Oleh Bambang Widjojanto
Ada yang menarik dalam diskursus publik menyangkut respons atas upaya paksa penahanan pimpinan KPK nonaktif.
Tindakan dimaksud layak dan dapat dikualifikasi sebagai tindak kekerasan dengan cover penegakan hukum. Kesimpulan itu bisa didapat bila melihat proses mulai dari putusan Mahkamah Konstitusi (MK), diajukan alasan penahanan yang berlebihan dan terkesan mengada-ada, dilakukannya tindak penangkapan dan penahanan, hingga dilontarkannya kehendak kepolisian untuk menyita rekaman dan transkrip rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK nonaktif pascapengaduan Anggodo Widjojo.
Putusan MK mengabulkan sebagian permohonan provisional Bibit S Rianto dan Chandra M Hamzah dalam peninjauan kembali di MK dengan menyatakan ”...menunda pelaksanaan berlakunya Pasal 32 Ayat (1) Huruf c dan Pasal 32 Ayat (3) UU Nomor 30 Tahun 2002, yakni pemberhentian pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan sampai ada putusan Mahkamah terhadap pokok permohonan...”.
Dasar pertimbangan dikabulkannya putusan MK dapat menjadi penunjuk untuk menegaskan posisi MK sebagai penjaga konstitusi yang harus senantiasa pada kemaslahatan publik. Pertimbangan itu menyatakan ”...Mahkamah terus mengikuti perkembangan kesadaran hukum dan rasa keadilan yang tumbuh di masyarakat... agar Mahkamah tak berdiam diri atau membiarkan terjadinya pelanggaran hak konstitusional warga negara”, serta ”...untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan untuk melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam...”.
Membiarkan penganiayaan
Pertimbangan itu menegaskan, Mahkamah mempunyai perhatian tinggi untuk tidak membiarkan penganiayaan dan pelanggaran atas hak konstitusionalitas warga negara dan Mahkamah meletakkan posisinya pada garda terdepan untuk memimpin gagasan dan perwujudan negara hukum yang demokratis.
Tindakan sebaliknya justru dilakukan penyidik di Bareskrim Polri. Mereka menggunakan upaya paksa dengan menangkap dan menahan pimpinan KPK nonaktif serta ”menjebloskannya” ke penjara. Alasan yang dipakai sebagai dasar tindak penahanan seperti diungkap media dengan merujuk pernyataan unsur pimpinan kepolisian amat lemah dan mengada-ada. Bibit dan Chandra dituduh membuat pernyataan di media yang dinilai secara sepihak oleh penyidik dapat menyulitkan proses pemeriksaan kasus mereka.
Ada kekhawatiran, apakah tindakan penahanan itu merupakan respons berlebihan atas putusan provisi MK? Lebih jauh, apakah tindakan dimaksud dapat dikualifikasi sebagai ”kepongahan” kekuasaan dengan menunjukkan respons sebaliknya dari kekuasaan kehakiman?
Beberapa alasan
Terkait hal-hal itu, beberapa alasan dapat diajukan. Pertama, argumentasi yang dijadikan dasar pihak penyidik Bareskrim seperti dikemukakan Wakil Kepala Bareskrim justru bertentangan dan mengingkari prinsip dasar konstitusi. Hak untuk mengeluarkan pendapat dikebiri dan dikriminalisasi, padahal pernyataan yang dikemukakan pimpinan KPK nonaktif tak pernah dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik.
Kedua, pihak penyidik menuduh media membuat pemberitaan tak imbang atas pernyataan Bibit-Chandra. Alasan ini amat berbahaya karena menista semua media yang seolah tidak obyektif dan tidak profesional dalam menjalankan fungsinya.
Ketiga, pernyataan yang dijadikan dasar penahanan bertentangan dengan dasar penahanan, tertera dalam surat penahanan atas pimpinan KPK nonaktif. Surat itu menyatakan, alasan penahanan: tersangka akan melarikan diri, menghilangkan barang bukti, dan mengulangi tindak pidana. Alasan-alasan itu tidak berdasar karena tersangka amat kooperatif dan tidak lagi menjabat pimpinan KPK sehingga tidak mungkin melakukan tindak pidana dan menghilangkan barang bukti.
Selain itu, ada perkembangan serius, penyidik Bareskrim akan menyita bukti rekaman dan transkrip yang dalam persidangan justru diminta MK dari pimpinan KPK untuk diserahkan sebagai bagian bukti permohonan peninjauan ulang. Sehari sebelumnya, Anggodo yang dituduh sebagai pihak yang melakukan rekayasa sesuai transkrip rekaman yang beredar di media justru melaporkan pimpinan KPK telah mencemarkan nama baik.
Fakta itu menunjukkan ada hal yang saling terkait antara pengaduan Anggodo dan pernyataan penyidik guna menyita barang bukti rekaman dan transkrip rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK nonaktif. Yang menarik, pertama, apakah penyitaan dapat dikualifikasi sebagai upaya menghalangi penyerahan bukti yang diperintahkan MK kepada pimpinan MK dengan dalih hukum.
Kedua, bukti dimaksud diduga berisi informasi yang dapat menjelaskan, motif, pelaku, dan kronologi rekayasa yang sebagian melibatkan beberapa pihak dari unsur penyidik Bareskrim. Pihak penyidik juga berpotensi dipertanyakan, apakah penyidik dapat obyektif dan profesional untuk mengkaji barang bukti yang sebagiannya diduga berisikan keterlibatan sebagian penyidik.
Ketiga, ada kesan perlakuan yang diskriminatif. Penyidik dapat dituduh memberi keistimewaan kepada Anggodo karena Anggodo-lah yang diduga melakukan percobaan penyuapan kepada pimpinan KPK melalui Ary Muladi. Bagaimana mungkin penyidik membiarkan pelaku kejahatan yang diduga mencoba menyuap pimpinan KPK justru diberi keleluasaan untuk melaporkan pimpinan KPK yang akan menyerahkan bukti rekaman ke persidangan MK.
Keseluruhan fakta itu menegaskan adanya kekerasan dalam proses penegakan hukum berupa kriminalisasi pimpinan KPK nonaktif. Apakah hal ini akan kita biarkan? Rakyat mendambakan negara hukum yang bersih, bebas dari KKN.
Bambang Widjojanto Pengajar Fakultas Hukum Universitas Trisakti; Advokat pada WSA Lawfirm; Dewan Etik ICW
Tidak ada komentar:
Posting Komentar