Pierre Marthinus
Pada 15 Agustus 2013 diresmikan kantor Free West Papua Campaign (FWPC) di Den Haag, Belanda. Sebelumnya, 28 April 2013, peresmian kantor serupa di Oxford, Inggris, menuai reaksi dan kecaman keras dari dalam negeri.
Pelajaran berharga apa yang dapat diambil bagi rekonsiliasi dan pembangunan Papua? Pernyataan bahwa ”banyak orang Papua berteriak merdeka” mungkin tak sepenuhnya salah. Namun, pernyataan itu masih gagal memberikan gambaran akurat soal tindakan serta aspirasi di belakang retorika merdeka itu.
Para pihak yang mengangkat retorika merdeka di Papua sebenarnya memiliki tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan sangat beragam. Sayangnya, mereka kerap digeneralisasikan sebagai ancaman keamanan yang sama, diberi stigma separatis, dinilai layak menerima respons kekerasan seragam dari negara.
Empat ”M” berbeda
Pada dasarnya, tiap kelompok memiliki ketidakpuasan berbeda dan mengartikulasikannya melalui bentuk-bentuk resistensi yang beragam pula. Dengan demikian, negara seharusnya mampu memberikan respons yang terdiferensiasikan dan proporsional bagi tiap kelompok. Berdasarkan tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan, terdapat empat kategori utama kelompok yang mengangkat retorika merdeka yang akrab disebut sebagai ”M”.
Pertama, kategori hipokritikal, yakni mereka yang kritis tapi tak pernah menolak segala insentif yang ditawarkan Jakarta. Tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan kalangan ini sangat rendah. Ironisnya, retorika ”M” kalangan ini kadang terlontar dari mereka yang sudah PNS. Di kalangan petinggi, tak jarang mereka yang habis masa jabatan dan kehilangan pendapatan ataupun privilese, lalu ”bersuara sumbang” dan mengangkat retorika ”M”.
Retorika ”M” terutama digunakan untuk mengakses berbagai konsesi politik dan ekonomi yang ditawarkan negara. Retorika ”M” juga menyediakan kesempatan untuk menjaga kehormatan sembari menjustifikasikan kelengseran mereka karena kasus-kasus korupsi, inkompetensi dalam tugas, skandal pribadi, ataupun popularitas elektoral yang menurun dalam pentas demokratik.
Kedua, kategori hiperkritikal, yakni mereka dengan sikap kritis selalu menilai semua kebijakan dari Jakarta adalah jebakan, salah kaprah, dan pasti akan gagal. Kalangan ini punya tingkat ideologisasi rendah dan sesekali terlibat kekerasan fisik dengan aparat dalam aksi-aksi demonstrasi. Umumnya, pengalaman pribadi terkait diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara telah menempa sikap nonkooperatif yang sangat kuat di kalangan ini.
Ketiga, kalangan radikal, yakni mereka dengan tingkat ideologisasi tinggi, yang mengartikulasikan ”M” sebagai nasionalisme Papua yang sepenuhnya terpisah dari nasionalisme Indonesia. Dalam perkembangannya, tendensi kekerasan di kalangan ini hampir tak ada dan telah muncul komitmen tinggi dalam melakukan perlawanan non-kekerasan.
Kalangan ini terbukti mampu menyinergikan retorika ”M” dengan retorika global lain, seperti HAM, lingkungan hidup, hak-hak masyarakat asli, hak menentukan nasib sendiri, dan demokratisasi. Bentuk resistensi konvensional mereka, yakni pengibaran bendera, kini telah berevolusi menjadi berbagai bentuk advokasi transnasional, seperti orasi di ruang publik internasional, kampanye internet, serta pentas budaya dengan lagu, cerita, instrumen musik serta tarian tradisional yang mengedepankan akar kebudayaan Melanesia Papua. Kelompok inilah yang cenderung berkembang pesat di luar negeri, berhasil memenangi dukungan dari beberapa simpatisan non-negara, dan merupakan satu-satunya kelompok yang berpotensi ”mempertanyakan” kedaulatan Indonesia di Papua, tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.
Keempat, kalangan radikal-ekstrem, yakni mereka yang memiliki tingkat ideologisasi tinggi dan mendukung penggunaan kekerasan. Mereka yang bergerak dalam kapasitas sipil kerap dengan sengaja melakukan aksi kekerasan kecil untuk memancing reaksi berlebihan dari aparat yang diharapkan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa sipil. Kalangan ini merindukan terjadinya insiden Santa Cruz kedua dan intervensi internasional ala Timor Leste bagi Papua. Popularitas kalangan ini terlihat berkembang di antara segelintir kalangan muda Papua.
Sementara itu, kalangan radikal-ekstrem yang bergerak dalam kapasitas kombatan, yang kerap disebut sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN), cenderung terlalu terfragmentasi, tidak populer, dan gagal memenangi dukungan, baik dari aktor negara maupun non-negara di tingkat internasional.
Dialog dan insentif
Jadi, apakah kehadiran empat kalangan yang berteriak ”M” ini berarti pendekatan berbasis insentif dalam UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah gagal dan sudah saatnya kembali ke pendekatan punitif (stick)? Tentu tidak.
Pertama, negara harus bisa membedakan antara politik ”potong jari” dan politik ”potong babi” yang terjadi di Papua. Kelompok ”potong jari”, yakni mereka yang telah betul-betul mengecap kepahitan diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara seyogianya diikutsertakan dalam proses rekonsiliasi berbasis dialog yang inklusif. Di sisi lain, kelompok ”potong babi”, yakni mereka yang mendambakan kemanfaatan dan kesejahteraan dari kehadiran negara, juga perlu dimenangkan dengan menggunakan insentif-insentif yang memiliki nilai tawar sosio-kultural yang tinggi.
Kedua, sebelum memasuki dialog yang inklusif dengan kelompok yang tergolong radikal, harus dipetakan konsesi-konsesi apa saja yang bisa dan mampu ditawarkan negara tanpa melangkahi batasan-batasan konstitusional. Bagi mereka yang menginginkan kedaulatan, negara bisa menawarkan konsesi ”kedaulatan simbolik” di bidang-bidang yang umumnya menjadi ranah eksklusif negara, misalnya moneter, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan.
Konsesi kedaulatan simbolik bisa berupa mata uang rupiah yang dicetak khusus untuk beredar di Papua (model poundsterling Skotlandia) yang menampilkan simbol-simbol budaya Papua, seperti tifa, rumah honai, tombak, parang, pisau belati, busur dan panah, burung cenderawasih, dan puncak Jayawijaya. Dalam hubungan luar negeri bisa dialokasikan pos-pos diplomatik tertentu atau dibentuk pos-pos baru yang dikhususkan bagi orang Papua untuk mewakili kepentingan Indonesia, seperti duta besar untuk kawasan Pasifik Selatan.
Dalam pertahanan-keamanan, misalnya, bisa dirancangkan lencana kehormatan atau lencana HAM yang akan diberikan oleh gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) beserta Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada perwira TNI/Polri yang dianggap memiliki andil besar bagi perdamaian dan penghormatan HAM di Papua. Jika dilengkapi komponen kepangkatan dan tunjangan ekonomi, tentunya pendekatan HAM yang berbasis insentif ini bisa menjadi suatu alternatif bagi Indonesia untuk memperbaiki kondisi di Papua sembari menjawab berbagai kritik dari luar negeri.
Ketiga, negara harus mencari bentuk-bentuk insentif dengan nilai tawar sosio-kultural yang mampu memenangkan kepatuhan para aktor lokal. Pendekatan punitif dan insentif (stick and carrot) memang penting, tapi pemilihan insentif yang salah kaprah bisa membuat orang Papua merasa selalu dipukuli dengan carrot dan diberi makan stick.
Proyek pembangunan berbasis kelapa sawit, misalnya, dapat dipastikan akan memarjinalkan orang asli Papua yang sudah terbiasa menanam kopi, kakao, dan karet selama 50 tahun terakhir. Proyek pembangunan sekolah dan rumah sakit tanpa tersedia dokter, perawat, dan pengajar yang bertugas rutin pun tidak jarang malah membuat geram masyarakat.
Intinya, skema otonomi khusus ”plus” yang tengah digodok harus cermat dalam mengidentifikasi insentif-insentif dengan nilai sosio-kultural tinggi yang mampu memberdayakan sekaligus memenangkan hati masyarakat Papua. Selain untuk membangun legitimasi politik, proses dialog yang inklusif juga penting untuk mencari dan menyetujui bersama solusi-solusi kreatif serupa dalam membangun perdamaian di Papua.
Pierre Marthinus, Peneliti di Pusat Kajian Papua (Papua Center) UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar