Tak pelak lagi, pernyataan Mahmoud Abbas bahwa ia tak akan mencalonkan lagi dalam pemilu Januari tahun depan menimbulkan berbagai spekulasi.
Pernyataan Presiden Mahmoud Abbas itu juga menimbulkan pertanyaan besar bagi proses perdamaian Timur Tengah. Apalagi pernyataan itu dikeluarkan tak lama setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Timur Tengah dan bertemu dengan para pemimpin Israel, Palestina, dan Mesir.
Saat berada di Jerusalem, Hillary Clinton tidak meminta agar Israel menghentikan pembangunan permukiman baru yang menjadi prasyarat perundingan perdamaian, tetapi justru hanya meminta agar Israel memperlambat pembangunannya.
Apakah pernyataan Abbas berkait dengan sikap AS itu, yang semula dengan terpilihnya Barack Obama diharapkan akan mendorong, dengan kekuatan baru, proses perdamaian?
Terlepas dari apakah keinginan Abbas berkait dengan pernyataan Hillary atau tidak, keputusan tersebut telah menempatkan Palestina pada situasi yang sulit, baik secara intern maupun ekstern.
Mahmoud Abbas (74), yang menjadi orang nomor satu Palestina sejak lima tahun lalu menggantikan posisi Yasser Arafat sebagai Presiden Otoritas Palestina, selama ini dipandang sebagai tokoh moderat. Ia juga dinilai sebagai tokoh pro-Barat.
Dialah arsitek Perjanjian Perdamaian Oslo (1993). Itulah sebabnya di tangan Abbas yang juga salah satu anggota pendiri faksi Fatah, Palestina bersedia membuka dialog dengan Israel. Hasilnya memang masih jauh dari yang diharapkan.
Melanjutkan proses perdamaian dengan Israel adalah salah satu persoalan yang dihadapi Abbas, yang mengaku sudah bosan dan capek. Banyak hal yang menjadi penyebab perundingan tidak berlanjut. Persoalan lain adalah tidak bersatunya Palestina: ada pertentangan politik yang sangat tajam antara Fatah dan Hamas yang menguasai Gaza. Bagaimana mempersatukan kedua kekuatan politik tersebut, itulah pertanyaan besarnya.
Pada akhirnya, siapakah yang akan menggantikan posisi Abbas? Tidak mudah mencari penggantinya yang mampu menandingi tokoh Hamas. Salah satu tokoh besarnya adalah Marwan Barghouti, masih di penjara Israel.
Siapa pun yang muncul sebagai pengganti Abbas haruslah orang yang mampu mempersatukan berbagai kekuatan politik dan militer di Palestina. Persatuan semua elemen masyarakat Palestina merupakan kunci utama untuk mengupayakan perdamaian dengan Israel. Jika di antara mereka tidak bersatu, posisi tawar mereka dalam menghadapi Israel pun lemah. Ini berarti lemah pula perjuangan mereka. Adakah tokoh pemersatu itu?
Pernyataan Presiden Mahmoud Abbas itu juga menimbulkan pertanyaan besar bagi proses perdamaian Timur Tengah. Apalagi pernyataan itu dikeluarkan tak lama setelah kunjungan Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton ke Timur Tengah dan bertemu dengan para pemimpin Israel, Palestina, dan Mesir.
Saat berada di Jerusalem, Hillary Clinton tidak meminta agar Israel menghentikan pembangunan permukiman baru yang menjadi prasyarat perundingan perdamaian, tetapi justru hanya meminta agar Israel memperlambat pembangunannya.
Apakah pernyataan Abbas berkait dengan sikap AS itu, yang semula dengan terpilihnya Barack Obama diharapkan akan mendorong, dengan kekuatan baru, proses perdamaian?
Terlepas dari apakah keinginan Abbas berkait dengan pernyataan Hillary atau tidak, keputusan tersebut telah menempatkan Palestina pada situasi yang sulit, baik secara intern maupun ekstern.
Mahmoud Abbas (74), yang menjadi orang nomor satu Palestina sejak lima tahun lalu menggantikan posisi Yasser Arafat sebagai Presiden Otoritas Palestina, selama ini dipandang sebagai tokoh moderat. Ia juga dinilai sebagai tokoh pro-Barat.
Dialah arsitek Perjanjian Perdamaian Oslo (1993). Itulah sebabnya di tangan Abbas yang juga salah satu anggota pendiri faksi Fatah, Palestina bersedia membuka dialog dengan Israel. Hasilnya memang masih jauh dari yang diharapkan.
Melanjutkan proses perdamaian dengan Israel adalah salah satu persoalan yang dihadapi Abbas, yang mengaku sudah bosan dan capek. Banyak hal yang menjadi penyebab perundingan tidak berlanjut. Persoalan lain adalah tidak bersatunya Palestina: ada pertentangan politik yang sangat tajam antara Fatah dan Hamas yang menguasai Gaza. Bagaimana mempersatukan kedua kekuatan politik tersebut, itulah pertanyaan besarnya.
Pada akhirnya, siapakah yang akan menggantikan posisi Abbas? Tidak mudah mencari penggantinya yang mampu menandingi tokoh Hamas. Salah satu tokoh besarnya adalah Marwan Barghouti, masih di penjara Israel.
Siapa pun yang muncul sebagai pengganti Abbas haruslah orang yang mampu mempersatukan berbagai kekuatan politik dan militer di Palestina. Persatuan semua elemen masyarakat Palestina merupakan kunci utama untuk mengupayakan perdamaian dengan Israel. Jika di antara mereka tidak bersatu, posisi tawar mereka dalam menghadapi Israel pun lemah. Ini berarti lemah pula perjuangan mereka. Adakah tokoh pemersatu itu?
TAJUK RENCANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar