Oleh Yonky Karman
Klaim negara hukum yang keluar dari mulut penguasa sering tiada korelasi dengan tingginya tingkat korupsi dan pelanggaran hak asasi warga.
Problem negara hukum yang belum demokratis adalah legitimasinya berhenti pada adagium ”sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”. Penegak hukum tidak berpijak pada keadilan. Tafsir hukum cenderung tunggal dan memihak kekuasaan. Pasal karet dipertahankan dan sengaja dibuat untuk mengkriminalkan elemen kritis dalam masyarakat. Suara kritis (lembaga swadaya) masyarakat yang relatif independen diabaikan. Penegak hukum terjebak proseduralisme.
Legitimasi negara hukum
Hukum dan keadilan sepintas seperti sejalan, ternyata tidak. Masyarakat mencari keadilan. Penegak hukum memastikan hukum yang ditegakkan memenuhi rasa keadilan, terutama yang berkembang di masyarakat. Penegakan hukum di Indonesia adalah rakyat kecil sulit menemukan hukum yang adil dan memihak mereka.
Formalisme penegakan hukum tidak memadai untuk legitimasi negara hukum. Selalu ada godaan bagi penegak hukum untuk melayani kekuasaan, apalagi didukung subordinasi struktural. Penegakan hukum cenderung menjauh dari gravitasi keadilan. Suatu upaya hukum dipaksakan dengan taruhan mahal profesionalisme asal simpul perkara yang merugikan penguasa tidak terurai.
Suram masa depan penegakan hukum selama jual-beli perkara dan putusan hukum dibiarkan. Selama makelar kasus leluasa mendekati penegak hukum dengan alasan meminta advis. Petugas di lingkungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kecuali pimpinan dan juru bicara, kebanyakan bekerja dalam diam. Mereka lebih dikenal sebagai pekerja di sebuah lembaga hukum dan menjalin pertemanan yang tidak mencederai kode etik profesi.
Reformasi institusional tidak cukup hanya perbaikan remunerasi, juga tidak cukup hanya dengan mundurnya pejabat yang disinyalir terkait kasus. Mereka yang terlibat tahu sama tahu, mengorganisasi diri secara rapi, prosedural, dan saling melindungi. Korupsi beramai-ramai bukan isapan jempol. Jejaring mafia keadilan lebih luas dan dahsyat dari mafia peradilan, dalam jangka panjang meruntuhkan kredibilitas negara hukum.
Sebagai anak kandung reformasi, KPK ada karena situasi korup yang abnormal dan sistemik. Meski tidak spektakuler seperti diharapkan, prestasi KPK lebih baik dibandingkan dengan lembaga penegak hukum yang ada. Oknum dari eksekutif, legislatif, yudikatif, dan lembaga penegak hukum sudah terjerat hukum oleh KPK.
Sayang, elite politik tidak menghayati kedaruratan situasi negeri yang didera korupsi melembaga. Mereka resah dengan kewenangan dan fasilitas luar biasa yang dimiliki KPK. Mereka tidak menunjukkan keberpihakan konstitusional yang progresif dan tidak melakukan terobosan historik seperti dilakukan Mahkamah Konstitusi.
Justru terjadi tarik ulur terkait rancangan undang-undang tentang keberadaan KPK dan formasi hakim ad hoc. Elite politik tidak membuka diri kepada masukan masyarakat. Itulah potret perjalanan reformasi yang dibajak, berayun dari wilayah legislatif ke wilayah eksekutif. Rezim ketertutupan menguat. Politik kelembagaan cenderung menutup diri. Eksistensi komisi negara produk reformasi cenderung diabaikan.
Gebrakan menjadi gerakan
Dalam beberapa tahun terakhir, gedung KPK tidak pernah sepi dari unjuk rasa berbagai elemen masyarakat untuk mendorong kinerja lembaga itu. Masyarakat lebih menaruh harap kepada KPK meski lembaga itu tidak bebas dari tebang pilih penanganan kasus. Reaksi masyarakat pada hari-hari ini sebuah pertanda baik, KPK sudah menjadi bagian masa depan bangsa yang sedang bergerak maju.
Pemberantasan korupsi seharusnya beranjak dari gebrakan menuju gerakan rakyat. Dalam kesadaran baru itulah masyarakat melihat upaya telanjang kriminalisasi dan pelemahan KPK sebagai tindakan mengkhianati nurani bangsa. Rakyat marah bukan karena diprovokasi media massa, tetapi karena kian sadar bahwa hukum adalah milik mereka. Bahwa penegakan hukum adalah masa depan bangsa. Hukum bukan milik penguasa.
Reformasi di kalangan masyarakat sipil berjalan lebih cepat. Tidak ada pilihan lain bagi birokrasi dan penyelenggara negara untuk mengikuti percepatan demokratisasi, demi tegaknya Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis (F Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, 2009). Elite politik harus memanfaatkan celah reformasi untuk membangun legitimasi negara hukum.
Tidak ada orang yang suka melihat keburukan diri, apalagi dalam waktu lama. Namun, jangan sampai ”buruk muka cermin dibelah”. Karena itu, harus ada target jelas bagaimana dan kapan diperkirakan kejaksaan dan kepolisian dapat berfungsi normal dalam pemberantasan korupsi. Barulah kemudian bisa dibicarakan kapan KPK tidak diperlukan lagi.
Sejauh ini reformasi kelembagaan tidak menjadi parameter untuk mengevaluasi keberlanjutan kepemimpinan di tubuh kejaksaan dan kepolisian. Akibatnya, kedua institusi itu hanya memoles citra dengan satu dua kasus. Tidak ada target reformasi kelembagaan yang jelas.
Daripada mengulang kembali konflik yang tidak perlu di antara sesama penegak hukum, sebaiknya ini dijadikan momentum reformasi total di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Jangan lagi kasus seperti ini dipandang hanya soal oknum. Ini bukti reformasi institusional jalan di tempat. Terus berlangsung praktik yang melanggar kode etik profesi dengan berlindung di balik sakralisasi instansi negara.
Pemeo ”hukum adalah panglima” tidak serta-merta melahirkan pahlawan hukum yang banyak diperlukan jika Indonesia mau tegak dan dihormati bangsa-bangsa. Harus lahir pahlawan hukum di luar maupun di dalam institusi penegak hukum itu sendiri. Sosok yang berjuang menegakkan hukum dan keadilan, jika perlu, menjadi kurban suci perjuangannya.
Yonky Karman Pengajar di Sekolah Tinggi Teologi Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar