17/11/09

Listrik dan Kehidupan

Nengah Sudja

Adanya gangguan di PLTGU Muara Karang dan gardu listrik Cawang mengakibatkan defisit listrik 250 megawatt, sementara beban puncak 5.050 megawatt.

Atas keadaan itu terpaksa dilakukan pemadaman listrik bergilir. Itulah keterangan General Manager PT PLN Area Distribusi Jakarta Raya dan Tangerang (Kompas, 10/11).

Listrik merupakan kebutuhan hidup masyarakat maju. Tentu saja pemadaman listrik mengganggu kehidupan sosial dan mutu kehidupan pun turun.


Nilai gangguan listrik

Kebutuhan listrik (E) berkolerasi dengan ekonomi, pendapatan domestik bruto (G). Secara ringkas, defisit listrik 250 megawatt (MW) per hari di wilayah Jakarta dan Tangerang bila dihitung dengan rupiah akan menjadi: 250.000 kW x 24 h/a x 2,7/ kWh > 16,2 Juta/a atau Rp 150 miliar per hari (kurs Rp 9.260).

Atas pemadaman bergilir selama dua pekan itu, Asosiasi Pengusaha Indonesia Tangerang merugi hingga Rp 10 miliar per hari. ”Jika listrik mati selama 30 menit saja, distribusi air ke pelanggan bakal terlambat sampai tiga jam. Kerugian terhentinya produksi 30 menit itu mencapai Rp 97,2 juta” (Kompas, 12/11/2009).

Kegagalan perencanaan

Sistem ketenagalistrikan Jawa-Bali jauh lebih andal dari luar Jawa-Bali yang mengalami pemadaman berkelanjutan sejak 2001 di 24 wilayah. Hanya saja berita ini kurang didengar.

Ketika Jakarta pada akhir Oktober 2009 mengalami pemadaman bergilir, praktis terjadi pemadaman di seluruh Indonesia. Sejak itu, masalah listrik ramai dibahas. Sementara pemadaman di daerah berkelanjutan, mereka seperti dianaktirikan dan lama diabaikan.

Pemadaman di luar Jawa-Bali adalah kegagalan perencanaan jangka panjang untuk memenuhi kebutuhan. Penambahan pembangkit banyak tersendat. Pemadaman listrik di Jawa-Bali bukan kekurangan pembangkit, tetapi merupakan kegagalan aset manajemen, terkait pemeliharaan, dan pengadaan suku cadang aset vital (cadangan trafo). Kendala utama bermuara pada kekurangan dana.

Apa langkah perbaikannya?

Perlu pemikiran kembali konsep penyediaan tenaga listrik nasional dan dituangkan dalam peraturan/perundang-undangan, antar lain, terkait, pertama, pemanfaatan captive power. Untuk itu perlu diintegrasikan dan dimanfaatkan aset nasional di luar PLN, captive power seperti pembelian listrik dari Cikarang Listrindo 100 megawatt dan PT Bekasi Power Jababeka 37 megawatt guna mengurangi defisit listrik. Harga pembelian PLN 7-9 sen per kWh. Bisa pula dilakukan pembelian dari captive power pembangkit diesel, 22-30 sen per kWh. Masih lebih murah dari nilai gangguan 270 sen per kWh. Masalahnya, siapa yang akan membayar? Pendapatan PLN yang 7 sen per kWh pun masih perlu disubsidi pemerintah. Bursa jual beli listrik ini membuka kesempatan menguji kepantasan berapa harga listrik bermutu yang dapat diterima konsumen.

Kedua, perbaiki pengelolaan aset. Mengingat besar nilai dan dampaknya, gangguan listrik patut dicegah. Sayang, masyarakat Indonesia ”sulit mengingat”, hanya berpikir sesaat tatkala mengalami petaka dan kurang berpikir panjang. Sesudah hilang dari pemberitaan, masalah dilupakan. Tak ada tindak lanjut untuk mencegah pengulangan kesalahan.

Gangguan tidak dijelaskan kepada masyarakat, apa penyebabnya, tidak ada pertanggungjawaban publik, beda dengan praktik yang lazim diberlakukan di negara maju. Mungkin pemerintah tidak peduli.

Perlu diketahui, penyebab gangguan listrik tidak dapat dijelaskan dalam waktu cepat. Penjabat profesional tidak akan memberi penjelasan spekulatif sebelum proses penyelesaian dilakukan. Maka, diperlukan waktu untuk mempelajari dan meneliti data, termasuk urutan kejadian. Namun, pada akhir penyelidikan perlu dilaporkan kepada masyarakat terkait waktu gangguan, daerah, dan jumlah pelanggan yang terkena, lama gangguan, dan uraian mengatasi gangguan.

Untuk itu, perlu segera dibentuk Komisi Keamanan Penyediaan Listrik yang meneliti sebab gangguan. Apakah gangguan itu karena kelalaian PLN atau sebab alami (petir, angin topan). Komisi perlu melibatkan partisipasi masyarakat: dengan keanggotaan dari industri listrik (PLN, pembuatan peralatan listrik, Kadin, konsultan), konsumen (lembaga konsumen), dan perguruan tinggi. Anggotanya dipilih secara terbuka.

Rencana jangka panjang

Ketiga, perlu perencanaan jangka panjang terkait pemenuhan kebutuhan tenaga listrik.

Keamanan pasokan perlu pembinaan dan pengawasan pemerintah. PLN hanya pelaksana. Kegagalan memenuhi kebutuhan tenaga listrik karena tidak tersedia dana cukup perlu dipecahkan dengan pengaturan penetapan tarif dasar listrik (TDL) yang mencerminkan pemulihan biaya. TDL ditetapkan oleh pemerintah/DPR hingga padat ranah politik. Selama ini subsidi diberikan pada sektor listrik, padahal seharusnya kepada masyarakat miskin. Depolitisasi penetapan TDL harus dilakukan. TDL bukan ditentukan, tetapi cukup diawasi pemerintah/DPR.

Selain itu perlu dibentuk Komisi Kegunaan Publik yang menetapkan TDL dengan melibatkan semua stakeholders, konsumen, pemasok listrik PLN, rekanan, pemilik dana guna menjamin efisiensi, kewajaran pendapatan PLN untuk menjamin kelangsungan usaha. Semua itu untuk memberi perlindungan mutu dan harga konsumen.

Semoga listrik terus menyala.

Nengah Sudja Peneliti Energi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar