Tamrin Amal Tomagola
Tepuk tangan anggota Komisi III DPR 2009-2014 pada ujung pembeberan tiap butir kasus Bibit-Chandra versi pimpinan Polri dalam rapat dengar pendapat, Kamis (5/11), yang diikuti foto bersama, bukan saja memunculkan tanda tanya di mata publik, tetapi juga membuat hati rakyat dan nurani reformasi teriris.
Betapa tidak. Publik saat ini sedang menunggu, dengan harap-harap cemas, penampilan dan kinerja DPR 2009-2014 yang lebih memihak kepada rakyat dan nurani reformasi. Namun, apa lacur. Layar kaca menyajikan adegan-adegan yang kian mengecutkan hati rakyat. Tepuk tangan dan foto bersama itu kian memiriskan nurani reformasi bila diingat, 70 persen lembaga parlemen kali ini diisi politisi muda, sebagian justru mantan demonstran pejuang reformasi.
Sekitar 10 tahun lalu, kita bergandeng tangan, merapatkan barisan di aspal-aspal panas Bumi Pertiwi, merontokkan mata rantai kesewenang-wenangan dan kezaliman dari benalu korupsi, kemiskinan, dan perusakan lingkungan. Tepuk tangan dan foto bersama dengan para pejabat yang diduga telah menistakan harga diri dan martabat lembaga negara ini tidak dapat ditafsirkan lain oleh Ibu Pertiwi, kecuali bahwa anak-anak reformasinya jelas dan nyata telah ”berdurhaka”. Sungguh tak dinyana, ”pendurhakaan” itu dilakukan dengan penuh sukacita diselingi salam komando di depan publik.
Polarisasi lembaga
Penegasan dan peneguhan dukungan kepada jajaran pimpinan Polri dalam menangani kasus Bibit-Chandra disampaikan dua tokoh ”mayoritas tunggal”, yaitu dari Partai Demokrat dan Partai Golkar. Penegasan kedua politisi itu di satu pihak menyatakan dukungan moral dan politik kepada Polri, sekaligus menolak kriminalisasi Polri oleh tsunami opini publik. Penegasan ini langsung memosisikan Komisi III DPR dalam satu kubu bersama Polri dan Kejaksaan Agung.
Kubu pertama ini, dapat dikategorikan sebagai kubu dari lembaga-lembaga yang masih melestarikan warisan tradisi koruptif dari rezim Orde Baru, berhadap secara diametral dengan kubu kedua yang terdiri dari tiga lembaga utama produk reformasi dalam bidang hukum yang amat dihormati, disegani, dan dibanggakan rakyat berkat rekam jejak kinerja profesional mereka yang bernurani, berintegritas tinggi, dan setia kepada konstitusi Ibu Pertiwi. Ketiga lembaga hukum dimaksud adalah Mahkamah Konstitusi, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan lembaga Peradilan Tipikor.
Polarisasi di antara kedua kubu yang masing-masing beranggotakan tiga lembaga negara itu tak pelak lagi berdampak pada munculnya polarisasi lanjutan dalam masyarakat. Di satu pihak terbangun dukungan spontan masyarakat kepada kubu kedua—lembaga-lembaga produk Reformasi—yang terus deras bereskalasi dari menit ke menit, baik di dunia nyata maupun di alam maya. Di lain pihak, terdeteksi rontoknya kepercayaan publik dalam kecepatan yang sama derasnya kepada kubu pertama yang dianggap menistakan harga diri dan martabat lembaga negara dengan terus melanggengkan tradisi koruptif, warisan masa lampau yang memalukan di lembaga-lembaga penegak hukum dan legislatif.
Solusi
Ulah anggota Komisi III DPR itu tentu saja bukan jenis upaya solusi yang pantas diteladani. Alih-alih menjernihkan persoalan dan mendinginkan suasana konfrontatif, ulah mereka justru kian memicu kontroversi lama dan baru. Produk pertemuan mereka sama sekali tidak menelurkan modal untuk melangkah maju, malah sebaliknya menjadi beban pemberat bagi negara dan masyarakat.
Mengingat tingkat eskalasi polarisasi baik yang terjadi dalam ranah lembaga negara maupun dalam ranah masyarakat kian memanas dan meluas, maka diperlukan (a) suatu pembacaan peta perkembangan situasi yang cepat dan cermat, dan (b) berdasarkan pembacaan yang cermat itu, segera dirumuskan solusi trengginas yang tepat terukur.
Bila cepat dicermati, ada tiga dinamika yang sedang berproses dalam tiga koridor berbeda. Pertama, dinamika eskalasi opini publik yang terus menderas dengan dukungan penuh pers yang bernurani. Dinamika dalam koridor ini di satu pihak mengakumulasikan dukungan publik kepada lembaga produk reformasi dan di lain pihak merontokkan kepercayaan kepada lembaga-lembaga koruptif.
Kedua, dinamika proses-proses dalam koridor hukum. Dalam perkembangan terakhir, baik Polri maupun Kejaksaan Agung tetap bersiteguh untuk melanjutkan proses perkara Bibit-Chandra sampai ke pengadilan. Pada saat sama, Tim Independen Verifikasi Fakta dan Proses Perkara Bibit-Chandra bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mendayung di antara karang dengan di satu pihak berusaha menjadi lawan tanding lembaga penegak hukum agar yang disebut terakhir benar- benar mengantongi bukti dan saksi yang kredibel dan sahih di pengadilan nanti. Di lain pihak, Tim 8 berusaha meredam gejolak kemarahan publik dan mengembalikan kepercayaan rakyat kepada lembaga-lembaga penegak hukum dengan mengeluarkan berbagai rekomendasi sela yang senada dengan tuntutan opini publik.
Ketiga, dinamika proses-proses politik yang terjadi dalam koridor-koridor politik antara sejumlah partai politik dan dalam ruang-ruang rapat parlemen. Para pemain politik berusaha menduga-duga arah bergulirnya bola-bola politik dan siapa saja yang akan diseret oleh bola-bola panas manuver politik.
Pihak mana pun sebaiknya tidak membenturkan satu dengan yang lain apalagi mencampuri ketiga proses dalam tiga koridor berbeda itu. Biarkan masing-masing berproses dengan irama sendiri-sendiri berdasarkan rambu-rambu masing-masing koridor. Pada saat sama, tiga solusi bisa ditawarkan, yaitu (1) percepat penerusan proses perkara Bibit-Chandra untuk segera dilimpahkan ke pengadilan, (2) eskalikasikan momentum jihad ”ganyang mafia” secara sungguh-sungguh, dan (3) rumuskan cetak biru reformasi total dengan ”turun-mesin” dua lembaga penegak hukum dan lembaga legislatif.
Tamrin Amal Tomagola Sosiolog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar