13/12/13

Sepotong Kisah Kemacetan

Suhartono Ronggodirdjo

Kejadiannya memang sudah awal November. Namun, gaungnya masih bisa dibahas sampai sekarang. Apalagi kalau bukan soal curahan hati Presiden SBY soal kemacetan. ”Saya seperti tertusuk ketemu teman–teman perdana menteri yang sampai dua jam dari bandara ke Istana. Saya tidak enak ditanya solusi kemacetan. Yang harus jelaskan bukan saya, tapi gubernurnya,” begitu dikatakannya kepada para wartawan.

Pernyataan Presiden SBY, yang kelihatannya sederhana, menjadi tidak biasa karena suhu politik sedang hangat. Maklum, gubernur yang ditunjuk SBY itu sedang jadi ikon politik: dicintai media dan populer di mata rakyat.

Maka, pernyataan ini bisa mengandung dua arti. Pertama, Presiden memang sedih dan kaget begitu ditanya oleh ”teman-temannya” karena, menurut Presiden, yang lebih tahu dan bertanggung jawab adalah Gubernur DKI. Kedua, Presiden sedang menyindir Gubernur DKI karena kondisi lalu lintas di DKI masih parah.

Menelisik pernyataan Presiden SBY tentang pertanyaan ”teman-temannya” itu, kita tidak perlu memihak siapa pun.

Cukup memakai logika saja. Adalah sesuatu yang aneh dan di luar kebiasaan jika seorang tamu negara yang terhormat: perdana menteri, kepala pemerintahan yang sedang bertamu, menanyakan sisi negatif negara tuan rumah, apalagi mengeluhkan lama perjalanan.

Sopan santunnya, sang tamu terhormat tidak menyinggung hal yang ”remeh-temeh” dalam tingkat pembicaraan antar-dua pemimpin negara, kecuali dimulai pihak tuan rumah.

Biasanya, mereka akan pura-pura tidak tahu kalau jalanan macet atau mengatakannya sebagai hal biasa di negara mana pun, termasuk di negara tamu yang bersangkutan. Cukup aneh pula jika tamu negara yang penting, dari bandara ke Istana tidak menggunakan voorijder, sampai harus memakan waktu dua jam.

Banyak masalah

Seperti gubernur-gubernur sebelumnya, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo dan wakilnya, Basuki Tjahaja Purnama, dari awal memang menghadapi banyak masalah yang sepertinya mustahil diatasi. Apalagi mereka baru setahun menjabat.

Kenyataannya, gubernur dan wakilnya ini justru sudah memetakan masalah di wilayah kerjanya sehingga bisa membuat konsep dan menyusun rencana kerja yang menyeluruh.

Mereka berusaha menerapkan manajemen yang benar secara benar. Kedua pejabat itu meski tegas tetap menjunjung tinggi kesantunan: tidak pernah menyebut siapa-siapa yang mempunyai andil atas kondisi DKI yang semrawut seperti sekarang. Bagi mereka, yang penting adalah bekerja menyelesaikan setiap masalah untuk kepentingan rakyat banyak, titik.

Mereka menyentuh kesejahteraan rakyat mulai dari Kartu Jakarta Sehat, Kartu Jakarta Pintar, dan mengefisiensikan pelayanan penduduk.

Masalah banjir ditangani mulai dari membersihkan gorong-gorong, penormalan sungai, serta pengembalian dan perbaikan fungsi dan kondisi waduk-waduk. Penduduk di kawasan waduk dipindahkan tanpa kericuhan.

Taman-taman terbuka hijau dibangun dan tempat hiburan murah untuk penduduk dikembangkan. Pasar Tanah Abang, yang menyebabkan kemacetan parah puluhan tahun, dibenahi dengan damai.

Kepadatan kendaraan diatasi dengan penambahan bus transjakarta, pembenahan angkutan umum lain, dan dimulainya pembangunan monorel. Di bidang birokrasi, aparat DKI yang tidak bekerja dengan baik diganti, jabatan dilelang, dan pengawasan difungsikan.

Tentu semua tidak berjalan mulus, pasti ada kekurangan dan belum berjalan sesuai rencana. Ada penduduk yang susah diatur dan terbiasa semaunya sendiri, ada pihak-pihak yang terusik pembenahan ini sehingga selalu mencela, mengecilkan, dan mencari-cari kesalahan gubernur dan wakilnya.

Membenahi DKI memang tidak mudah. Urusan banjir dari sungai-sungai dan kepadatan kendaraan di jalan tidak bisa diatasi DKI sendiri. Perlu kerja sama dengan kawasan sekelilingnya karena sungai-sungai berhulu di daerah lain dan kendaraan-kendaraan banyak yang datang dari luar perbatasan DKI.

Tanggung jawab pusat

Bagaimana bisa presiden tidak merasa bertanggung jawab atas kemacetan lalu lintas, sementara kebijakan pemerintahannya justru menambah kepadatan dengan mengizinkan mobil murah. Alasan-alasan para elite partai yang membela kebijakan mobil murah malah menjadi tertawaan. Kiranya lebih baik mereka diam saja daripada kelihatan ”bodohnya”.

Jokowi menyadari bahwa wewenang pembentukan Otoritas Transportasi Jakarta untuk menyelaraskan arus lalu lintas wilayah Jakarta, Bogor, Tangerang, Depok, dan Bekasi ada di tangan pemerintah pusat. Namun, pemerintah pusat belum siuman. Oleh karena itu, daripada sibuk mencela Jokowi dan wakilnya, lebih baik biarkan saja mereka bekerja menyelesaikan program-programnya.

Jika Jokowi berhasil, toh mereka juga menikmati hasilnya. Jika ternyata tidak becus, ya, tidak perlu dipilih kembali. Kalaupun mau dicalonkan jadi presiden, ya, tidak laku.

Mungkin kita lupa bahwa sebagian besar rakyat sekarang tidak bodoh. Mereka tahu apa seharusnya tugas pemerintah. Mereka tahu partai mana yang tidak bersih dan tidak benar-benar berjuang untuk rakyat. Mereka tahu, apa itu KPK, mencintai dan mendukung semua upayanya memberantas korupsi.

Rakyat juga tahu dan mengerti ada tokoh-tokoh partai yang sering bicara di televisi secara ngawur, seolah paling pandai. Tapi, ya, itulah demokrasi kita. Baru sebatas itu.

Suhartono Ronggodirdjo, Mantan Diplomat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar