Anies Baswedan
Kibarannya membanggakan. Merah-Putih berkibar gagah di
tiang bambu depan rumah batu. Rumah sepetak kecil, alasnya tanah, dan
atapnya genteng berlumut. Berlokasi di tepi rel kereta tak jauh dari
Stasiun Jatibarang, rumah batu itu polos tanpa polesan material mewah.
Pemiliknya
jelas masih miskin. Namun, dia pasang tinggi bendera kebanggaannya.
Seakan dia kirim pesan bagi ribuan penumpang kereta yang tiap hari lewat
di depan rumahnya: Kami juga pemilik sah republik ini. Kami percaya di
bawah bendera ini kami juga akan sejahtera!
Yang miskin telah
menyatakan cinta dan bangga kepada negerinya. Keseharian hidupnya
mungkin sulit, mungkin serba kerontang. Mungkin tak punya tabungan di
bank, tetapi tabungan cintanya kepada republik ini luar biasa banyak.
Negeri ini masih dicintai dan dibanggakan rakyatnya tanpa syarat.
Tiap
memasuki bulan Agustus ada rasa bangga. Kemerdekaan diongkosi dengan
perjuangan. Di tiap hela napas anak bangsa hari ini, ada tanda pahala
para pejuang, para perintis kemerdekaan.
Jangan pernah lupa bahwa
saat merdeka, mayoritas penduduk serba sulit. Hanya 5 persen rakyat
melek huruf. Siapa pun hari ini, jika menengok ke masa lalu, masih akan
melihat jelas jejak ketertinggalan sebagai bagian dari sejarah
keluarganya. Kemiskinan dan keterbelakangan adalah baju bersama pada
masa lalu.
Republik ini didirikan bukan sekadar untuk menggulung
kolonialisme, melainkan untuk menggelar keadilan sosial bagi seluruh
rakyatnya. Republik hadir untuk melindungi, menyejahterakan, dan
mencerdaskan rakyatnya serta memungkinkan mereka berperan dalam tataran
dunia.
Isi Pembukaan UUD 1945 selama ini diartikan sebagai
cita-cita. Cita-cita kemerdekaan adalah kata kunci paling tersohor.
Istilah cita-cita kemerdekaan adalah istilah yang sudah jamak dipakai
dalam mengilustrasikan tujuan republik ini, tetapi ada ganjalan
fundamental di sini.
Kemerdekaan perlu memberi ekspresi yang lebih
fundamental, bukan sekadar bercita-cita. Lewat kemerdekaan,
sesungguhnya republik ini berjanji. Narasi di Pembukaan UUD 1945
bukanlah ekspresi cita-cita semata, tetapi itu adalah janji. Janji
perlindungan, kesejahteraan, pencerdasan, dan peran global pada setiap
anak bangsa. Republik dibangun dengan ikatan janji!
Cita-cita itu
adalah harapan, dan ia bisa tidak mengikat. Secara bahasa cita-cita itu
bermakna keinginan (kehendak) yang selalu ada di dalam pikiran atau
dapat juga diartikan sebagai tujuan yang hendak dilaksanakan. Bila
tercapai cita-citanya, maka akan disyukuri. Jika belum, maka dievaluasi
dan direvisi.
Ada komponen ketidakpastian yang abstrak pada kata
cita-cita. Namun, Indonesia hadir bukan sekadar untuk sesuatu yang di
dalamnya mengandung komponen yang belum tentu bisa dicapai. Sudah
saatnya tidak lagi menyebutnya cita-cita, tetapi sebagai Janji
Kemerdekaan.
Berbeda dengan cita-cita, sebuah janji adalah
kesediaan, kesanggupan untuk berbuat, untuk memenuhi, dan untuk
mencapai. Janji adalah utang yang harus dilunasi. Janji memberikan
komponen kepastian. Janji itu konkret. Republik ini bukan sekadar
bercita-cita, melainkan berjanji menyejahterakan dan mencerdaskan tiap
anak bangsa.
Hari ini janji itu telah dilunasi bagi sebagian
rakyat yang sudah tersejahterakan, tercerdaskan, terlindungi, dan bisa
berperan di dunia global. Mereka sudah mandiri. Mereka tak lagi
bergantung pada negara, mulai dari kehidupan ekonomi keseharian,
pendidikan, sampai kesehatan. Pada mereka, janji kemerdekaan itu sudah
dibayar lunas.
Masih utang janji
Akan
tetapi, masih jauh lebih banyak lagi mereka yang mendapat janji dan
belum dilunasi. Bangsa ini perlu melihat usaha mencerdaskan dan
menyejahterakan bukan sekadar meraih cita-cita, melainkan sebagai
pelunasan janji kemerdekaan. Pelunasan janji itu bukan cuma tanggung
jawab konstitusional negara dan pemerintah, melainkan juga tanggung
jawab moral setiap anak bangsa yang telah mendapat pelunasan janji:
telah terlindungi, tersejahterakan, dan tercerdaskan.
Jangan lupa
dahulu seluruh rakyat sama-sama miskin, buta huruf, terjajah, dan
terbelakang. Mayoritas mereka yang hari ini sudah tersejahterakan dan
tercerdaskan mendapatkannya lewat keterdidikan. Pendidikan di republik
ini adalah eskalator sosial ekonomi; mengangkat derajat jutaan rakyat
untuk mendapat janji tercerdaskan dan tersejahterakan.
Saat
republik ini didirikan, semua turun tangan menegakkan Merah-Putih,
menggulung kolonialisme. Ada yang sumbang tenaga, harta, dan juga nyawa.
Mereka menegakkan bendera tanpa minta syarat agar anak-cucunya nanti
lebih sejahtera dari yang lain.
Semua paham adanya janji bersama
untuk menggelar kesejahteraan bagi semua. Itu bukan sekadar cita-cita.
Kini bendera itu sudah tegak, makin tinggi, dan di bawah kibarannya,
janji kemerdekaan harus dilunasi untuk semua.
Bayangkan di kampung
kecil pinggiran kota, di rumah kayu ala kadarnya. Kabel listrik
berseliweran dipakai gantungan dan aliran listriknya pun kecil. Di bawah
sinar lampu seadanya beberapa orang bersila di atas tikar membincangkan
rencana perayaan kemerdekaan di kampungnya. Mereka belum sejahtera dan
mereka akan merayakan kemerdekaan!
Tidak pantas rasanya
terus-menerus merayakan kemerdekaan sambil berbisik memohon maaf bagi
mereka yang belum terlindungi, belum tercerdaskan, dan belum
tersejahterakan. Bangun kesadaran baru bahwa usaha ini sebagai pemenuhan
janji. Sebagai janji ia mengikat, bisa mengajak semua ikut melunasinya
dan sekaligus agar semua lebih yakin bahwa janji itu untuk dilunasi.
Perayaan
kemerdekaan bukan sekadar pengingat gelora perjuangan. Merayakan
kemerdekaan adalah meneguhkan janji. Wujudkan impian pemilik rumah batu
itu, yang menerawang kibaran Merah-Putih di rumahnya sambil tersenyum
membayangkan bahwa dia dan anak-cucunya akan tersejahterakan dan
tercerdaskan. Semua akan bangga jika perayaan kemerdekaan adalah
perayaan lunasnya janji kemerdekaan bagi tiap anak bangsa.
Anies Baswedan Rektor Universitas Paramadina
Tidak ada komentar:
Posting Komentar