Menjadi antiklimaks ketika rekomendasi Tim Delapan yang dipimpin Adnan Buyung Nasution oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono langsung diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Polri, dua aparat penegak hukum yang juga terlibat dalam kasus tersebut.
Masyarakat jengah. Bukankah agar masalah tidak berlarut-larut bisa dilakukan terobosan? Mungkin itulah jalur hukum. Akan tetapi, sebagai dua lembaga yang terlibat di dalamnya, bisakah diharapkan satu keputusan yang adil, adil secara hukum sekaligus adil dalam rasa keadilan masyarakat?
Ada titik relevansi antara menggugat antiklimaks kasus Bibit-Chandra dan Hari Pahlawan yang kita peringati Selasa kemarin, yakni makin tebal gelagat sulitnya menemukan sosok pahlawan, yang tidak hanya menggarisbawahi keluhan kita, tetapi juga menabalkan kekerdilan.
Ketika kriteria gelar pahlawan dari tahun ke tahun semakin diperbaiki, kepahlawanan semakin diperlukan dalam konteks kemendesakan dan kebutuhan riil. Tidak lepas dari aktualitas, di satu saat masyarakat membutuhkan seseorang yang berani merajut pluralitas bangsa yang tercabik-cabik oleh ketidakadilan, di saat lain merekalah pahlawan yang berani merajut perkubuan yang kalau dibiarkan menjadi sumbu perpecahan bangsa.
Siapa pahlawan masa kini? Dalam kasus aktual yang mengharubirukan masyarakat, kriteria kepahlawanan semacam apa perlu diintroduksi? Yang taat dengan pasal-pasal hukum demi tegaknya keadilan hukum? Atau yang berani mendahulukan rasa keadilan tanpa menelikung keadilan hukum?
Tidak gampang, memang! Dengan adagium ”sesuai dengan hukum yang berlaku” atau merasa punya bukti kuat untuk menahan di satu pihak, dan rasa keadilan masyarakat di lain pihak, keadilan hukum menjadi absurd. Yang menang adalah kekuatan dan kekuasaan.
Siapa pahlawan? Dalam kasus hukum aktual yang sekarang dengan seloroh cicak versus buaya, kepahlawanan diukur dari keberanian mendahulukan rasa keadilan. Keadilan relatif, bedakan dengan keadilan distributif, jauh dari semangat memilih ”jalan tengah”.
Membiarkan masyarakat bingung dan jengah sama arti dengan membiarkan berkembangnya virus hero (pahlawan) dan virus villain (penjahat) sekaligus. Dibutuhkan komitmen, bahwa jabatan membawa tanggung jawab, bahwa di tengah rasa keadilan semakin tidak terjangkau pada saat itu perlu tampil kepahlawanan.
Ketika pemberantasan korupsi menjadi komitmen, merawat dan menyuburkan lembaga yang dipercaya masyarakat adalah keharusan. Di sana diuji sosok kepahlawanan pemegang mandat noblesse oblige.
Masyarakat jengah. Bukankah agar masalah tidak berlarut-larut bisa dilakukan terobosan? Mungkin itulah jalur hukum. Akan tetapi, sebagai dua lembaga yang terlibat di dalamnya, bisakah diharapkan satu keputusan yang adil, adil secara hukum sekaligus adil dalam rasa keadilan masyarakat?
Ada titik relevansi antara menggugat antiklimaks kasus Bibit-Chandra dan Hari Pahlawan yang kita peringati Selasa kemarin, yakni makin tebal gelagat sulitnya menemukan sosok pahlawan, yang tidak hanya menggarisbawahi keluhan kita, tetapi juga menabalkan kekerdilan.
Ketika kriteria gelar pahlawan dari tahun ke tahun semakin diperbaiki, kepahlawanan semakin diperlukan dalam konteks kemendesakan dan kebutuhan riil. Tidak lepas dari aktualitas, di satu saat masyarakat membutuhkan seseorang yang berani merajut pluralitas bangsa yang tercabik-cabik oleh ketidakadilan, di saat lain merekalah pahlawan yang berani merajut perkubuan yang kalau dibiarkan menjadi sumbu perpecahan bangsa.
Siapa pahlawan masa kini? Dalam kasus aktual yang mengharubirukan masyarakat, kriteria kepahlawanan semacam apa perlu diintroduksi? Yang taat dengan pasal-pasal hukum demi tegaknya keadilan hukum? Atau yang berani mendahulukan rasa keadilan tanpa menelikung keadilan hukum?
Tidak gampang, memang! Dengan adagium ”sesuai dengan hukum yang berlaku” atau merasa punya bukti kuat untuk menahan di satu pihak, dan rasa keadilan masyarakat di lain pihak, keadilan hukum menjadi absurd. Yang menang adalah kekuatan dan kekuasaan.
Siapa pahlawan? Dalam kasus hukum aktual yang sekarang dengan seloroh cicak versus buaya, kepahlawanan diukur dari keberanian mendahulukan rasa keadilan. Keadilan relatif, bedakan dengan keadilan distributif, jauh dari semangat memilih ”jalan tengah”.
Membiarkan masyarakat bingung dan jengah sama arti dengan membiarkan berkembangnya virus hero (pahlawan) dan virus villain (penjahat) sekaligus. Dibutuhkan komitmen, bahwa jabatan membawa tanggung jawab, bahwa di tengah rasa keadilan semakin tidak terjangkau pada saat itu perlu tampil kepahlawanan.
Ketika pemberantasan korupsi menjadi komitmen, merawat dan menyuburkan lembaga yang dipercaya masyarakat adalah keharusan. Di sana diuji sosok kepahlawanan pemegang mandat noblesse oblige.
TAJUK RENCANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar