J Kristiadi
Berita utama harian Kompas, Senin (23/9), yang berjudul ”Peran Negara Makin Tak Terasa”, tampaknya terlalu sopan. Dalam bahasa yang lebih lugas, mungkin lebih tepat dikatakan negara ini sudah lumpuh karena silang sengkarut kebijakan yang tidak dilandasi niat politik yang berkiblat kepada kepentingan rakyat.
Negara dewasa ini bahkan dapat dikatakan vakum, mengalami kekosongan pemerintahan. Banyak ilustrasi mengenai absennya negara. Contoh yang paling hangat adalah perseteruan di lingkungan pemerintahan mengenai kebijakan yang secara diametral bertentangan: kebijakan mobil murah yang hanya akan dinikmati oleh kelas menengah versus transportasi umum nyaman yang telah lama didambakan rakyat kebanyakan.
Peristiwa politik lainnya masih banyak lagi yang dapat disebutkan. Misalnya, kelahiran Perhimpunan Pergerakan Indonesia yang membuat berang dan cemas beberapa kader Partai Demokrat. Organisasi bayi ini diantisipasi, dalam jagat pakeliran, sebagai Jabang Tutuka (nama kecil Gatotkaca) yang pada usia balita berhasil membunuh Patih Sekipu, raksasa sebesar gunung anakan, yang ingin merebut kerajaan para dewa.
Oleh karena itu, meskipun organisasi ini bukan apa-apa dibandingkan dengan Partai Demokrat, petinggi partai tersebut tidak mau ambil risiko. Jadi, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Saan Mustopa dan Ketua Komisi III DPR Gede Pasek, yang hadir pada peresmian organisasi itu, dicopot dari jabatan mereka.
Demikian pula gemuruhnya konvensi Partai Demokrat tidak menampakkan secuil pun isu-isu yang ditawarkan para peserta konvensi kepada publik.
Di kubu lain, Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar dibayangi perseteruan internal mengenai kemungkinan munculnya agenda mengevaluasi Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sebagai kandidat presiden partai tersebut. Tuntutan yang dianggap layak karena kemajuan tingkat elektabilitasnya dari waktu ke waktu seperti siput.
Sementara itu, reinkarnasi Poros Tengah berjalan tidak mulus karena terjadi ketidaksepakatan menentukan kandidat presiden.
Di tengah kegalauan politisi yang sarat dengan kepentingan kekuasaan, masih dibumbui seleksi calon hakim agung yang berbau toilet, Jokowi yang menjadi rebutan tokoh-tokoh politik, dan lain sebagainya.
Sementara itu, membubungnya harga kedelai dan daging sapi yang tidak terkendali membuat pedagang tahu, tempe, dan bakso, ibu-ibu, serta masyarakat pada umumnya menjerit-jerit, tidak mendapatkan penyelesaian yang komprehensif. Kegalauan para pemegang otoritas politik semakin kedap terhadap kepentingan umum.
Jadi, organisasi kekuasaan yang seharusnya menyelenggarakan pemerintahan untuk membuat rakyat sejahtera menjadi ladang perburuan kekuasaan yang didominasi oleh gerakan libidal yang dikobarkan oleh nafsu untuk menikmati kekuasaan. Perilaku kolektif seperti itu dalam khazanah disiplin psikologi politik, didorong oleh motif yang disebut sebagai ”kebutuhan akan kekuasaan” (Martha, L Cottam, dkk dalam Hamdi Muluk, 2012).
Sebenarnya motif seperti itu sangat wajar mengingat pemilu pada dasarnya adalah kompetisi untuk memperebutkan jabatan publik. Apalagi persaingan adalah fenomena sosial yang merupakan bagian dari kehidupan dan kodrat manusia. Kompetisi antarmanusia sudah eksis sebelum manusia lahir di dunia atau sejak dari pembuahan. Rivalitas tersebut mungkin dapat ditelusuri dari karya Charles Darwin, ”On the Origin of Species”, dalam Principles of Biology (1864), serta artikel Todd Shackelford dan Aaron Getz tentang sperm competition.
Intinya, persaingan itu ada sebelum kehadiran manusia itu sendiri. Jutaan sperma harus bersaing ketat untuk menghasilkan satu pemenang tunggal memperebutkan sel telur yang akan menjadi embrio manusia. Oleh karena itu, kompetisi adalah keniscayaan dalam kehidupan bersama yang tidak dapat dihindari.
Namun, kalau dorongan untuk menjadi berkuasa melebihi dosis yang pantas, mungkin mereka mengidap suatu penyakit yang oleh Costa dan McCrae, dalam Martha, L Cottam, dkk, disebut neuroticism. Penyakit gangguan kepribadian dengan ciri kecemasan, rasa permusuhan, depresi, defisit kesadaran diri, impulsivitas, dan sejenisnya. Pengidap penyakit ini mencari peran-peran kepemimpinan untuk berburu kekuasaan dengan tidak kenal menyerah dan menggunakan orang lain untuk mendaki mencapai tujuan tersebut. Politik menjadi kering kerontang karena tidak mempunyai roh, cita-cita, serta spirit yang menuntun ke arah yang diharapkan publik. Masyarakat hanya menjadi obyek dari para pemburu kekuasaan.
Kegalauan para politisi sama sekali tidak nyambung dengan kegalauan masyarakat. Sejauh ini publik tidak pernah mendengar, paling-paling hanya sayup-sayup dan menerka-nerka yang akan dilakukan oleh para kandidat pemimpin negara kalau mereka benar-benar menjadi pemenang dalam Pemilu 2014. Rakyat ingin tahu agenda urgensi yang dapat dijadikan langkah awal dalam mengurai kekusutan penyelenggaraan pemerintahan. Selanjutnya, rakyat juga ingin tahu, pada ujung mana yang dapat dijadikan titik urai guna menyusun agenda prioritas mengurai kesemrawutan kehidupan bernegara dewasa ini.
Oleh karena itu, kontestasi harus diatur dan dipedomani semangat dan roh agar tidak saling menghancurkan, tetapi saling memuliakan sehingga menghasilkan sesuatu yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tidak boleh membiarkan proses pertarungan dalam pemilu yang akan datang didominasi para petualang politik. Partisipasi aktif masyarakat sangat diperlukan.
J Kristiadi Peneliti Senior CSIS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar