16/12/13

Saatnya Rakyat Memilih dan Memilah

Sutta Dharmasaputra

MENYAKSIKAN pemakaman Nelson Mandela mengingatkan kembali akan kata-kata bijak. Kebajikan seseorang dalam menjalani kehidupan pasti terlihat jelas saat dia menyelesaikan kehidupannya.

Hingga akhir hayatnya, mantan Presiden Afrika Selatan itu dicintai seluruh rakyatnya. Bukan hanya yang sepaham dengannya, melainkan juga lawan politiknya di masa lalu. Jerit tangis haru mengiringi kepergiannya saat peti jenazahnya tiba di kota kelahirannya, Qunu. Warga menyambut jenazah Mandela di sepanjang jalan untuk mengucapkan, ”Selamat jalan.”

Banyak warga dunia merasa kehilangan tokoh besar itu. Yang memberikan penghormatan terakhir bukan hanya para pemimpin tertinggi negara, melainkan juga masyarakat biasa di banyak negara. Warga New York, AS, spontan membawa lentera di luar restoran dengan nama Nelson Mandela di kawasan Brooklyn. Sementara banyak warga China yang memberikan penghormatan di depan Kedutaan Besar Afrika Selatan di Beijing.

Mandela boleh jadi merupakan negarawan yang paling ”diagungkan” dewasa ini. Dia tidak hanya berhasil menghentikan pertikaian tak berkesudahan di negerinya sendiri dari praktik politik apartheid, tetapi juga menginspirasi banyak belahan dunia lain untuk juga menghapuskan segala kebijakan yang diskriminatif. Penerima Nobel Perdamaian itu telah menjadi simbol humanitas.

Menjadi ”Mandela” bisa jadi merupakan impian semua politisi, bahkan juga nonpolitisi. Kalau ada 1.000 politisi di negeri ini ditanya soal pencapaian Mandela, bisa jadi tiada satu pun yang tak menginginkan pencapaian itu. Namun, kalau diingatkan, bagaimana proses Mandela mengubah dirinya dari seorang politisi menjadi seorang negarawan, bisa jadi tak satu pun menyanggupinya.

Bagaimana tidak? Mandela rela mengorbankan dirinya demi memperjuangkan kebebasan rakyatnya. Selama 27 tahun, dia harus meringkuk di penjara dan mengalami banyak penyiksaan fisik demi memperjuangkan kebebasan rakyatnya.

Membayangkan apa yang terjadi belakangan ini pada politisi di negeri ini rasanya bak bumi dan langit. Mereka juga banyak yang dipenjara, tetapi bukan karena berkorban demi rakyat, melainkan justru malah mencoba mengambil keuntungan diri dengan mengorupsi uang rakyat. Sungguh getir terasa.

Politisi yang melakukan korupsi itu bukan lagi kelas teri. Mereka bukan anggota partai atau pengurus ranting, cabang, atau wilayah, melainkan pengurus pusat, bahkan pemimpin tertinggi partai dan dewan pembina partai.

Mereka juga ada yang menduduki posisi-posisi penting dalam negara, baik di lembaga legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Gara-gara fenomena ini, muncul kosakata baru, yaitu trias koruptika, sebagai bentuk pelesetan dari trias politika.

Indonesia Corruption Watch, Oktober 2013, merilis, sejak semester II-2012 hingga semester II-2013 saja, tercatat sudah 81 anggota DPR yang terjerat korupsi. Kementerian Dalam Negeri mencatat, jumlah anggota DPRD provinsi yang terjerat kasus hukum sudah 431 orang dengan 83,7 persen dari jumlah itu adalah kasus korupsi.

Di jajaran eksekutif, mulai dari bupati/wali kota, gubernur, hingga menteri, banyak juga yang menjadi tersangka dalam perkara korupsi, bahkan sudah menjadi terpidana. Sementara di lembaga yudikatif kasus tertangkap tangannya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi puncak dari ironi ini.

Kondisi ini kalau dibiarkan tentunya bisa mengancam keberlangsungan negeri ini. Berdasarkan sejumlah jajak pendapat Kompas, kepercayaan publik terhadap lembaga-lembaga negara semakin menurun dari tahun ke tahun. Hal ini tentunya bisa menimbulkan krisis.

Jika mengacu pada pandangan Ian Bremmer yang mengulas ”Kurva J” untuk memahami mengapa bangsa-bangsa berjaya dan jatuh, kondisi ini tidak bisa dianggap remeh.

Ian Bremmer mengingatkan, tidak ada negara yang memiliki kemampuan mencegah terjadinya guncangan. Namun, pada sebuah negara yang sangat stabil, guncangan-guncangan itu dapat dikendalikan. Kematangan lembaga-lembaga negara merupakan salah satu ciri dari negara yang sangat stabil itu.

Sementara itu, negara tanpa kestabilan dipastikan menjadi sebuah negara gagal, negara yang tidak mampu menerapkan atau menegakkan kebijakan pemerintah. Negara seperti ini dapat terpecah belah, dapat direbut, dan dikuasai kekuatan luar atau terjerumus ke situasi kacau.

Banyak negara pun, kini, ternyata menaruh perhatian pada perkembangan politik yang terjadi di Indonesia. Mereka ingin mengetahui lebih dalam tentang apa yang terjadi di Indonesia agar bisa memprediksi potensi dan risiko berinvestasi.

Harapan pada tahun 2014

Melihat apa yang telah terjadi pada tahun 2013, harapan tertanam pada tahun 2014. Pasalnya, Indonesia akan kembali menggelar pemilihan umum. Inilah saatnya bagi seluruh rakyat untuk kembali memilah dan memilih siapa yang layak dan tidak layak menjadi wakil rakyat dan juga memimpin negeri ini.

Pemilu legislatif yang akan diselenggarakan pada 9 April 2014 menjadi momentum pertama. Kini, ratusan ribu orang telah mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Dari ratusan ribu calon legislator itu, harus terpilih 560 anggota DPR yang berkualitas dan berintegritas. Begitu juga dengan 77 DPD ataupun 2.137 DPRD provinsi serta 17.560 DPRD kabupaten/kota.

Hasil pemilu legislatif ini juga akan menentukan parpol mana yang bisa mengajukan calon presiden/wakil presiden pada pemilu presiden-wakil presiden yang akan digelar 9 Juli 2014. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden, hanya parpol atau gabungan parpol yang memperoleh 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah secara nasional dalam pemilu DPR, DPD, dan DPRD-lah yang bisa mengajukan capres/cawapres.

Setelah capres-cawapres yang memenuhi syarat ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, rakyat kembali harus menyeleksi, siapa yang benar-benar menjadikan takhtanya untuk memperjuangkan nasib seluruh rakyat dan mana yang hanya menjadikan takhtanya sebagai alat berkuasa semata.

Kita tentu berharap, politisi terpilih adalah orang-orang yang berjiwa seperti Mandela atau banyak pahlawan di negeri ini. Mau berkorban untuk rakyat demi kemajuan seluruh bangsanya, bukan sebaliknya yang mengorbankan rakyat untuk mencari keuntungan diri sendiri ataupun kelompoknya semata.
Tahun 2014 saatnya bagi seluruh rakyat untuk benar-benar memilah, lalu memilih...

Sutta Dharmasaputra, Wartawan Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar