30/09/13

“Profiling” dalam Pemberantasan Korupsi

Moh Rozaq Asyhari

Istilah profiling beberapa waktu terakhir kerap kita dengar dalam upaya penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi oleh KPK. Profiling membandingkan potensi pendapatan seseorang dengan harta yang dimilikinya. Ketidaksesuaian antara profil seorang tersangka korupsi dan harta atau aset yang dimiliki menjadi salah satu kunci investigasi.

Profiling pertama kali diterapkan di Indonesia pada Djoko Susilo untuk kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Majelis Hakim pada kasus itu berpendapat harta kekayaan milik terdakwa pada 2003- 2010 yang berjumlah Rp 54,625 miliar tidak sesuai dengan penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri. Harta kekayaan terdakwa patut diduga hasil tindak pidana korupsi.
Secara umum majelis hakim Tipikor sependapat dengan dakwaan yang dikemukakan jaksa KPK. Bahwa selama 2010-Maret 2012 Djoko menjabat sebagai Kapolres Bekasi, Kapolres Metro Jakarta Utara, Dirlantas Polda Metro Jaya, Wadirlantas Babinkam Polri, Dirlantas Babinkam Polri, dan Kakorlantas, dan Gubernur Akpol.

Djoko seharusnya hanya memiliki pendapatan sebesar 235 juta plus penghasilan lain dengan total Rp 1,2 miliar. Namun, selama periode tersebut, menurut jaksa KPK, Djoko membeli aset seperti tanah, bangunan, SPBU, dan kendaraan dengan total Rp 63,7 miliar. Karena itu, jaksa menduga harta kekayaan Djoko ada yang berasal dari tindak pidana korupsi.

Profiling serupa juga dilakukan jaksa KPK terhadap terdakwa Lutfi Hasan Ishaq dalam berkas dakwaan kasus dugaan korupsi kuota impor daging. Jaksa mendasarkan pada Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN) tahun 2003 saat hendak mencalonkan diri sebagai anggota DPR, LHI hanya memiliki kekayaan sebesar Rp 381,3 juta. Menurut jaksa KPK, perolehan harta setelah itu tidak sesuai profil penghasilan terdakwa sebagai anggota DPR.

Sebagian pihak menilai ini adalah langkah progresif KPK dan putusan kasus Djoko Susilo dapat menjadi yurisprudensi. Namun, perlu disadari, preseden ini membawa beberapa konsekuensi yuridis. Pertama, konstruksi profiling  sebenarnya adalah pembalikan beban pembuktian atau yang dikenal sebagai Omkering van het Bewijslastatau Reversal Burden of Proof.

Jaksa penuntut umum yang sebenarnya memiliki kewajiban untuk melakukan pembuktian, membebankan kewajiban kepada terdakwa untuk membuktikan asal usul harta yang dimilikinya.

Kedua, dengan melakukan profiling jaksa tidak menguraikan unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa. Jaksa hanya menyajikan ketimpangan yang terjadi antara harta terdakwa dan pendapatan yang sepatutnya diperoleh.

Membebankan kepada terdakwa agar membuktikan bahwa hartanya bersumber dari perolehan yang sah tidak berkesesuaian dengan Pasal 66 KUHAP. Ketentuan tersebut menyatakan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian.

Secara filosofis profiling tidak berangkat dari asas presumption of innocent  (praduga tidak bersalah) yang selama ini digunakan dalam penegakan hukum. Konstruksi ini secara filosofis lahir dari asas presumption of guilty, di mana seseorang terlebih dahulu dianggap bersalah kecuali bisa membuktikan sebaliknya.

Dalam UU Tipikor konstruksi pembuktian oleh terdakwa merupakan hak dari terdakwa, bukan kewajiban atas beban pembuktian pidana. Pasal 37 Ayat (1) UU Tipikor menyatakan, ”Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi”. Oleh karena itu, pembuktian oleh terdakwa pada UU ini adalah sebuah hak untuk menjawab dakwaan jaksa. Jaksa sebagai penuntut umum berkewajiban membuktikan dakwaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 37A ayat (3) UU Tipikor.

Konstruksi berpikir

Sebagai sebuah konstruksi berpikir, profiling akan banyak membantu penyidik ataupun jaksa penuntut umum dalam menjalankan tugas. Konstruksi logis ini akan mengukur kesesuaian profil seseorang dengan keadaan faktualnya dan menuntun seorang penyidik dan penuntut umum pada alur berpikir yang benar. Profiling ini tidak hanya untuk mencari kesesuaian antara harta yang dimiliki dan pendapatan yang patut diperoleh, tetapi juga untuk mendalami suatu fakta atau keterlibatan seseorang dalam sebuah tindak pidana korupsi.

Misalkan pada kasus dugaan korupsi kuota daging impor, profiling dapat dilakukan saat pemeriksaan saksi. Pada hasil penyadapan KPK terdapat beberapa nama yang sempat disebut. Dengan profiling penyidik dapat mengukur kapasitas setiap nama yang disebut dan menjadi petunjuk jaksa mengenai siapa yang mungkin bermain dalam kasus ini. Tentunya seorang pengusaha lebih memiliki kapasitas dan probabilitas untuk bermain dalam impor daging daripada seorang lulusan SMK. Seharusnya demikianlah profiling dimanfaatkan oleh penyidik ataupun penuntut umum untuk menuntun pada sebuah konstruksi perkara yang logis.

Penggunaan profiling tidak tepat bila ditujukan untuk membalikkan beban pembuktian karena jaksa penuntut umum tidak bisa ”cuci tangan” dari kewajiban tersebut. KUHAP ataupun UU Tipikor masih mewajibkan jaksa penuntut umum untuk membuktikan sebuah tindakan tindak pidana. Apalagi prinsip hukum pidana di Indonesia masih menganut asas ”praduga tidak bersalah” sebagaimana Penjelasan Umum KUHAP butir ke-3 huruf c serta ketentuan Pasal 8 Ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman.

Penegakan hukum haruslah dilakukan dengan hukum acara yang berlaku agar memberikan kepastian hukum karena Indonesia adalah recht staat sebagaimana Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Di sisi lain, kepatuhan terhadap pelaksanaan hukum acara merupakan implementasi dari equality before the law yang merupakan amanat Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945.

Moh Rozaq Asyhari Kandidat Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar