07/12/13

Warisan Mandela

Azyumardi Azra
 
WAFATNYA  Nelson Mandela pada 5 Desember 2013 kemarin meninggalkan banyak ”warisan” (legacy) bukan hanya bagi Afrika Selatan, melainkan juga dunia, termasuk Indonesia.

Jelas, Mandela bakal terus dikenang sebagai tokoh karismatik yang berhasil menumbangkan rezim apartheid di Afrika Selatan, yang selanjutnya mengantarkan negerinya ke dalam demokrasi.

Bagi Indonesia, warisan Mandela lebih daripada sekadar kenangan manis dan penuh hormat tentang kegemarannya memakai baju batik lengan panjang. Banyak juga cara pandang dan sikap politik Mandela yang sangat relevan dan kontekstual yang semestinya dapat diaktualisasikan di Tanah Air.

Apartheid bentuk baru

Berefleksi dari penumbangan apartheid, warisan Mandela dalam hal ini masih menjadi agenda yang mesti diperjuangkan. Masih bertahannya berbagai bentuk politik apartheid, termasuk yang subtil sekalipun, menjadi tugas para pemimpin di banyak negara dan masyarakat sipil untuk menghapuskannya.

Di negara tertentu di muka bumi, masih terdapat berbagai bentuk politik dan kebijakan apartheid, yang memisahkan golongan warga tertentu atas dasar warna kulit, ras (atau suku), dan bahkan agama.

Mantan Presiden AS Jimmy Carter, misalnya, pernah menulis buku best seller yang pasti mengingatkan orang kepada legacy Mandela yang perlu menjadi agenda perjuangan hari ini dan ke depan. Buku itu secara tegas menggunakan istilah apartheid: Palestine: Peace not Apartheid (2006).

Buku ini begitu diluncurkan ke publik segera menimbulkan kemarahan banyak warga Israel dan Yahudi yang serta-merta menuduhnya sebagai tokoh ”anti-Semitisme”. Carter secara persuasif, tetapi tegas, mengkritik pembangunan tembok di perbatasan Israel dengan Palestina, yang menurut dia tidak lain merupakan bentuk baru politik apartheid. Di tengah kritik Carter itu, Pemerintah Israel terus melanjutkan pembangunan dinding tebal dan tinggi tersebut sampai sekarang.

Pandangan dunia dan sikap politik apartheid juga tengah meningkat di banyak negara Barat dalam beberapa tahun terakhir. Terkait banyak dengan krisis dan kemerosotan ekonomi di sejumlah negara Barat—khususnya di Eropa—kalangan kulit putih dan partai politik tertentu membangkitkan politik ultra-kanan yang anti-migran dan anti-Muslim. Sikap politik seperti ini bukan tidak mengandung unsur apartheid yang menghalangi penciptaan dunia yang lebih damai dan harmonis.

Memaafkan, tidak melupakan

Warisan Mandela utama lainnya pastilah terkait dengan cara pandang dunia, paradigma dan praksisnya tentang forgiven but not forgotten’ menyangkut pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang pernah dilakukan rezim penguasa pada masa lampau. Mandela menjadi korban represi dan penindasan rezim apartheid kulit putih selama 27 tahun dalam tiga penjara yang berbeda—yang paling angker adalah penjara Robben Island.

Hanya berkat tekanan internasional yang bertubi-tubi, Mandela dibebaskan dari penjara pada tahun 1990. Pasca-pembebasan, Mandela bukan tidak sering pula dituduh lawan-lawannya sebagai ”komunis” dan bahkan ”teroris”. Namun, Mandela tetap teguh menempuh cara damai bernegosiasi dengan Presiden FW de Klerk untuk penghapusan apartheid, yang akhirnya berujung pemilu multirasial tahun 1994 yang dimenangi African National Congress (ANC) dan mengantarkannya menjadi presiden (1994-1999).

Mandela memberikan contoh tentang ketinggian kebajikan. Alih-alih melakukan pembalasan (revenge) terhadap para pelaku kejahatan kemanusiaan di masa sebelumnya, Mandela sebaliknya memberikan pemaafan (forgiven). Inilah sebuah kebajikan yang walaupun semua agama dan nilai luhur mengajarkan tidak sanggup dilakukan semua orang.

Pemaafan adalah kunci utama untuk rekonsiliasi. Tidak ada harmoni dan hidup berdampingan secara damai jika kelompok-kelompok warga yang berbeda terpenjara dendam kesumat. Dendam yang terus menyala secara terpendam tak lain adalah bara api dalam hati yang menutup pintu bagi rekonsiliasi yang tulus (genuine) dan autentik.

Namun, pemaafan tidak berarti harus melupakan (forgotten). Di sini Mandela memberikan contoh terbaik dalam menyikapi sejarah. Peristiwa-peristiwa pahit dan kelam dalam sejarah kemanusiaan mestilah tidak dilupakan. Sebaliknya, untuk terus diingat anak manusia agar tidak mengulangi kepahitan dan kenestapaan sejarah. Dari sinilah orang dapat menjadikan sejarah sebagai pelajaran moral (moral lesson) yang sangat berharga.

Bagi Indonesia, paradigma dan praksis ”pemaafan tetapi tidak melupakan” merupakan warisan Mandela yang masih relevan dan kontekstual. Masih ada sejumlah kepahitan sejarah yang belum terselesaikan sampai sekarang menyangkut korban-korban kemanusiaan, seperti Kasus Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), Peristiwa Tanjung Priok, Peristiwa Talangsari, atau Kasus Mei 1998.

Belajar dari Mandela

Pemerintah Indonesia di bawah Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) ingin belajar dari Mandela. Penulis pernah menjadi anggota tim yang diutus pemerintahan Gus Dur pada tahun 2000 untuk mengkaji kemungkinan penerapan ”pemaafan tetapi tidak melupakan”. Hasilnya, setelah melalui perdebatan dan kontroversi, Indonesia akhirnya memiliki Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) Nomor 27 Tahun 2004. Namun, UU KKR dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK) di bawah pimpinan Jimly Asshiddiqie yang menilainya sebagai ”inkonstitusional’ alias ‘bertentangan’ dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Sampai sekarang, para korban ”kejahatan kemanusiaan” dalam kasus-kasus tadi masih berharap dibangkitkannya kembali UU KKR yang dapat menyelesaikan kepahitan sejarah masa silam. Jika Indonesia ingin menjaga dan melanjutkan warisan Mandela, jelas perlu keberanian mengungkapkan kebenaran menyangkut kasus-kasus pelanggaran kemanusiaan pada masa silam sebelum dapat terwujud pemaafan dan rekonsiliasi yang sesungguhnya.

Azyumardi Azra, Guru Besar Sejarah; Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta; Pernah Menjadi Anggota Dewan Penasihat International IDEA Stockholm dan UN Democracy Fund, New York

Tidak ada komentar:

Posting Komentar