Butir-butir iklan program 100 hari Depdiknas merupakan janji yang mengikat. Akan dicatat seberapa besar bisa dilaksanakan. Berbeda dengan departemen teknis lain, tingkat dan tolok ukur keberhasilan praksis pendidikan relatif lebih sulit. Yang ditangani bukan benda mati, tetapi manusia dengan keunikan, keluhuran, dan kekerdilannya. Kegiatan diselenggarakan tidak dalam sebuah ruang kosong nol, tetapi dalam keadaan sudah dan sedang jalan.
Memilih terjaminnya gedung sekolah merupakan janji konkret. Gampang dipenuhi. Dengan prioritas anggaran pembangunan gedung diberi skala prioritas pertama, dengan menjaga sekecil mungkin terjadinya kebocoran, janji itu terpenuhi. Jeritan ”sekolah kandang ayam” Prof Winarno Surakhmad, sampai usia Republik Indonesia lebih dari 60 tahun masih ada gedung sekolah roboh, terjawab.
Infrastruktur hanyalah salah satu faktor dalam praksis pendidikan. Janji keberhasilan fisik perlu dilengkapi janji keberhasilan nonfisik. Apa saja? Bereskan segera masalah proyek sertifikasi guru. Perbaiki sistem ujian nasional, misalnya dengan adanya kesempatan siswa gagal di ujian nasional masih ada kesempatan mengulang dengan standar yang sama (Kompas, 13/11)—kebijakan yang kita nilai bijak. Bereskan soal buku teks dengan kebijakan tegas.
Lengkapkan sarana dan pengenalan perangkat teknologi informasi mutakhir. Berikan kepastian bahwa tanpa mengesampingkan faktor kesesuaian praksis pendidikan dengan lapangan kerja, bahwa pendidikan merupakan bagian dari pengembangan karakter dan national and character building bangsa yang plural di segala hal ini.
Kita hentikan trauma ”ganti menteri ganti kurikulum dan ganti kebijakan”. Tidak mungkin kebijakan dan praksis pendidikan masa lalu dibuang semua. Ketika perbaikan sarana fisik dilakukan, pada saat yang sama perlu dikenali betul kondisi riil. Ketika sejumlah persoalan belum terselesaikan, sisa persoalan jangan dibiarkan tertimbun, yang bisa menciptakan persoalan baru.
Mengenali kondisi riil dengan hati jernih dan semangat pedagogis, segera menyaksikan sejumlah soal. Masalah ujian nasional yang relatif mulai diterima dengan menyadari bahwa harus ada standardisasi minimum ukuran keberhasilan. Masalah guru dengan program sertifikasi yang belum selesai. Maksud memperbaiki kesejahteraan guru dengan program sertifikasi jangan terhenti sebagai gincu dan bedak, tetapi kepastian-kepastian.
Kritik pedas bahkan nyaris kecaman dari masyarakat merupakan bagian rasa memiliki, hakikat praksis pendidikan yang melibatkan semua penghuni negeri ini tanpa kecuali. Dengan tetap menempatkan pluralitas Indonesia dalam segala hal, sebaiknya masukan, kritik, bahkan kecaman bisa disambut dengan sikap positif, dan niscaya itu produktif. Dan hentikan sikap ”pokoknya” jalan terus!
Memilih terjaminnya gedung sekolah merupakan janji konkret. Gampang dipenuhi. Dengan prioritas anggaran pembangunan gedung diberi skala prioritas pertama, dengan menjaga sekecil mungkin terjadinya kebocoran, janji itu terpenuhi. Jeritan ”sekolah kandang ayam” Prof Winarno Surakhmad, sampai usia Republik Indonesia lebih dari 60 tahun masih ada gedung sekolah roboh, terjawab.
Infrastruktur hanyalah salah satu faktor dalam praksis pendidikan. Janji keberhasilan fisik perlu dilengkapi janji keberhasilan nonfisik. Apa saja? Bereskan segera masalah proyek sertifikasi guru. Perbaiki sistem ujian nasional, misalnya dengan adanya kesempatan siswa gagal di ujian nasional masih ada kesempatan mengulang dengan standar yang sama (Kompas, 13/11)—kebijakan yang kita nilai bijak. Bereskan soal buku teks dengan kebijakan tegas.
Lengkapkan sarana dan pengenalan perangkat teknologi informasi mutakhir. Berikan kepastian bahwa tanpa mengesampingkan faktor kesesuaian praksis pendidikan dengan lapangan kerja, bahwa pendidikan merupakan bagian dari pengembangan karakter dan national and character building bangsa yang plural di segala hal ini.
Kita hentikan trauma ”ganti menteri ganti kurikulum dan ganti kebijakan”. Tidak mungkin kebijakan dan praksis pendidikan masa lalu dibuang semua. Ketika perbaikan sarana fisik dilakukan, pada saat yang sama perlu dikenali betul kondisi riil. Ketika sejumlah persoalan belum terselesaikan, sisa persoalan jangan dibiarkan tertimbun, yang bisa menciptakan persoalan baru.
Mengenali kondisi riil dengan hati jernih dan semangat pedagogis, segera menyaksikan sejumlah soal. Masalah ujian nasional yang relatif mulai diterima dengan menyadari bahwa harus ada standardisasi minimum ukuran keberhasilan. Masalah guru dengan program sertifikasi yang belum selesai. Maksud memperbaiki kesejahteraan guru dengan program sertifikasi jangan terhenti sebagai gincu dan bedak, tetapi kepastian-kepastian.
Kritik pedas bahkan nyaris kecaman dari masyarakat merupakan bagian rasa memiliki, hakikat praksis pendidikan yang melibatkan semua penghuni negeri ini tanpa kecuali. Dengan tetap menempatkan pluralitas Indonesia dalam segala hal, sebaiknya masukan, kritik, bahkan kecaman bisa disambut dengan sikap positif, dan niscaya itu produktif. Dan hentikan sikap ”pokoknya” jalan terus!
TAJUK RENCANA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar