Anies Baswedan
MURIEL Pearson atau K’tut Tantri tergetar. Pertempuran hebat sejak 10 November 1945 di Surabaya merupakan titik balik buat dirinya.
”Aku akan tetap dengan rakyat Indonesia, kalah atau menang. Sebagai perempuan Inggris, barangkali aku dapat mengimbangi perbuatan sewenang-wenang yang dilakukan kaum sebangsaku dengan berbagai jalan yang bisa kukerjakan,” tulisnya dalam Revolt in Paradise.
Ia menjadi penyiar Radio Pemberontakan, bahu-membahu dengan Sutomo (Bung Tomo). Jika Bung Tomo melakukan siaran untuk terus menjaga api semangat rakyat Surabaya dan sekitarnya, Tantri mengudara dengan bahasa Inggris menyiarkan cerita dari sudut pandang Indonesia. ”Mereka yang berbahasa Inggris harus mendengarkan kebenaran dari perjuangan kita. Dan, harus diberi pengertian bahwa perjuangan ini bukanlah revolusi sosial, pemerintahannya pun bukan boneka Jepang. Kau hendaknya mengisahkan sejarah Indonesia dan perjuangan kami selama 40 tahun terakhir,” kata Bung Tomo kepadanya. Tantri berkewarganegaraan AS. Namun, ia lahir di Skotlandia—bagian dari Inggris Raya. Tantri baru pergi ke Negeri Paman Sam menjelang dewasa. Pada 1932, sebuah film berjudul Bali, The Last Paradise mengubah jalan hidupnya. Ia menuju Hindia Belanda.
Slogan imparsialitas
Saya teringat kisah K’tut Tantri ketika November tiba, bulan saat kita memperingati Hari Pahlawan. Di benak tentu juga teringat pahala yang ditorehkan puluhan ribu pejuang lain di Surabaya ketika itu. Ribuan jumlahnya. Mereka iuran darah, iuran nyawa untuk tegaknya Merah Putih. Sebagai orang asing, sebenarnya Tantri bisa saja pergi saat kekacauan menerjang. Risikonya bukan main-main: nyawa. Dalam pengantar Revolt in Paradise, Bung Tomo menulis, ”Saya tidak akan melupakan detik-detik di kala Tantri dengan tenang mengucapkan pidato di muka mikropon, sedangkan bom-bom dan peluru-peluru mortir berjatuhan dengan dahsyatnya di keliling pemencar Radio Pemberontakan…”. Tantri memilih terlibat, turun tangan. Ia melampaui sekat-sekat primordial. Ia kelahiran Skotlandia, tetapi tak menghalanginya ikut melawan Inggris. Keluasan cakrawala berpikir semacam ini relevan dan akan terus relevan dalam masyarakat plural seperti Indonesia. Kebinekaan rentan menjadi sumber konflik ketika hukum yang menjadi penjaganya tak ditegakkan secara adil dan imparsial.
Dalam menegakkan hukum, negara semestinya memosisikan semua pihak semata sebagai warga negara dan tak melihat asal-usul mereka. Aparat keamanan hadir melindungi ”warga negara”, bukan memproteksi ”pengikut” keyakinan atau ”anggota” suku/etnis tertentu. Begitu pula jika ada kekerasan, aparat mencokok ”warga negara” pelaku kekerasan, tidak menangkap ”pengikut” keyakinan tertentu yang melakukan kekerasan. Indonesia selama ini banyak dicemari fakta bahwa imparsialitas hanya slogan. Tak diwujudkan dalam kenyataan di lapangan. Hal ini yang membuat wibawa hamba hukum merosot, lalu pelanggaran-pelanggaran lain kian gampang ditemukan. Bukan cuma keyakinan atau suku/etnis yang membuat pikiran cupet. Afiliasi politik juga bisa membuat kejumudan di kepala. Pertarungan politik membuat setiap politisi membela partainya—dalam situasi apa pun. Pembelaan mestinya tak harus korbankan akal waras dan integritas diri.
Kita harus belajar pada sosok Haji Agus Salim saat diserahi tanggung jawab sebagai Pemimpin Redaksi Hindia Baroe. Saat itu, Agus Salim juga petinggi di Sarekat Islam. Toh, ia mampu menarik garis batas. ”…Saya tidak berbuat seperti pemimpin Sarekat Islam dan kalau menulis tajuk rencana, saya tidak berpikir seperti dalam rapat partai. Saya melihat di hadapan saya rakyat Indonesia pada umumnya,” kata Agus Salim (Roem, 1977). Ujian semacam ini yang juga bakal memilah: mana negarawan dan mana bukan negarawan. Maka, terngiang ucapan John F Kennedy: My loyalty to my party ends where my loyalty to my country begins.
Tak terlena zona nyaman
Dari K’tut Tantri juga kita menghikmati hal berikut: tindakan kepahlawanan niscaya melampaui kelumrahan, menerabas kebiasaan. Seorang pahlawan pasti bukan medioker, ia pemberani. Baca biografi Soekarno, Hatta, atau Sjahrir. Mereka bukan tipikal individu yang terlena dengan zona nyaman. Mereka tipe penjelajah, pemberani yang selalu ”memelihara” kegelisahan. Prinsip ini, saya kira, tetap berlaku sepanjang zaman. Tak hanya masa ketika kepahlawanan identik dengan mengangkat senjata untuk mengusir penjajah.
Hari ini dari anak-anak muda kita dapat harapan. Mereka sejatinya pahlawan masa kini, jiwa-jiwa muda yang menolak mediokritas. Adagium lawas ”sebaik-baik manusia adalah mereka yang berguna bagi sesama” tak pernah usang. Sampai kapan pun. Dan kita semua menjadi saksi, bumi Indonesia tak pernah berhenti melahirkan pahlawan muda yang memilih untuk bermakna bagi sesama, bukan yang menjadikan keropos, tetapi justru yang mengokohkan Republik. Kesaksian ini menguat saat hadir deretan anak-anak muda yang memilih turun tangan untuk melunasi janji kemerdekaan. Anak muda bergerak langsung: mendidik anak-anak jalanan, turun tangan menginspirasi adik-adik sebangsa, merawat kehidupan yang telantar dengan segenggam nasi bungkus tiap malam, datang ke pelosok negeri jadi pendidik atau jadi tenaga medis demi saudara sebangsa, atau mereka yang bertarung melawan dan meringkus koruptor. Mereka pilih jalan perjuangan, tidak tinggal diam, atau sekadar urun angan tapi pilih turun tangan.
Beberapa hari lalu, 5 November 2013, seorang pengajar muda, Aditya Prasetya namanya, dari Gerakan Indonesia Mengajar berpulang saat berjuang. Lulus dari Pendidikan Fisika di Universitas Lampung, Aditya memilih jadi guru SD dan mengabdi di Desa Wunlah yang tak ada aliran listrik dan sinyal telepon. Di sisi timur Pulau Yamdena, di Kepulauan Tanimbar, Kabupaten Maluku Tenggara Barat, batas terdepan Indonesia yang berhadapan dengan Darwin, Australia, Adit mengabdi. Di tengah kesibukannya mempersiapkan pelatihan guru-guru di Kabupaten Maluku Tenggara Barat, ia berpulang. Dia dan ribuan guru lain, baik yang mengabdi lewat program pemerintah maupun lewat gerakan masyarakat, memilih jalur terhormat mewakili kita semua melunasi salah satu janji kemerdekaan: Mencerdaskan Kehidupan Bangsa.
Seperti Bung Tomo dan juga pejuang tak bernama lainnya dulu. Kita boleh yakin bahwa masih ada begitu banyak pejuang muda lain yang tengah bekerja di berbagai penjuru negeri, berjuang untuk lunasi janji kemerdekaannya. Mereka ini bagian dari warga negara biasa yang mengerjakan hal-hal luar biasa. Dengan tindak teladan semacam itu, kita makin optimistis dengan masa depan Indonesia. Para durjana pencuri uang rakyat selalu ada, tetapi para penyala cahaya juga tak pernah sirna. Mereka inilah yang jadi bukti bahwa dari rahim ibu-ibu kita di Republik ini tetap lahir pejuang dan pahlawan.
Anies Baswedan; Rektor Universitas Paramadina; Pendiri Gerakan Indonesia Mengajar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar