14/11/09

Ironi Krisis Listrik

Sudah 64 tahun Indonesia merdeka, tetapi yang didapat rakyat bukannya negara yang maju, tetapi negara yang mundur.

Hari-hari ini, dari Papua hingga Sumatera Utara, kita mendengar rakyat menjerit karena listrik semakin sering digilir. Sungguh besar akibat krisis listrik ini bagi konsumen, baik perorangan maupun industri.

Disalurkan lewat media massa, cetak maupun elektronik, dan terakhir lewat situs jejaring sosial, keluhan yang disampaikan sangat beragam, mulai dari ikan hias dagangan mati akibat kekurangan oksigen, makanan di kulkas membusuk, penjahit pakaian jadi kehilangan waktu produktif, alat elektronik jadi rusak, hingga industri yang harus membayar biaya daya maksimum.

Sebenarnya, perihal defisit listrik sudah lama kita dengar, tetapi—karena bangsa Indonesia disibukkan oleh banyak isu lain—urusan listrik ini lalu seperti luput dari perhatian. PLN sebagai perusahaan yang selama ini mendapatkan amanah untuk menyelenggarakan layanan vital ini harus memberikan pertanggungjawaban. Tak cukup hanya PLN, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan BUMN pun harus kita dengar pertanggungjawabannya, mengapa pengelolaan listrik negara buruk seperti ini?

Menghadapi keluhan masyarakat, PLN menawarkan kompensasi 10 persen dari biaya beban atau biaya tetap listrik bagi pelanggan yang terkena dampak pemadaman. Namun, seperti disampaikan pengurus Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Sudaryatmo (Kompas, 12/11), hal itu tidak sebanding dengan kerugian riil konsumen.

Kita berpandangan, krisis listrik yang terjadi sekarang ini memperlihatkan bahwa PLN dan pemerintah mengelola kelistrikan negara tanpa visi dan perencanaan memadai. Apa yang dialami masyarakat sekarang ini merupakan bukti nyata kurangnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur ekonomi yang amat menentukan ini. Memang ada kebakaran yang merusakkan sejumlah gardu induk di Jakarta, tetapi itu tidak bisa menutupi krisis yang terjadi di kota-kota lain. Lalu, kalau memang ada rencana darurat, mestinya perbaikan gardu tak harus membutuhkan waktu begini panjang.

Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sekitar 4 persen saja, listrik kedodoran, bagaimana kalau ekonomi tumbuh 7 persen atau lebih seperti diharapkan, ditandai oleh giatnya operasi pabrik dan aktivitas ekonomi masyarakat?

Apa, ya, perasaan PLN atau pemerintah melihat setiap hari di koran atau televisi ada tayangan masyarakat di beberapa kota berdemo memprotes pemadaman?

Kita berharap pemerintah dapat meninjau ulang kebijakan penyelenggaraan layanan listrik negara. Selain itu, masyarakat yang ingin mengembangkan sumber daya listrik mandiri hendaknya dapat diberikan kemudahan.

Listrik yang kini menjadi sumbat botol pembangunan harus ditata ulang bersama dengan konsep pengembangan energi lainnya. Tanpa itu, ia hanya akan menjadi ironi.

TAJUK RENCANA




Tidak ada komentar:

Posting Komentar