26/09/13

Riset untuk Kebijakan Pertanian

Bambang Prasetyo  

KURANGNYA pasokan bahan pangan di pasar serta lonjakan harga semakin tidak wajar, terutama beberapa komoditas, seperti bawang merah, cabai, telur, daging ayam, dan daging sapi. Ironis, memang, negara agraris ini setiap tahun selalu menghadapi persoalan pasokan bahan pangan bagi rakyatnya.

Melonjaknya harga beberapa komoditas pangan membebani konsumen rumah tangga, yang pada akhirnya memicu inflasi dan membebani perekonomian nasional. Namun, para pejabat terkait terkesan panik dan tidak menguasai masalah sehingga terlambat bertindak. Akibatnya, gejolak harga beberapa komoditas cenderung tidak terkendali.

Salah satu faktor penyebab berulangnya fenomena tersebut adalah kurang diperhatikannya data dan informasi mengenai status masing-masing komoditas pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Di sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan betapa pentingnya data dan informasi yang benar sebagai dasar pengambilan kebijakan.

Sebenarnya, selain di lembaga penelitian universitas, hampir semua permasalahan pertanian di negeri ini telah diteliti dan dikaji dengan seabrek rekomendasi sebagai solusinya. Di Kementerian Pertanian, misalnya, terdapat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian dengan pusat-pusat penelitian serta balai-balai penelitian dari berbagai komoditas. Mereka meneliti mulai dari teknik budi daya, analisis sosial ekonomi, proses produksi, hingga pascapanen dan pemasarannya.

Lebih dari itu, di hampir setiap provinsi terdapat Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) yang mengkaji hampir semua permasalahan teknis agronomi dan sosial ekonomi komoditas pertanian spesifik lokasi.

Misalnya, penelitian mengenai volatilitas harga bahan pangan pokok, seperti beras, gula, daging sapi, daging ayam, telur, dan cabai, sudah ada dan selalu di perbarui data dan informasinya. Dari hasil penelitian tersebut kita dapat mengetahui berapa banyak penawaran dan permintaan terhadap komoditas pertanian pokok nasional dan provinsi, sentra-sentra produksi, tata niaga pasar, serta prediksi kapan harga akan naik dan turun, kapan impor diperlukan dan dengan cara bagaimana.

Dengan demikian, sebenarnya permasalahan kelangkaan barang dan gejolak harga yang tak terkendali tidak perlu terjadi. Sayangnya, data dan informasi itu hampir tidak pernah digunakan sebagai bahan pengambilan kebijakan yang lengkap. Kasus kedelai, pupuk, benih, dan kuota dagingsapi menunjukkan bahwa pengambilankebijakan dilakukan tidak berdasarkan hasil riset yang presisi. Justru data dan informasi di luar sistem kementerian yang lebih dipercaya sebagai bahan pengambilan kebijakan.

Tidak mudah membiasakan pola berpikir, bekerja, dan bertindak berdasarkan hasil riset di birokrasi pemerintahan. Hasil riset memberikan arahan dan gambaran kondisi riil permasalahan di lapangan sehingga kebijakan yang dibuat berlandaskan data dan informasi dari hasil riset akan memberikan solusi yang pas.

Lebih jauh, salah satu faktor penting dalam pengambilan kebijakan adalah kapasitas individu pengambil kebijakan. Seorang penentu kebijakan di kementerian teknis semacam Kementerian Pertanian, misalnya, harus memiliki akumulasi pengetahuan dan pengalaman lapangan sehingga mampu menerjemahkan fakta dan data menjadi sebuah kebijakan.

Kepentingan politik

Tidak dapat dimungkiri bahwa Kementerian Pertanian merupakan satu-satunya lembaga birokrasi pemerintah yang mempunyai cakupan wilayah kerja dan birokrasi yang bersentuhan langsung dengan masyarakat pedesaan di seluruh negeri. Pengalaman selama ini menunjukkan, tidak sedikit program pertanian berupa bantuan sarana produksi dipaksakan di suatu wilayah yang secara agroekologi dan sosial ekonomi tidak sesuai.

Kenyataan yang lebih ekstrem adalah dalam satu wilayah terdapat penumpukan kegiatan program-program pertanian dan alokasi dana yang ditentukan semata-mata berdasarkan pertimbangan politis untuk menjaring perolehan suara. Dapat diduga bahwa program semacam ini akan gagal dan berarti penghamburan uang negara.

Dalam hal ini perlu diapresiasi langkah Kementerian Pertanian yang membentuk kawasan pertanian dengan prioritas komoditas unggulan di masing-masing wilayah kabupaten.

Pembentukan kawasan pertanian didasarkan atas usulan masing-masing pemerintah kabupaten, yang kemudian dievaluasi secara akademis dengan melibatkan lembaga penelitian. Langkah tersebut setidaknya akan mengurangi program-program yang tidak didasarkan pada kondisi agroekologi wilayah dan mengoptimalkan anggaran negara.

Penutup

Tantangan penyediaan pangan melalui produksi komoditas pertanian ke depan akan semakin sulit. Untuk itu, pemanfaatan hasil riset komoditas pertanian dalam kaitannya dengan peningkatan produksi dan nilai tambah untuk meningkatkan penawaran komoditas mutlak dilakukan.

Peluang peningkatan produksi komoditas hanya akan diperoleh dengan penerapan teknologi budidaya yang benar. Dengan demikian, tantangan bagi lembaga riset adalah kemampuan menyediakan teknologi dan informasi yang dapat diakses para pemangku kepentingan.

Membangun basis data dan melakukan inventarisasi informasi teknologi budidaya komoditas pertanian dan analisis sosial ekonominya harus dilakukan.

Penguatan kerja sama antara fungsi-fungsi penelitian dan pengembangan dengan pihak pemangku kepentingan dilakukan melalui perbaikan mekanisme penyaluran informasi, dan sintesis hasil riset.

Belajar dari pengalaman swasembada beras, saat itu hampir semua pemangku kepentingan bekerja keras, termasuk para pemimpin nasional. Mereka berpartisipasi dalam pembentukan Badan Bimas, program intensifikasi dan ekstensifikasi, pembangunan sarana dan saluran irigasi, keterlibatan Bulog dalam stabilisasi harga beras, serta pengaturan impor. Bisakah kita melakukannya untuk pengembangan pangan lainnya? Sekarang?

Bambang Prasetyo  Peneliti PSE-KP, Badan Litbang Pertanian

1 komentar: