28/09/13

Rendahnya Kesadaran Akan Data

James Luhulima 

Tanggal 26 September lalu, kita dikejutkan oleh data yang dikemukakan Komisi Pemilihan Umum bahwa ada sekitar 30 persen data pemilih yang tidak tercatat. Dalam kasus ini, angka 30 persen itu sama dengan 65 juta orang. Sulit rasanya untuk percaya bahwa hal seperti itu dapat terjadi.

Jika pendataan daftar pemilih tetap (DPT) dari pemilu-pemilu sebelumnya betul, seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi. Memang pemilu berlangsung setiap lima tahun, dan dalam waktu lima tahun, ada sekian banyak pemilih baru dan juga ada sekian pemilih yang meninggal dunia. Namun, sisanya, sebagian besar tentunya, seharusnya tidak berubah. Bahkan, ada sebuah keluarga dengan tiga anak, yang awalnya terdaftar sebagai penduduk suatu kelurahan, tiba-tiba yang terdaftar hanya ayahnya saja. Istri dan tiga anaknya hilang dari daftar.

Melihat ada kekacauan data seperti itu, pertanyaan yang langsung muncul adalah, apakah DPT dari pemilu yang lalu tidak disimpan? Jika tidak, lalu data itu dikemanakan. Timbul kecurigaan bahwa data itu sengaja dikacaukan agar partai tertentu, dalam hal ini partai yang berkuasa, dapat mengambil keuntungan dari kekacauan yang terjadi pada DPT.

Namun, kali ini, bukan hal itu yang dibahas. Kali ini, yang dibahas adalah rendahnya kesadaran akan data, terutama data pribadi yang sesungguhnya sangat penting. Data merupakan hal yang sering kali diabaikan di negeri ini. Contohnya, dalam kehidupan sehari- sehari di sekeliling kita, sangat mudah kita menemukan orang yang memiliki lebih dari satu kartu tanda penduduk (KTP), sesuatu hal yang sesungguhnya tidak boleh terjadi.

Jika orang yang bersangkutan tertib atau taat pada peraturan, seharusnya hal seperti itu tidak akan terjadi. Demikian juga dengan petugas kelurahan, yang memberikan KTP. Jika petugas kelurahan itu taat pada peraturan, tidak mungkin seseorang dapat memiliki lebih dari satu KTP.

Dasar dari pemberian KTP adalah kartu keluarga. Jika seseorang memiliki kartu keluarga, barulah ia diberikan KTP. Namun, sering kali terjadi, seseorang dapat memperoleh KTP dari suatu kelurahan tertentu, padahal ia sudah tidak lagi tinggal di kelurahan tersebut. Dengan kata lain, ketika seseorang, atas alasan apa pun, pindah rumah ke kelurahan lain, ia seharusnya meminta surat pindah dari kelurahan tempatnya tinggal untuk mengurus kartu keluarga baru di kelurahan tempatnya pindah. Setelah kartu keluarganya yang baru selesai, ia pun memperoleh KTP baru dan KTP lamanya ditarik. Namun, yang terjadi, orang itu tetap mempertahankan KTP lamanya walaupun ia sudah memperoleh KTP baru. Dengan demikian, ia memiliki dua KTP. Ironisnya, ia dapat memperpanjang KTP lamanya kendati ia sudah tak memiliki kartu keluarga lagi di kelurahan itu.

Ketika kepadanya ditanyakan mengapa ia melakukan hal seperti itu? Jawaban yang diberikan adalah, soalnya repot mengurus pergantian data yang sudah tercatat di SIM (surat izin mengemudi), di STNK (surat tanda nomor kendaraan), di rekening bank, dan masih banyak alasan lain yang dikemukakan atas tindakannya itu. Padahal, persoalannya bukan pada repot atau tidak, tetapi pada kenyataan bahwa ia sudah tidak tinggal di alamat yang lama lagi.

Ia tidak menyadari bahwa dengan melakukan tindakan seperti itu, bukan tidak mungkin, ia akan tercatat sebagai penduduk di dua kelurahan, bahkan di provinsi yang berbeda. Seandainya hal itu yang terjadi, jangan heran jika terjadi kekacauan data pada DPT. Bukan itu saja, data sensus penduduk pun akan kacau.

Seharusnya, begitu pindah, seseorang langsung mengubah semua data pribadinya, baik itu KTP, SIM, STNK, di bank, ataupun di tempat-tempat lainnya. Jika seseorang tertib, dengan sendirinya petugas kelurahan juga tidak terdorong untuk melakukan tindakan yang melawan peraturan. Kepatuhan seperti itu penting.

Nama pemilik lama

Hal yang juga lazim terjadi adalah, saat seseorang menjual mobil, orang yang membeli mobil itu tetap mempertahankan nama pemilik lama sebagai pemilik sah kendaraan itu. Dengan kata lain, ia tidak segera mengurus surat pergantian nama pemilik kendaraan. Akibatnya, ketika mobil itu ditelusuri berdasarkan pelat nomor polisinya, nama pemilik mobil yang lama muncul sebagai pemiliknya yang sah.

Jika praktik seperti ini dibiarkan terus berlangsung, akan sangat mengacaukan jika pemerintah memberlakukan ERP (electronic road pricing). Sebab, pemilik mobil yang lama yang akan menerima tagihan yang seharusnya dibayar oleh pemilik mobilnya yang baru. Untunglah, akhir-akhir ini, pemilik mobil lama akan langsung meminta pembeli mobilnya untuk mengurus pergantian nama pemilik karena ia enggan terkena keharusan membayar pajak progresif.

Bukan itu saja, kita juga tahu, sangat mudah bagi seseorang mendapatkan KTP di Indonesia. Cukup memberikan sejumlah uang tertentu di kelurahan, maka KTP akan diberikan. Bahkan, banyak imigran gelap yang memegang KTP.

Ketika mengikuti program ”War on Terrorism” di Amerika Serikat tahun 2003, Kompas sempat diberi tahu bahwa Indonesia diberikan ”rapor merah” untuk urusan kepemilikan kartu identitas. Itu sebabnya, orang-orang yang memegang dokumen resmi yang dikeluarkan oleh Pemerintah Indonesia (seperti paspor) diberi perhatian khusus. Seharusnya kita malu dengan reputasi seperti itu.

Sesungguhnya, masalah kepemilikan lebih dari satu KTP dapat diatasi program e-KTP (KTP elektronik) berjalan dengan baik dan data kependudukan terintegrasi secara nasional. Dengan terekamnya data seseorang secara nasional, tidak mungkin baginya memperoleh lebih dari satu KTP. Sayangnya, program e-KTP belum berjalan sebagaimana yang diharapkan sehingga masih banyak orang yang memiliki lebih dari satu KTP.

James Luhulima Wartawan Senior Kompas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar