Rene L Pattiradjawane
Apakah kita perlu paradigma baru dalam dunia yang terkotak-kotak dalam regionalisme dan multilateralisme? Di tengah kemelut resesi dunia yang berkepanjangan serta persoalan perseteruan kebijakan politik domestik AS, ada kecenderungan baru, yakni mendorong liberalisasi perdagangan dan investasi yang secara ”siluman” dicampur kepentingan geopolitik negara besar.
Tidak mengherankan pelaksanaan KTT APEC di Bali menekankan pentingnya ketahanan anggota Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik, agar pertumbuhan wilayah ini tetap menjadi motor pertumbuhan dunia. Bagi Indonesia, kebangkitan China dan pergeseran kebijakan poros AS ke kawasan Asia akan menghadirkan situasi geopolitik baru.
Kita khawatir bahwa Deklarasi Bogor yang dicapai dalam KTT APEC 1994 bagi pelaksanaan liberalisasi penuh didukung semua pihak menjadi tersendat karena perubahan globalisasi yang makin deras dengan ayunan pendulum yang terus bergerak secara dinamis dan drastis dari satu kawasan ke kawasan lain.
Kawasan Asia-Pasifik menjadi paling dinamis dengan pertumbuhan ekonomi dan perdagangan mencengangkan banyak pihak, termasuk adidaya AS yang rontok karena krisis keuangan 2008 dan kesulitan merevitalisasi kekuatan militernya pasca-Irak dan Afganistan.
Setelah Asia dilanda krisis keuangan 1997 yang menyebabkan perubahan fundamental dalam politik Indonesia maupun membangkrutkan berbagai pengusaha dari Thailand sampai Korea Selatan dalam belitan utang, banyak yang menganggap era kejayaan pertumbuhan ekonomi Asia sudah selesai. Namun, tanpa menarik banyak perhatian, pengelolaan politik, ekonomi, keuangan, dan persoalan sosial, secara relatif terselesaikan dalam waktu sangat singkat.
Dampak krisis keuangan Asia 1997 ini adalah semangat kebersamaan yang diwujudkan dalam mekanisme regionalisme seperti ASEAN+3 (kemudian ada ASEAN+6), menyatukan komitmen bersama menjalankan kesepakatan-kesepakatan yang dicapai pada tingkat multilateralisme, seperti APEC, untuk bisa berjalan pada jalurnya.
Muatan siluman
Ketika China muncul sebagai kekuatan ekonomi kedua terbesar di dunia melewati Jepang; Inggris, Perancis, dan Jerman, dan semua pihak terkesima karena keberhasilan ini bisa dicapai hanya dalam kurun waktu 11 tahun. Tak ada negara di dunia, negara yang paling maju sekalipun, yang bisa melakukan apa yang dilakukan RRC dalam waktu yang sesingkat itu.
Awalnya, tiga negara, yakni Singapura, Cile, dan Selandia Baru, pada 2002 sepakat mengikat diri dalam kerja sama ekonomi perdagangan yang disebut Kemitraan Trans-Pasifik (TPP). Kesepakatan muncul setelah melihat dampak krisis keuangan Asia 1997, yang menempatkan ASEAN sebagai inti kekuatan regional dan APEC sebagai kerja sama multilateral yang lebih luas, dianggap tidak memadai mencapai kesepakatan liberalisasi ekonomi secara holistik di bidang perdagangan, keuangan, maupun investasi.
Ada dua penjelasan terkait perubahan geopolitik di kawasan Asia Tenggara ini. Pertama, semakin membesarnya peranan China sebagai kekuatan ekonomi dan perdagangan yang masif akan memengaruhi kemampuan manuver negara-negara ASEAN. Ini antara lain juga didorong oleh banyak kecaman yang ditujukan pada badan internasional, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) maupun Bank Dunia, yang berperilaku sebagai ”tuan” baru menghadapi krisis keuangan negara-negara Asia dengan memberlakukan berbagai macam aturan ketat.
Kehadiran RRC dalam ASEAN+3 menghadirkan skema bantuan Inisiatif Chiang Mai dalam membantu negara-negara ASEAN keluar dari krisis Asia 1997, menjadi seperti ”obat mujarab” dalam menyelesaikan satu per satu persoalan keuangan. Kepercayaan investor atas kebersamaan yang muncul dari Jakarta sampai Seoul, ini, mempercepat keseluruhan proses berbagai negara mengatasi krisis masing-masing.
Namun, di sisi lain, TPP pun berubah secara cepat menjadi sebuah mekanisme perdagangan multilateral dengan muatan ”siluman” mewakili kepentingan AS untuk bersiap diri menghadapi kebangkitan China yang sangat masif. Beijing pun mulai menuduh TPP sebagai perangkat geopolitik ala Perang Dingin.
Tidak terjebak
Penjelasan kedua, lebih condong pada kemampuan para politisi dalam mengejawantahkan diplomasi perdagangan bebas yang bisa menampung berbagai kepentingan nasional masing-masing pihak yang terpecah antara ASEAN dan APEC.
Pengalaman regionalisme dan multilateralisme di kawasan Asia Pasifik menunjukkan bahwa kekuatan organisasi ini menjadi paling dinamis di dunia karena tidak adanya kekuatan besar yang mendorong dan mengarahkan untuk mendominasi modus perdagangan bebas di kawasan.
Pembentukan blok regionalisme dan multilateralisme di kawasan Asia Pasifik membuat semua pihak tidak merasa ditinggal dan semua merasa kepentingannya terjamin dalam mekanisme keterbukaan kawasan, tanpa khawatir terjebak dalam blok perdagangan yang eksklusif. Organisasi regional, seperti ASEAN dan APEC, adalah upaya bersama membentuk integrasi ekonomi yang memberikan sumbangsih pada terbentuknya integrasi regional.
Perubahan geopolitik di kawasan Asia Pasifik yang ditandai dengan kebangkitan China, adalah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Sejarah panjang kawasan Asia memberi berbagai bukti bahwa China adalah negara besar dan berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan di kawasan ini.
Arsitektur ekonomi regional harus punya arah dan jalan memadai agar Putaran Doha, yang menyangkut berbagai elemen kepentingan dunia, bisa segera diwujudkan demi kepentingan bersama. Kerja sama di kawasan Asia-Pasifik melalui negosiasi perdagangan multilateral tidak bisa dijalankan secara ”siluman” dengan membedakan status dan tingkat keberhasilan ekonomi sesuai kepentingan strategis nasional masing-masing.
Di Asia, semangat kerja sama menjadi elemen penting dinamika pertumbuhan kawasan.
Rene L Pattiradjawane Wartawan Kompas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar