AM Lilik Agung
DALAM ranah korporasi kontemporer, muncul tokoh-tokoh yang seharusnya dicatat dengan tinta emas. Mereka adalah Daniel Dinell, Paul Melter, Tom Valerio, Ed Lewis, dan Paul Allen. Mereka bukan orang nomor satu pada korporasi yang bersangkutan, melainkan sebagai wakil pemimpin utama.
Nama mereka tidak muncul di permukaan. Kalaupun muncul, publik lebih mengenalnya sebagai sosok tegas, lurus, dan tanpa kompromi. Mereka menjadi tokoh antagonis yang berbeda dengan atasannya. Namun, berkat kehadiran mereka, perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja (sesuai urutan nama adalah Hilton Hotel, Saatchi & Saatchi, Cigna, Exxon Mobil, dan Microsoft) menjadi perusahaan besar.
Sebagai tokoh antagonis, mereka sering menjadi musuh bersama yang layak dimaki-maki. Berbeda dengan pemimpin tertinggi (CEO) yang berpenampilan tenang, melindungi, flamboyan, dan menjadi representasi perusahaan. Sosok Dieter Huckestein sebagai pengganti Conrad Hilton─, pendiri jaringan Hotel Hilton, ─dekat dan melindungi karyawan. Huckestein mirip Bill Gates, pendiri dan penguasa Microsoft. Hal demikian tidak ditemukan pada para wakil mereka, Daniel Dinell dan Paul Allen.
Apa jadinya apabila Dieter Huckestein dan Bill Gates tidak didampingi para tokoh yang nyaris antagonis ini? Bisakah jaringan hotel Hilton sukses bertransformasi menjadi salah satu penguasa hotel terbesar di dunia? Akankah Microsoft menjadi sebesar sekarang?
Pengakuan Dieter Huckestein bahwa Hilton bisa seperti sekarang karena ada orang bernama Daniel Dinell menguatkan sinyalemen bahwa orang kedua yang berseberangan karakter dengan orang pertama dalam organisasi justru membawa organisasi bertumbuh (Balanced Scorecard Report edisi Mei-Juni 2002).
Konteks negara
Dalam konteks yang lebih luas, negara, ternyata karakter berbeda antara presiden dengan wakilnya dalam banyak kasus justru berdampak positif bagi negara. Efektivitas program pembangunan terjaga dan sang presiden tetap memiliki wibawa tinggi di mata rakyat. Wakil presiden yang menjadi eksekutor kebijakan presiden lebih sering menjadi bahan cercaan dan sumpah serapah rakyat. Kondisi ini pernah dialami Indonesia tahun 2004-2009 ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden dengan wakilnya Jusuf Kalla (JK).
Ada perbedaan signifikan karakter SBY dengan JK. SBY berhati-hati, konseptor, dan kompromis. Ia didukung penampilan flamboyan dan tubuh tinggi besar, membuat rakyat merasa terlindung. Ini berbanding terbalik dengan JK yang cepat mengambil keputusan, taktis, dan tanpa kompromi. Namun, tubuhnya yang kecil menjadikan JK bukan tipe pemimpin ideal.
Karakter berbeda ini menguntungkan SBY yang memilih kebijakan populis dan menyenangkan rakyat. Kebalikannya, kebijakan nonpopulis hampir pasti dibebankan kepada JK. Sebagai sosok yang cepat, taktis, dan efektif, JK dengan sukacita mengawal semua keputusan tidak populis tersebut.
Hasilnya? Dalam pertarungan pemilu presiden 2009, SBY mampu meraup pemilih 60,80 persen, sedangkan JK hanya memperoleh 12,41 persen suara.
Namun, sejarah kemudian mencatat bahwa SBY tanpa JK kalang kabut. Banyak persoalan di masyarakat mengambang tanpa penyelesaian. Sebutan pemerintahan otopilot merebak seiring dengan absennya kehadiran pemerintah di tengah rakyat.
Duet Jakarta
Fenomena menarik lain adalah sosok gubernur yang kehadirannya mampu menyedot perhatian rakyat Indonesia. Popularitasnya melebihi politikus Indonesia mana pun, termasuk presidennya. Ia adalah Joko Widodo, magnet baru dalam jagat pemerintahan Indonesia.
Tak kalah menarik adalah wakil Jokowi, Basuki Tjahaja Purnama, yang juga mendapat pemberitaan luas dari berbagai media. Dua sosok dengan karakter berbeda dan karisma masing-masing. Anehnya, mereka justru saling melengkapi. Jokowi yang ramah, adem, dan suka blusukan bersandingan dengan Basuki yang keras, tanpa kompromi, dan suka bicara apa adanya.
Namun, apa pun yang dilakukan Basuki─, atau yang lebih populer disapa sebagai Ahok─, mendapat dukungan dari atasannya. Jokowi dalam banyak peristiwa berdiri di belakang Ahok, mendukung apa yang menjadi tanggung jawabnya. Gaya blak-blakan Ahok justru menguntungkan Jokowi karena begitu akutnya persoalan yang dihadapi Jakarta.
Sebaliknya, semua kebijakan Jokowi selalu didukung Ahok. Dalam berbagai komentar mengenai pembangunan Jakarta, dapat dipastikan Ahok selalu menyebut nama gubernur sebagai inisiatornya. Hal demikian menunjukkan apa yang dilakukan Ahok sejalan dengan kebijakan atasannya.
Belum satu tahun memerintah Jakarta, duet Jokowi-Ahok yang berbeda gaya mendapat apresiasi luas dari masyarakat. Dalam sejumlah diskusi di media sosial, Jakarta dianggap terlalu kecil untuk duet ini. Media sosial bahkan kencang mengampanyekan mereka menjadi pasangan presiden dan wakilnya pada Pemilu 2014.
Pembelajaran
Dalam teori kepemimpinan yang telah menjadi dogma, pemimpin dan pengikut (leader dan follower) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Seorang pemimpin dengan kapasitas dan kompetensi luar biasa sekalipun, tanpa didampingi pengikut (wakil) yang mendukung, dapat dipastikan kepemimpinannya akan stagnan. Jadilah ia pemimpin bertubuh tegap, tetapi kakinya lemah. Alhasil ia tidak mampu berlari kencang.
Belajar dari Jokowi-Ahok (juga SBY-JK, bahkan duet Soekarno-Hatta), pemimpin dan wakilnya harus menjadi dwi tunggal yang tidak terpisahkan. Antara pemimpin dan wakil harus saling mengisi dan mengapresiasi. Tanpa penyatuan pemimpin-wakil, jangan harap ada kepemimpinan yang efektif.
Pemilu 2014 yang sudah mulai hangat menjadi pembelajaran bagi para tokoh yang akan mencalonkan diri sebagai presiden. Ia harus mencari wakil yang mampu bekerja sama karena perannya signifikan. Ia tak ubahnya sepasang kaki kokoh penyangga tubuh presiden. Kalkulasi politik tanpa melihat esensi pemimpin-pengikut hanya akan menjerumuskan bangsa ini menuju kemunduran nan akut.
AM Lilik Agung Mitra Pengelola LA Learning, Pelatih Kepemimpinan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar