya Lubis, selaku ketua dewan pengurus dan pendiri Yayasan Yap Thiam Hien, menganugerahkan penghargaan Yap Thiam Hien kepada Profesor M Dawam Rahardjo. Anugerah itu tak lepas dari konsistensi Dawam dalam memperjuangkan kesetaraan di Indonesia.

Di tengah bahaya diskriminasi, intoleransi, dan persekusi keyakinan, saya berargumen bahwa kesetaraan yang diperjuangkan oleh Dawam bukan sekadar meneladani spirit hidup Yap Thiam Hien. Apa yang diperjuangkan Dawam juga memberikan kontribusi signifikan terhadap tegaknya kebinekaan Indonesia.

Bukan demi toleransi

Kesetaraan menjadi harapan ideal di kalangan minoritas. Yap Thiam Hien sendiri menempuh kehidupannya sebagai minoritas, yang berasal dari suku Aceh, beretnik Tionghoa, dan beragama Protestan. Karena itu, pembelaan hak-hak minoritas sudah menjadi kesadaran yang intrinsik dalam kehidupan Yap.

Menurut sahabat karibnya, Daniel S Lev, dalam In Memoriam: Yap Thiam Hien, 1913-1989 (Indonesia, 1989), Yap berpandangan bahwa pembelaan hak-hak minoritas hanya menjadi logis sekiranya diletakkan sebagai bagian dari perjuangan untuk hak-hak semua warga negara. Yap melebur dikotomi mayoritas-minoritas ke dalam nomenklatur ke-”kita”-an, yang merefleksikan perjuangan bersama demi kesetaraan tiap warga negara Indonesia.

Dalam konteks keagamaan, prinsip kesetaraan inilah yang menggerakkan perjuangan Dawam akhir-akhir ini. Dawam berjuang bukan demi toleransi karena toleransi tak lebih dari sekadar konsesi, yang datang dari negara—dan terutama dari mayoritas—agar menahan diri dari intoleransi dan menunjukkan toleransi kepada minoritas yang mengalami persekusi keyakinan.

Dengan demikian, toleransi menjadi pilihan yang jauh dari ideal sebagai pilar masyarakat yang plural. Bahkan, menurut Profesor Diana L Eck di Universitas Harvard, AS, toleransi terlalu rapuh sebagai fondasi suatu masyarakat yang semakin plural. Apalagi toleransi tidak mensyaratkan setiap warga negara untuk mengenal satu sama lain secara aktif (Eck, 2001: 10). Dan, lebih penting dari itu, juga tidak secara setara.

Dengan kerangka ini, saya tidak pernah membayangkan Dawam seperti John Locke (1632-1704) yang berjuang demi toleransi di tengah suasana intoleransi dan persekusi berdarah-darah di Inggris. Dalam pengantar risalahnya, Epistola de Tolerantia (1685), tertuliskan frasa ini: ”kebebasan yang mutlak, kebebasan yang adil dan benar, kebebasan yang setara dan imparsial, adalah sesuatu yang perlu kita pertahankan”.

Frasa dalam pengantar risalah ini sering kali ditafsirkan sebagai ide Locke untuk menjustifikasi posisinya dalam memperjuangkan kebebasan berkeyakinan yang setara dan mutlak. Padahal, penulis otentik dalam pengantar risalah ini adalah William Popple (1638-1708), sahabat dekat Locke, yang menerjemahkan risalahnya dari bahasa Latin, Epistola de Tolerantia, ke bahasa Inggris, A Letter Concerning Toleration (1689). Sementara Popple memperjuangkan hak kebebasan berkeyakinan yang setara dan mutlak, Locke hanya memperjuangkan toleransi untuk mereka yang tidak memperoleh kebebasan agama dan sipil hanya karena perbedaan pendapat dengan gereja Anglikan.

Perjuangan Locke demi toleransi menjadi terbatas, terutama terbukti pada sikap Locke yang tidak memberikan toleransi: pertama, untuk Ateis karena penolakannya kepada Tuhan; kedua, untuk Katolik karena kesetiaan dan kepatuhan utamanya ditujukan kepada Paus yang mengesampingkan kewajiban mereka kepada negara sipil; dan, ketiga, untuk Muslim karena mempertautkan keyakinan Islam dengan kepatuhan politik kepada mufti Konstantinopel di Turki.

Kesetaraan dalam keyakinan

Dengan analogi toleransi Locke, Dawam Rahardjo berjuang bukan demi toleransi, tetapi demi kesetaraan. ”Terpilihnya Dawam,” menurut pembaharu muslimah Musdah Mulia—salah satu juri penghargaan Yap Thiam Hien—”untuk mengingatkan masih perlunya perjuangan kesetaraan di Indonesia” (Kompas, 10 Desember 2013).

Di usia tuanya, Dawam terpanggil untuk memperjuangkan kesetaraan tiap warga negara, terutama dalam hak kebebasan untuk menganut keyakinan yang sesuai kehendak nuraninya—atau sesuai ”kapabilitas internal,” menurut Martha Nussbaum (2007). Secara teologis, keyakinan yang dianut tiap warga negara merupakan hak yang diberikan secara setara oleh Tuhan. Karena keyakinan berasal dari hak yang diberikan oleh Tuhan (God-given liberty of conscience), maka keyakinan harus diletakkan pada lokus yang personal antara tiap warga negara dan Tuhannya.

Konsekuensinya, Dawam membela prinsip kebebasan yang setara kepada setiap warga negara untuk menganut agama dan keyakinan yang sesuai nuraninya, mulai dari Yahudi, Protestan, Katolik, Islam, Hindu, Buddha, Khonghucu, sampai sekte-sekte keyakinan yang plural.

Atas dasar inilah, saya membayangkan Dawam Rahardjo seperti Roger Williams (1603-1704) yang telah memelopori tradisi kebebasan keyakinan yang setara, mutlak, dan komprehensif kepada semua manusia di semua bangsa dan negara, tanpa diperkenankan sedikit pun adanya intervensi eksternal. Sebab, setiap bentuk intervensi eksternal terhadap hubungan internal antara setiap manusia dan Tuhannya adalah pelanggaran hak asasi yang serius terhadap keyakinan.

Inilah yang menjelaskan mengapa Dawam Rahardjo, seperti halnya Roger Williams, berjuang gigih untuk melawan setiap intervensi eksternal—dari otoritas sipil ataupun otoritas agama—terhadap keyakinan yang dianut oleh setiap warga negara.

Yurisdiksi kedua otoritas itu bukanlah terletak pada intervensi keyakinan, tetapi pada perlakuan yang setara kepada setiap warga negara untuk dapat beribadah secara bebas sesuai agama dan keyakinan masing-masing—juga untuk dapat mendirikan tempat ibadah—tanpa ada hambatan apa pun.

Sukidi, Kandidat PhD Studi Agama di Universitas Harvard, AS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar