11/11/09

Rasa Kepatutan dan Keadilan

Antonius Cahyadi

Oktober lalu ada dua peristiwa menarik di Perancis.

Pertama, Jean Sarkozy, putra kedua Nicholas Sarkozy, mundur dari jabatan publik. Kedua, Jacques Chirac diajukan ke pengadilan. Chirac adalah mantan Presiden Perancis yang digantikan Nicholas Sarkozy.

Mundurnya Jean Sarkozy sebagai ketua EPAD memunculkan reaksi beragam dari khalayak Perancis. EPAD (Établissement Public pour l’Aménagementde la region de la Défense) adalah lembaga publik yang mengatur tata wilayah di distrik bisnis La Defense (pusat komersial paling besar dan penting di Perancis).

Publik boleh berspekulasi tentang makna di balik kemunduran Jean Sarkozy. Namun, fakta mundurnya ia dari jabatan publik menciptakan semangat positif dalam politik ruang publik Perancis. Ia mundur dari kekuasaan yang diperolehnya secara demokratis untuk menghindari kecurigaan yang mungkin akan mengganggu kerja profesionalnya.

Tanggal 30 Oktober 2009, Jacques Chirac diajukan ke pengadilan karena penyalahgunaan keuangan negara saat menjabat Wali Kota Paris, 1977-1995. Peristiwa ini menjadi perhatian warga Perancis karena tidak terjadi sejak Perang Dunia II.

Rasa keadilan

Politik memungkinkan orang berbuat dan menafsirkan perbuatan dalam konteks kekuasaan sehingga mundurnya Jean Sarkozy bisa ditangkap secara skeptik hanya sekadar strategi.

Kita tidak akan dengan mudah menangkap, Jean Sarkozy mundur karena ketulusan dan niat mulia dalam berpolitik. Tidak ada alat yang dapat mengetahui niat sebenarnya dari langkah itu. Namun, kita melihat, berstrategi dalam politik tidak melulu identik dengan keserakahan sehingga selalu berusaha merengkuh dan mengambil kekuasaan yang ada dengan semboyan aji mumpung.

Dalam usianya yang muda, 23 tahun, Jean Sarkozy memutuskan mundur dan tidak mengambil kekuasaan yang begitu strategis. Ini membuktikan ada kesadaran tentang ”rasa” patut atau tidak patut dalam berpolitik.

Mudah bagi Jean Sarkozy dan kelompoknya untuk berkuasa karena ”hukum” prosedural yang demokratis mengatakan demikian dan ia dipilih berdasarkan suara terbanyak. Namun, rasa yang kerap dipinggirkan rasionalisme Eropa ternyata digunakan untuk memenangkan hati publik. Publik mempunyai akal sehat yang begitu identik dengan rasa; rasa kepatutan dan keadilan.

Menang secara demokratis dalam sistem politik yang memungkinkan untuk menang karena dukungan politik adalah biasa. Kita menilainya wajar. Namun meletakkan kekuasaan setelah menang karena pertimbangan kepatutan, sungguh luar biasa. Kita akan dianggap memiliki keutamaan dalam berpolitik. Inilah yang sering disebut seni berpolitik, tidak hanya sekadar pengetahuan tentang yang prosedural, tetapi juga akal sehat untuk mengerti ”rasa” di hati publik.

Rasa di hati publik yang rasional terlihat di peristiwa kedua, diadilinya Chirac karena menyalahgunakan wewenang. Publik Perancis tersentak karena akal sehat politisi dalam membaca rasa di hati masih hidup. Kubu kanan dan kiri positif mendukung proses hukum Chirac. Nicholas Sarkozy menyatakan, itulah konsekuensi prinsip pemisahan kekuasaan yang dianut Republik Perancis. Kekuasaan kehakiman berdiri independen.

Kini, Chirac adalah warga negara biasa. Namun, ia dapat dituntut atas perbuatannya yang sudah lampau saat menduduki jabatan publik. Mungkin kita akan mengatakan, mengajukan Chirac adalah tindakan tidak tahu berterima kasih. Namun, begitulah sebuah akal sehat, rasa keadilan di hati publik yang menghendaki didengarkan. Pertanggungjawaban di hadapan rasa keadilan dan kepatutan terkait pemulihan rasa itu yang sebelumnya telah terlukai.

Kepatutan dan keadilan

Pertanggungjawaban tak bisa dinilai dengan belas kasihan yang kerap keliru dimengerti. Chirac harus mempertanggungjawabkan tindakan menyelewengkan kekuasaan. Ia tak lagi dilindungi imunitas presidensial. Ia diajukan ke pengadilan tidak berdasarkan pengertian kaku tentang tanggung jawab—bahwa seseorang hanya bisa dituntut pertanggungjawabannya saat menduduki posisi—tetapi berdasarkan rasa keadilan dan akal sehat publik. Begitulah pertanggungjawaban di ruang publik. Pejabat publik diingatkan untuk tidak menggunakan aji mumpung sebab pertanggungjawaban akan diminta bukan hanya formal, tetapi juga materiil. Rasa kepatutan dan keadilan menuntut pertanggungjawaban total.

Kepatutan dan keadilan adalah rasa yang rasional di ruang publik. Keberadaannya melampaui hukum prosedural atau hukum acara yang sering menjadi alat untuk melukai rasa patut dan adil. Bukan hanya keberanian heroik, tetapi juga ketulusan keutamaan pribadi dibutuhkan dalam berpolitik di ruang publik.

Kita menganggap wajar jika seorang anak presiden hebat dalam berpolitik karena bisa menggunakan mesin politik ayahnya. Juga, kita mungkin akan kasihan kepada mantan pejabat publik yang sudah sekarat diseret ke pengadilan. Namun, ruang publik kita tak hanya cukup dipesonakan politik baik hati. Ruang publik kita menghendaki keutamaan dalam menyikapi rasa kepatutan dan keadilan. Inilah makna supremasi hukum, supremasi rasa kepatutan dan rasa keadilan.

Antonius Cahyadi, Dosen FH UI; Kandidat Doktor Bidang Socio Legal Studies di Van Vollenhoven Institute, Rechtgeleerdheid, Universitas Leiden, Belanda

Tidak ada komentar:

Posting Komentar