25/09/12

Gus Dur dan Republik

Akhmad Sahal

Negara Indonesia, kita tahu, berbentuk republik dan berasaskan Pancasila. Bukan negara Islam yang berlandaskan syariah. Lantas, apa dasar syar’i-nya bahwa umat Islam di negeri ini mesti loyal terhadapnya? Mengapa mereka mesti taat terhadap konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)?

Pertanyaan di atas menjadi relevan buat kita mengingat akhir-akhir ini muncul dua macam gejala yang muaranya memosisikan NKRI seakan nasibnya sedang di ujung tanduk. Gejala pertama, maraknya kekerasan dan diskriminasi terhadap minoritas atas nama Islam. Kedua, adanya sebagian kalangan Islam yang memvonis NKRI sebagai kafir dan thoghut, serta wajib diganti dengan negara syariah.

Seribu Hari Gus Dur

Salahuddin Wahid

Pendeta Dr Wismoady Wahono pada tahun 1974 mendapat tamu. Memperkenalkan diri sebagai Abdurrahman Wahid dari Pesantren Tebuireng, tamu itu minta dikenalkan dengan para tokoh Gereja Kristen Jawi Wetan.

Maka Pendeta Wismoady mengajak Gus Dur ke sejumlah kota di Jawa Timur untuk bertukar pikiran tentang berbagai masalah dan apa yang bisa dilakukan bersama.

24/09/12

Kembalikan Olahragaku

Radhar Panca Dahana

Sebagai manusia, selain mensyukuri diri sebagai salah satu mukjizat Tuhan di antara 6,5 miliar umat lain, dengan berkah ajaib berupa badan, pikiran, dan perasaan, saya merasa menjadi manusia yang sangat—oh, sangat—berbahagia.

Berbahagia karena hidup di masa yang melahirkan tokoh-tokoh atau atlet olahraga dengan prestasi terbesar sepanjang abad. Hidup menjadi begitu indah dan sangat berharga diperjuangkan ketika mengapresiasi sukses dan disiplin hidup tokoh-tokoh besar itu, dari Michael Schumacher, Garry Kasparov, Paolo Rossi, Manuel Pacquiao, Michael Phelps, Usain Bolt, Tiger Woods, Roger Federer, hingga Sergei Bubka.

20/09/12

Maskin, Ketimpangan, dan Globalisasi

Arianto A Patunru
19 September 2012

Eric Maskin, pemenang Nobel Ekonomi 2007, beberapa waktu lalu berada di Jakarta dalam acara Human Development and Capability Association.

Presentasinya mengenai mengapa pasar global belum mampu mengurangi ketimpangan di negara miskin. Pertumbuhan ekonomi di dunia telah mengangkat banyak penduduk bumi dari kemiskinan, tetapi ketimpangan ternyata justru bertambah.

Hal ini tampak bertentangan dengan prediksi ekonom Inggris klasik, David Ricardo, dua abad lalu. Teori keunggulan komparatif mengatakan, jika ada dua negara dengan tingkat keterampilan pekerja yang berbeda saling berdagang, pola perdagangannya akan mencerminkan perbedaan tersebut.

Jika negara pertama memiliki banyak pekerja dengan tingkat keterampilan tinggi (sebutlah tingkat A) dan negara kedua didominasi pekerja berketerampilan rendah (D), secara alamiah perdagangan terjadi di mana negara pertama akan berspesialisasi pada produk yang menggunakan pekerja terampil dan negara kedua pada produk yang relatif tak membutuhkan tenaga kerja terampil. Tiap negara mendapatkan kedua barang dengan lebih murah. Total kesejahteraan sosial akan lebih tinggi dibandingkan jika masing-masing memproduksi kedua barang tanpa perdagangan.

Salah satu implikasinya, seperti yang dijelaskan dalam model Heckscher-Ohlin, ketimpangan di negara miskin (baca: negara kedua) berkurang karena permintaan akan pekerja kurang terampil di negara tersebut meningkat. Upahnya pun meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada pekerja terampil di negara tersebut. Teori ini sukses menjelaskan fenomena perdagangan dunia paling tidak sampai paruh kedua abad ke-19.

Namun, mengapa saat ini ketimpangan global tidak kunjung berkurang, bahkan di beberapa tempat justru meningkat? Dalam studinya bersama Michael Kremer, Maskin memodifikasi model Ricardo-Heckscher-Ohlin agar dapat mengakomodasi perkembangan perdagangan dewasa ini: maraknya jejaring produksi lintas negara, semakin beragamnya tingkat keterampilan, serta semakin kompleksnya pembagian tugas dalam rantai nilai.

Modifikasi mereka sederhana, tetapi implikasinya cukup signifikan. Alih-alih dua tipe, mereka membagi pekerja menjadi empat tipe keterampilan: A, B, C, dan D; dengan A paling terampil. Pekerja tipe A dan B tinggal di negara maju, tipe C dan D di negara berkembang. Didorong oleh ketiga fenomena perdagangan mutakhir di atas, pekerja tipe B dan C bergabung dan bekerja sama. Mereka menjadi penghubung antarnegara.

Implisit dalam model mereka, tipe A tidak ”bersedia” bergabung dengan B karena kualifikasi mereka terlalu tinggi untuk upah tipe B. Tipe B butuh tipe C untuk menjalankan jejaring mereka. Tipe C senang bergabung dengan tipe B karena upahnya tertarik ke atas. Namun, tipe D tidak mampu bergabung dengan tipe C karena keterampilan yang terbatas. Maka, globalisasi bisa membuat tipe D ketinggalan. Celakanya, di negara berkembang dan terutama negara miskin, tipe D-lah yang dominan. Ini menjelaskan kenapa ketimpangan belum berkurang pada era globalisasi.

Perbaiki Kualitas Pekerja

Bagaimana solusinya? Sebagian orang mungkin menyarankan menahan globalisasi demi melindungi tipe D di negara miskin. Argumennya: jika globalisasi ditutup, tipe C mau tak mau akan bekerja sama dengan tipe D. Maka kesejahteraan tipe D (yang mayoritas) akan terangkat.

Ini muskil. Pertama, menutup globalisasi berarti menghalangi kesempatan bagi tipe C (dan tipe B dari negara maju) mencapai skala yang menguntungkan kedua negara. Kedua, menahan globalisasi berarti menerima saja bahwa tipe D tidak akan pernah maju seperti tipe C. Ketiga, globalisasi sendiri niscaya tak akan bisa ditahan, kecuali dengan biaya yang sangat besar (misalnya hilangnya akses transportasi dan komunikasi yang mudah).

Sebaliknya, Maskin menegaskan, jika teorinya benar, langkah yang tepat bukan menghentikan globalisasi, melainkan memperbaiki kualitas pekerja tipe D agar mereka juga bisa menikmati globalisasi: bergabung dengan B dan C serta menikmati manfaat perdagangan. Maskin menganjurkan investasi dalam SDM berupa pendidikan dan pelatihan.

Oleh siapa? Mungkin bukan oleh pengusaha/pemberi kerja (karena pelatihan butuh biaya, dan ketika keterampilan pekerja meningkat, upah pun meningkat, yang berarti beban tambahan bagi pengusaha). Juga bukan oleh pekerja sendiri (terlalu miskin untuk meningkatkan kualitas dengan cara swadaya). Karena itu, ada ruang bagi pemerintah, LSM, serta pihak swasta. Swasta juga dapat terlibat melalui mekanisme insentif yang pas (misalnya pengurangan pajak untuk jumlah tertentu pelatihan tenaga kerja).

Ada dua isu yang relevan untuk kita. Pertama, kita pun masih menyaksikan naiknya ketimpangan di Indonesia belakangan ini. Betul bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat, angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun. Namun, ketimpangan meningkat bukan hanya dalam hal pendapatan, juga dalam dimensi non-pendapatan (ketimpangan horizontal). Sebutlah seperti akses pada pendidikan dasar, kesehatan dasar, sanitasi layak, dan air bersih.

Kedua, selain investasi dalam SDM, pasar kerja juga berperan. Tipe D didominasi oleh pekerja informal yang mungkin sulit menembus pasar formal, seperti halnya tipe C. Dengan pasar kerja yang terlalu kaku, pemberi kerja tak punya insentif mempekerjakan lebih banyak buruh lewat sistem formal. Mereka lebih memilih subkontrak atau tenaga alih daya. Akibatnya, kepastian kerja bagi tipe D makin rendah.

Lebih parah lagi jika tipe C justru menghalangi akses tipe D untuk naik. Ini bisa terjadi secara tak sengaja ketika pekerja tipe C memperjuangkan nasib mereka sendiri, tetapi justru membuat tipe D makin terpinggirkan.

Arianto A Patunru, Fellow Australian National University

12/09/12

Ini soal Tenun Kebangsaan. Titik!

Anies Baswedan

Republik ini tidak dirancang untuk melindungi minoritas. Tidak juga untuk melindungi mayoritas. Republik ini dirancang untuk melindungi setiap warga negara, melindungi setiap anak bangsa!

Tak penting jumlahnya, tak penting siapanya. Setiap orang wajib dilindungi. Janji pertama Republik ini: melindungi segenap bangsa Indonesia. Saat ada warga negara yang harus mengungsi di negeri sendiri, bukan karena dihantam bencana alam tetapi karena diancam saudara sebangsa, Republik ini telah ingkar janji. Akhir-akhir ini nyawa melayang, darah terbuang percuma ditebas saudara sebahasa di negeri kelahirannya. Kekerasan terjadi dan berulang. Lalu berseliweran kata minoritas, mayoritas di mana-mana.

08/09/12

Kembalikan Jakarta kepada Warganya

Ivan A Hadar

Putaran kedua Pilkada DKI Jakarta akan berlangsung 20 September 2012. Dua pasangan dengan perolehan suara tertinggi pada putaran pertama, Jokowi-Ahok dan Foke-Nara, kembali berlomba untuk memenangi suara warga.

Siapa pun yang nanti terpilih dipastikan dihadang berbagai permasalahan kompleks. Mulai dari kemacetan, banjir, kepadatan penduduk, kemiskinan, menjamurnya kampung kumuh hingga seabrek permasalahan lainnya. Tanpa dukungan pemerintah pusat dan instansi terkait, serta terjalinnya sinkronisasi dengan pemda tetangga, permasalahan yang dihadapi akan kian sulit ditangani. Lebih penting lagi, tanpa keterlibatan dan dukungan warganya, persoalan Jakarta mustahil teratasi.

Ngantuk!

Franz Magnis-Suseno

Mudah ngantuk itu bakat atau penyakit? Yang jelas, saya mudah sekali mengantuk begitu mendengar orang lain bicara. Itu warisan dari ayah saya.

Waktu saya masih di rumah, habis makan malam, keluarga kami duduk-duduk bersama, ngobrol, baca-baca. Begitu pula kalau ada tamu keluarga dan kenalan berkunjung. Namun, biasanya ayah saya duduk di sofa, tertidur nyenyak: 10 menit, seperempat jam, tak lebih. Kami sudah biasa.

Bahwa saya mewarisi penyakit itu, saya ketahui waktu jadi mahasiswa filsafat di Jerman. Terutama di kuliah pertama, saya harus tidur dulu 10-15 menit, baru bisa mulai segar. Karena itu, saya selalu memilih tempat duduk di baris paling depan, di kursi paling luar, karena tempat itu di luar sudut pandang profesor.

Rekan mahasiswa yang iri sering menegur: ”Kamu kok bisa tidur enak, kemudian langsung menanyakan sesuatu!” Memang itulah taktik saya agar para profesor merasa tenang. (Hanya sekali, sudah di Yogyakarta, saya menanyakan sesuatu yang ekstrem bodoh, tetapi dosen malah mengira itu tanda wisdom lebih tinggi!)

Dua kali—sekali di Jerman, sekali di Yogyakarta—saya tertidur begitu nyenyak hingga jatuh dari kursi di tengah kuliah dengan bunyi besar. Dua kali itu profesor kaget, mengira saya kena serangan jantung. Saya hanya bilang, ”Tidak apa-apa.”

Dengan pengalaman itu, saya tak pernah marah kalau mahasiswa di kuliah saya ngantuk. Biasanya di kuliah pertama saya jelaskan tata tertib yang saya minta: omong-omong mengganggu saya. Namun, kalau ada yang mengantuk, tak apa-apa, asal tidak mengorok. Pengalaman saya, tidur 10 menit saja membuat segar untuk dua jam berikut. Itu lebih baik daripada (amatan saya berulang-ulang) mahasiswa bersusah payah berusaha mempertahankan sekurang-kurangnya satu mata terbuka: gantian kiri atau kanan. Rasa saya, mesakaké wongé.

Kacau-Balau

Dua kali saya mengalami sesuatu yang mengherankan saya sendiri. Yang pertama pada 1980-an, waktu kuliah filsafat di UI. Malam sebelumnya saya pulang dari Yogyakarta naik kereta api. Saya memang mengantuk. Nah, di tengah kuliah, saya sepertinya mengalami out of body experience. Saya mendengarkan ada orang omong. Lama-kelamaan saya jadi sadar, yang omong itu saya sendiri. Omongan itu kacau-balau. Ternyata saya tertidur sedang mengajar, tetapi kok omong terus? Saya lalu memukul meja dan berteriak, ”Saya butuh kopi!” ”Betul, Romo,” jawab mahasiswa dan mengambil kopi.

Pengalaman kedua di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara pada tahun 1970-an. Sekitar pukul 12 siang. Panas sekali. Belum ada AC. Kuliah saya itu bacaan teks Inggris. Saya memberi mereka teks untuk dianalisis sendiri. Semua sibuk dan diam. Kiranya saya lalu tertidur.

Akhirnya saya mulai sadar kembali. Suasana amat sepi. Semua mahasiswa kelihatan tertidur juga. Namun, yang mengagetkan saya: kaki kanan saya ada di atas meja di depan saya! Diam-diam saya turunkan kakiku, baru saya ribut-ribut sedikit agar mahasiswa saya terbangun juga. Hanya ada satu mahasiswa yang ternyata tidak tertidur dan menyaksikannya.

Saya selalu sadar akan bahaya itu. Pernah Alvin Toffler, futurolog termasyhur itu, berceramah di Gedung Manggala Wanabakti. Yang hadir barangkali seribu orang. Saya duduk agak di belakang. Di samping saya duduk Wiratmo Soekito (almarhum). Begitu Toffler mulai omong, saya tertidur pulas. Sesudah kira-kira 15 menit saya terbangun, merasa segar, dan mulai mendengarkan Toffler dengan perhatian. Lima menit kemudian Pak Wiratmo-lah yang tertidur. Beda dengan saya, beliau mendengkur, cukup keras pula. Orang pada mulai memandang ke arah kami. Betapa bangga hatiku duduk tegak dengan mata terbuka.

Waktu saya ikut penataran P4, angkatan nasional ke-8 di Gedung BP7, Pejambon, saya didudukkan di baris kedua dari depan. Ngeri sekali! Kalau saya ngantuk sedikit saja, mesti langsung ketahuan. Akhirnya saya mengatasi masalah dengan bekerja keras. Saya memakai ceramah yang diberikan untuk mempelajari secara intensif seluruh materi kami. Jadi, saya baca teks-teks P4, UUD 1945, dan GBHN. Saya garis bawahi, saya beri warna. Pokoknya sibuk sekali. Saya tidak jadi mengantuk.

Satu kali penceramah, seorang mantan dirjen yang suka banyak melucu, menjadi gelisah melihat saya. Rupa-rupanya ia takut bahwa saya mencatat setiap sabda dari mulutnya lalu melaporkannya kepada pemimpinnya. Akhirnya beliau tak tahan, menyapa saya, ”Pak Frans, tak perlu segala kata saya dicatat.” Saya jawab, ”Enggak apa-apa, Pak.”

Sekarang pun saya selalu harus berjuang. Nah, bayangkan, tahun lalu Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia mengadakan pertemuan tahunan di Puspiptek, Serpong. Bapak Presiden akan memberikan ceramah penting! Saya gelisah. Dengan rambut putihku tak mungkin saya tak diperhatikan. Jangan-jangan beliau tersinggung kalau kepala saya angguk-angguk, saya lantas malah ditegur beliau.

Karena acara itu di aula besar, saya bisa mencari tempat duduk jauh di pojok belakang (dan dengan tegas menolak ajakan rekan-rekan akademisyen untuk duduk bersama mereka). Amanlah saya. Ternyata waktu Bapak Presiden berpidato, saya malah tidak ngantuk!

Berhadapan dengan seorang perempuan yang berselingkuh, Yesus pernah ditanya apakah perempuan itu boleh dirajam sesuai dengan hukum Taurat. Jawaban Yesus, ”Barangsiapa tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu.” Tak ada yang berani. Saya suka dengan ucapan ini.

Ada ayat lain dari Mazmur yang menghibur saya: ”Tuhan memberikan (yang baik) kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.”

Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Emeritus Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara

07/09/12

Kuasa Oligarki

Airlangga Pribadi

Salah satu masalah genting dalam proses pelembagaan politik di Indonesia adalah bahwa setiap penataan institusi politik era pascaotoritarianisme mengasumsikan proses politik sebagai ruang yang hampa dari kehadiran kuasa, kepentingan, dan pertarungan politik di dalamnya.

Salah satu bukti kegagalan proses institusionalisasi demokrasi: dalam 14 tahun era reformasi, negeri kita tak mampu membendung tumbuh dan menguatnya kekuasaan oligarki yang berumah di partai politik. Kekuasaan oligarki adalah persekutuan kekuatan bisnis besar dan elite politik, dari tingkat nasional sampai lokal, yang secara terpusat mengontrol dan memanfaatkan proses politik demokrasi melalui arena legislatif ataupun eksekutif bagi kepentingan ekonomi-politik sendiri.

Dalam memandang politik sebagai perjuangan tiap orang secara kolektif merealisasikan kebaikan bersama, problem dari keberadaan oligarki ini tak saja terkait dengan kehadiran gejala politik dinasti ketika kekuasaan politik terpusat pada hubungan kekerabatan dengan elite politik utama dan mereka yang dapat restu darinya. Lebih dari itu, penguasaan arena politik dan artikulasinya semata-mata bagi kepentingan bisnis politik dari kekuatan oligarkis—melalui parpol—ini telah membuat setiap langkah parpol kian menjauh dari agenda publik. Mereka membangun relasi-relasi yang secara eksklusif hanya bersinggungan dengan kepentingan mereka. Juga menjauhkan elitenya dari tanggung jawab sosial untuk mengawal agenda kerakyatan.

Dilema politik modern ini mengingatkan kita pada ulasan Profesor (sejarah politik) Christopher Lasch dalam The Revolt of The Elites and the Betrayal of Democracy. Baginya, persoalan dalam politik kontemporer tidak muncul dari penolakan kaum marjinal dan miskin karena rasa frustrasi mereka atas berlangsungnya proses politik demokrasi.