16/12/13

Meredam Defisit Perdagangan

A Tony Prasetiantono

BANK Indonesia akhirnya menutup kebijakan BI Rate tetap pada 7,5 persen hingga akhir 2013. Langkah ini kemudian diikuti dengan pelemahan rupiah hingga Rp 12.017 per dollar AS akhir pekan lalu (Jumat, 13/12). Keputusan BI barangkali dinilai berbeda dengan ekspektasi pasar yang masih menghendaki kenaikan BI Rate sekali lagi menjadi 7,75 persen, untuk mengompensasi inflasi.

Kebijakan BI Rate memang dilematis. Di satu pihak, untuk menyelamatkan rupiah dari depresiasi yang dalam, seyogianya BI Rate dinaikkan. Laju inflasi hingga akhir tahun diperkirakan 8,5 persen. Jika BI Rate dipaksakan tetap 7,5 persen, sebagian nasabah besar akan memindahkan dananya menjadi surat berharga di pasar modal dan atau valuta asing, terutama dollar AS.

Itulah sebabnya, simpanan masyarakat (dana pihak ketiga) di bank sejak Mei 2013 cenderung mendatar (stagnan). Bulan Mei 2013 adalah saat dimulainya wacana tapering off, ―yakni berkurangnya stimulus moneter di AS (quantitative easing) ―tatkala Kepala The Fed Ben S Bernanke mulai merasa perekonomian AS membaik sehingga stimulus ini bisa dikendurkan.

BI Rate memang sudah 7,5 persen, tetapi itu belum cukup bagi pemilik dana besar untuk mengubah kekayaannya menjadi dollar AS. Dengan inflasi yang meski sudah ”dijinakkan” menjadi 8,3 persen pun, pemilik dana masih akan ”menderita” suku bunga riil negatif, di mana laju inflasi lebih tinggi daripada suku bunga deposito bank.

Namun, jika BI Rate dinaikkan, hal itu akan menyengsarakan sektor riil. Bank-bank pasti akan mengalihkan beban kenaikan suku bunga kepada nasabahnya, melalui kenaikan suku bunga kredit. Meski banyak bank memilih mengorbankan keuntungannya ―yang tecermin dari penurunan net interest margin, tetap saja kenaikan suku bunga kredit tak terelakkan. Akibatnya, industri perbankan kini menghadapi dua masalah. Pertama, laju ekspansi kredit melambat, dari 27 persen (2012) menjadi 19 persen. Kedua, timbul tekanan kenaikan kredit bermasalah atau nonperforming loan.

Di tengah kepenatan itu, BI mencoba mengais harapan untuk tahun depan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi bakal mencapai 5,8 persen hingga 6,2 persen tahun 2014. Namun, target yang optimistis ini seperti mengalami konflik (conflicting targets) dengan upaya BI ”mendinginkan mesin perekonomian”. Sebagai upaya untuk membantu menekan defisit perdagangan dan defisit neraca pembayaran, BI mencoba mengendalikannya melalui penurunan target pertumbuhan kredit menjadi 15-17 persen.

Masalahnya, jika pertumbuhan kredit hanya 15-17 persen, bagaimana mungkin target pertumbuhan ekonomi 6 persen tercapai? Pengalaman selama ini menunjukkan, pertumbuhan kredit 15-17 persen hanya ekuivalen dengan pertumbuhan ekonomi 5,5 persen saja. Jadi, jika BI ingin menekan konsumsi impor, dampaknya akan dirasakan pada berkurangnya impor barang modal dan barang konsumsi, yang berujung pada penurunan pertumbuhan ekonomi. Belum jelas pilihan yang ditempuh BI, mendahulukan pencapaian pertumbuhan ekonomi 6 persen ataukah menekan impor dengan menurunkan pertumbuhan kredit sehingga rupiah tidak terperosok dalam?

Sementara itu, Menteri Keuangan Chatib Basri pun mengeluarkan jurus meredam defisit perdagangan dan transaksi berjalan. Pihaknya merilis paket kebijakan yang terdiri atas empat hal: memperbaiki neraca transaksi berjalan dan nilai tukar; menjaga pertumbuhan ekonomi dan daya beli, dengan memastikan defisit anggaran 2013 tetap 2,38 persen terhadap produk domestik bruto; menjaga laju inflasi, dengan cara memperbaiki tata niaga komponen harga yang bergejolak (volatile food); dan percepatan investasi melalui relaksasi perizinan.

Upaya meredam defisit perdagangan dilakukan dengan: meningkatkan porsi penggunaan biodisel dalam porsi solar sehingga menekan konsumsi solar; pengenaan tambahan Pajak Penjualan Barang Mewah sebesar 50 persen pada mobil supermewah dan pengenaan PPNBM pada produk bermerek sebesar 25 persen; dan mendorong ekspor mineral olahan.

Adapun isu ekspor mineral yang sudah diolah dari barang mentah (raw materials) menjadi barang antara (intermediate goods), saya teringat kasus 1985, ketika Indonesia sedang kesulitan menderita penurunan harga minyak dunia dari 32 dollar AS (1982) menjadi 9 dollar AS (1985-1986). Indonesia yang saat itu sebagai eksportir migas harus segera mengubah posisi dari ekspor migas ke nonmigas. Kita pun sukses mengekspor tekstil dan garmen ke AS. Juga larangan ekspor gelondongan diganti menjadi ekspor kayu lapis yang punya nilai tambah.

Isu konversi energi dari minyak ke gas serta biodisel agak disayangkan kurang ditangani secara lebih intens oleh pemerintah periode sekarang. Setiap kali terjadi gejolak harga minyak dunia tinggi, kita memang terenyak dan timbul kesadaran terhadap isu konversi energi. Namun, begitu harga minyak dunia berada di level yang dianggap terjangkau, seperti kini berkisar 100-110 dollar AS, isu ini pun relatif terkubur.

Sekarang, saat impor migas kita melonjak dan menyebabkan defisit perdagangan, sehingga cadangan devisa terkuras dan akhirnya memperlemah rupiah, isu ini kembali mengemuka. Konversi energi harus digarap lebih serius karena cadangan minyak kita cuma 4 miliar barrel, jauh dibandingkan Venezuela (300 miliar barrel). Tugas kita mengawal proses konversi energi ini, baik di ujung pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono maupun kelak siapa pun penggantinya. Tidak boleh lengah lagi, jika tidak ingin defisit perdagangan kian melebar dan rupiah kian lunglai.

A Tony Prasetiantono, Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar