04/12/13

Pemerkosaan Kesadaran Metabahasa

Stanislaus Sandarupa
 
KINI telah hadir saat ketika benar-benar kita mengambil nasib tindakan kita dan nasib negara kita ke tangan kita sendiri. Hanya suatu bangsa yang cukup berani untuk mengambil nasib ke dalam tangannya sendiri akan dapat berdiri dalam kekuatan (Soekarno, 17/8/05).

Sebanyak 33 butir rekomendasi Kongres Bahasa Indonesia 2013 untuk pemerintah (Kompas, 1/11/2013) menandakan pemerintah dan politisi belum serius mengembangkan bahasa Indonesia.

Semua butir itu, dan sejumlah kegiatan para pahlawan dalam memanfaatkan bahasa Indonesia untuk pembangunan NKRI, berkaitan dengan kesadaran metabahasa. Namun, dalam mengisi kemerdekaan, telah terjadi pemerkosaan terhadap kesadaran metabahasa itu sendiri.

Metabahasa Indonesia

Apakah metabahasa? Satu keunikan ilmu bahasa yang tak dimiliki ilmu-ilmu lain adalah kekuatan refleksif.

Dalam ilmu bahasa, bahasa dapat dipakai membahas dirinya, sedangkan ilmu-ilmu lain tidak. Misalnya, hukum tak dapat dipakai membahas hukum, kedokteran tak dapat membahas kedokteran.
Berbeda dari tata bahasa yang selalu dihubungkan dengan alam bawah sadar, kekuatan refleksif bahasa berkaitan alam sadar. Kesadaran metabahasa tampak dalam tiga tingkat berikut.

Pertama, metabahasa adalah bahasa yang dipakai membicarakan bahasa secara tersurat. Bahasa yang dibicarakan adalah bahasa obyek. Misalnya, ”Korupsi adalah kata benda”, ”Bahasa Indonesia dipakai oleh ratusan juta orang”. Ini pernyataan metabahasa, sedangkan bahasa obyeknya adalah kata-kata korupsi danbahasa Indonesia. Metabahasa Indonesia tampak jelas dalam ejaan yang disempurnakan, tata bahasa, dan kamus Indonesia. Di samping itu, bahasa Indonesia bisa menjadi metabahasa dalam membicarakan bahasa obyek Inggris, daerah, dan sebaliknya.

Kedua, metabahasa dipakai mengomentari bahasa pada tingkat wacana. Misalnya, pembicaraan tentang bahasa Indonesia di sepuluh kongres, pemakaian dan sejarahnya, serta ulasan-ulasannya di jurnal, blog, dan koran.

Akhirnya, ketiga, metabahasa secara tersirat terungkap dalam deiksis, pemakaian bahasa institusional, dan karya-karya sastra. Deiksis adalah kata-kata yang dipakai menunjuk konteks, seperti saya, anda, di sini, di situ, sekarang, dan kemarin. Penetapan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tentang bahasa Indonesia sebagai penghela ilmu, dengan bahasa dilihat sebagai fenomena teks-konteks, merupakan kesadaran metabahasa yang didasarkan fakta, penutur terus-menerus memonitor kesesuaian teks-konteks.

Kesadaran metabahasa dimanfaatkan para pahlawan kita. Pemakaiannya secara institusional merupakan tindakan perlawanan kepada penjajah dan penentu kelahiran NKRI, seperti yang kita lihat dalam Sumpah Pemuda dan Proklamasi.

Bersumpah ataupun memproklamasikan termasuk kategori kata kerja ”mengatakan” (verbum dicendi), menggambarkan contoh pemakaian bahasa. Ia menunjuk pada dan menjadi predikat tentang pemakaian bahasa dalam berbicara. Keduanya menjadi alat sangat ampuh dalam menyuarakan sesuatu.

Pernyataan metabahasa tersurat dalam Sumpah Pemuda: ”Kami Poetra Poetri Indonesia Mengdjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia”. Ia merupakan pernyataan kesetiaan dengan tekad melakukan sesuatu untuk menguatkan kebenarannya atau berani menderita sesuatu kalau pernyataan itu tidak benar. Metabahasa di sini memakai kata ”mengdjoendjoeng” sebagai kegiatan yang menjadikan ”bahasa Indonesia” sebagai bahasa obyek. Bahasa Indonesia bernilai mulia karena secara metaforistis, ia diletakkan di atas kepala.

Akhirnya, kesadaran metabahasa muncul dalam wacana tersirat bahwa bahasa mampu menceraiberaikan masyarakat mengingat Indonesia multibahasa dan multibudaya. Namun, ia juga mengandung kekuatan penyatuan bahasa yang berfungsi sebagai lingua franca di Nusantara.

Kesadaran metabahasa memuncak dalam proklamasi yang tampil dalam tiga teks artefak, yaitu tulisan tangan Soekarno yang digubah bersama Mohammad Hatta dan Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo; teks proklamasi ketikan tokoh pemuda Mohamad Ibnu Sayuti Melik yang ditandatangani Soekarno/Hatta; dan teks yang dikumandangkan Soekarno.

Dalam teks tulisan tangan, kata ”Proklamasi” digarisbawahi dua kali, menandakan tingginya kesadaran metabahasa. Apalagi, dalam memproklamasikan dipakai verbum dicendi  ’menyatakan kemerdekaan’. Disadari bahwa kemerdekaan tidak mungkin terjadi tanpa perang dan pengorbanan fisik. Namun, aneh bin ajaib, kemerdekaan baru terjadi kalau diproklamasikan. Tanpa itu tiada kemerdekaan.

Pemerkosaan metabahasa

Momen-momen kesadaran metabahasa di atas merupakan contoh berbahasa yang menyejarah. Baik ”bersumpah” maupun ”memproklamasikan” hanya terjadi dalam tempo lebih kurang 50 detik, tetapi kekuatannya mencipta sebuah realitas abadi, yaitu penetapan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan yang kemudian dinyatakan sebagai bahasa negara dalam UUD 1945 dan eksistensi Indonesia yang kini kita nikmati. Itulah satu poin penting keteladanan para pahlawan kita penentu nasib NKRI yang terlupakan.

Apa yang terjadi kini? Selain salah eja, tata bahasa, dan campur aduk bahasa Indonesia dengan bahasa  Inggris, saat ini terjadi pemerkosaan luar biasa terhadap kesadaran metabahasa. Ruang publik penuh metabahasa korupsi, penyadapan, kekerasan, perselingkuhan, politik uang, kecurangan, pelemahan institusi hukum, dan tipu muslihat.

Jika kesadaran metabahasa para pahlawan memakai kekuasaan untuk memberi dengan tindakan moral dan pengorbanan tinggi demi eksistensi NKRI, kesadaran metabahasa politisi saat ini memakai kekuasaan untukmemiliki dengan tindakan amoral dan pemerkayaan diri dan partai demi merongrong NKRI.

Dalam lelucon metabahasa ada pertanyaan: bagaimana kita ketahui seorang politisi berbohong? Jawabannya: ketika mulutnya komat-kamit berbicara.

Tak lama lagi Pemilu 2014 dilaksanakan. Akankah kita memilih pemimpin yang kesadaran metabahasanya dipakai memperebutkan kekuasaan untuk menguras NKRI ataukah pemimpin yang membangun demokrasi untuk kepentingan hak-hak rakyat dan peradaban Indonesia? Mengikuti pikiran Proklamator di awal tulisan ini, di depan kita ada dua jalan membangun kesadaran metabahasa: pengkhianat atau pahlawan!


Stanislaus Sandarupa, Dosen Antropolinguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar