10/11/09

Menunggu Antigone

Toto Suparto

Berani, sekali lagi berani, dan selamanya berani,” begitu ucapan Danton yang dihayati dan diamalkan oleh Antigone.

Dramawan Perancis, Jean Anouilh (1910-1987), melahirkan Antigone lewat sebuah lakon. Tokoh perempuan ini merupakan wakil semangat yang menentang dan menyerukan perlawanan terhadap tirani raja Creon.

Antigone digambarkan sebagai perempuan heroik yang berani berkata ”Tidak!” saat banyak orang berseru ”Iya.” Sikap itu membuatnya diakrabi kesulitan sampai-sampai lupa bahwa dirinya adalah perempuan yang seharusnya menjaga penampilan.

Sebaliknya, ia membiarkan tubuhnya kurus kering sehingga memudarkan kecantikannya. Wajar jika ia lalu nyaris tak mengenal makna cinta, apalagi setelah lelaki yang ia kagumi lari ke pelukan perempuan lain.

Meski demikian, ia dipuja sebagai pahlawan. Keberaniannya berkata ”Tidak!” bukan tanpa konsekuensi. Ia mengorbankan kepentingan diri demi kepentingan orang banyak. Ia membela rakyat ketimbang menghamba penguasa. Ia dinilai altruis. Meminjam ukuran Pearl M Oliner (1988), altruis itu acap bertindak hanya menolong orang lain, tindakan itu mengandung risiko tinggi, tindakan itu tanpa mengharap pamrih, imbalan, atau bentuk penghargaan lain, dan tindakan itu dijalani dengan sukarela. Antigone dihormati sebagai pahlawan.

Ukuran fundamental

Antigone adalah personifikasi pahlawan. Setiap zaman melahirkan pahlawannya. Namun, pergantian zaman hanya membedakan medan perjuangan. Karakter tak pernah berubah. Kisah Antigone memberi gambaran pahlawan dimaksud bahwa ia bermula dengan menolak, mampu menggugah hati, dan lahir dari dunia nilai tertentu. Antigone memberi ukuran fundamental pahlawan, seperti kesediaan berbuat, berjuang, dan berkorban bagi kemanusiaan serta nilai-nilai luhur yang universal.

Kisah Antigone ini membingkai makna pahlawan sebagai orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Dengan menggunakan tiga kunci itu—(1) keberanian, (2) menonjol, dan (3) membela kebenaran—berkembanglah makna pahlawan itu. Ada yang mengembangkan intisari pahlawan menjadi mereka yang rela berkorban dengan prestasi lebih besar dibandingkan dengan orang seusianya dan ketulusan mengaktualisasi diri.

Saat penjajahan, makna berkorban sampai kepada kehilangan nyawa di medan perang. Namun, kini lebih kepada bagaimana seseorang mau berbuat dengan kesanggupan untuk mendahulukan kepentingan orang lain daripada kepentingan sendiri. Dalam taraf ini, seseorang tergerak hatinya dengan amal yang tak lagi mempertimbangkan keuntungan pribadi.

Di sinilah diperlukan ketulusan saat seseorang memutuskan untuk mendahulukan kepentingan orang lain. Di sini pula pertimbangan untung-rugi dikalkulasi dengan sebuah kepasrahan kepada Sang Pencipta. Ia punya keyakinan, saat menabur benih kebaikan dalam kehidupannya, maka yakin Sang Pencipta akan memberi buah kenikmatan. Keyakinan ini akan menjadi kekuatan dahsyat untuk mengoptimalkan potensi hati, akal, maupun jasmani bagi kehidupan bersama yang lebih baik.

Dari kekuatan dahsyat itu acap mengukir prestasi besar jika dibandingkan dengan orang kebanyakan. Mereka yang ingin berprestasi besar adalah yang mau terus memperbarui persepsi dan memiliki pandangan positif terhadap kegagalan. Dalam hidupnya, kegagalan bukan penghalang, tetapi menjadi acuan untuk bertekad mewujudkan hal terbaik.

Datanglah ke negeri kami

Antigone, di manakah engkau kini? Negeri kami membutuhkanmu. Kami butuh orang yang mau dengan tegas berkata ”Tidak!” demi kebenaran. Betapa sulit menegakkan kebenaran di negeri ini. Hanya karena rayuan rupiah, banyak dari kami terjerembab kubangan kotor dunia hukum. Bayangkan, aparat hukum yang seharusnya menunjukkan kebenaran justru bermain dengan skandal memalukan. Jika kebenaran sulit ditunjukkan, bagaimana mungkin bisa menjunjung tinggi keadilan?

Datanglah ke negeri kami, yang kian panas karena disengat ragam hujatan sesama kaum elite. Namun, berhati-hatilah di negeri kami karena sulit membedakan kawan atau lawan, ramah atau murka, topeng atau wajah sebenarnya, tuntunan atau tontonan, terbuka atau dusta, bahkan demokrasi atau democrazy.

Jangan kaget, di negeri kami banyak orang tak risi menerima gaji tinggi saat rakyat sulit rezeki. Ada pula orang nyaris adu jotos di muka umum demi mempertahankan argumentasi. Dan yang menyedihkan, wakil rakyat lupa rakyat pada awal tugasnya.

Antigone, siapa tahu kedatanganmu bisa membangun nilai ideal. Masih ada orang percaya, jika perbuatan seseorang merupakan pantulan nilai ideal dominan, proses kelahiran pahlawan dimulai. Kata Taufik Abdullah (2002), inilah embrio bagi sosok panutan, berjasa bagi negara, dan mau membela yang benar.

Tak usah ragu untuk ke negeri kami karena engkau tak akan menemukan pesaing di sini. Di negeri kami, pahlawan seolah hanya imaji historis atau sekadar monumen agar tak mematikan ingatan sejarah. Lebih menyedihkan, di negeri kami, pahlawan dianggap sebagai deretan nisan di sebuah taman. Maka, sebelum negeri ini kian hancur, datanglah Antigone....

Toto Suparto Pengkaji Etika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar