15/11/09

Biarkan Nurani Bicara

WIRANTO

Kita sedih dan prihatin menyaksikan demonstrasi para penegak hukum. Mereka tanpa canggung dan terbuka berpolemik mengungkap kebenaran dengan versi masing-masing.

Pada masa lalu kebenaran seperti yang mereka pertontonkan akan diikuti masyarakat secara pasif. Namun, keadaan kini sudah berbeda. Orang sudah semakin cerdas dan amat paham apabila hak-hak mereka dirampas. Apalagi kasus yang terjadi menyangkut rasa keadilan yang memorakporandakan harapan begitu besar tentang masa depan kehidupan bangsa yang lebih membahagiakan melalui pemerintahan yang baru dibentuk.

Memang tidak ada kebenaran yang mutlak. Benar bagi satu pihak belum tentu benar bagi pihak lain. Namun, pada saat kita menggunakan acuan hukum positif yang merupakan kesepakatan kolektif bangsa, seyogianya semuanya mengakui kebenarannya.

Celakanya, penjaga hukum positif yang seharusnya memprakarsai, mendorong, mengawal, dan mengajak masyarakatnya untuk taat hukum sedang asyik bermain-main dengan kewenangannya itu.

Maka, keadaan menjadi kacau. Salah dan benar menjadi absurd. Masyarakat yang kehilangan pegangan terlihat geram, kesal, dan telah menunjukkan perasaannya dengan berbagai cara.

Akibatnya mulai terasa. Kebersamaan kita sebagai bangsa yang dengan susah payah dibangun mulai terusik. Bangsa yang sementara ini membutuhkan kebersamaan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional justru dibawa ke semangat lain yang menghabiskan energi kita tanpa makna.

Pudarnya kebersamaan

Kita harus menyadari bahwa dalam sejarah kebangsaan kita sejak zaman dahulu kala, kehancuran negara-negara di Nusantara diawali dengan memudarnya kebersamaan sebagai satu bangsa. Kebersamaan itu lebih banyak dirusak oleh perilaku korup dan tamak akan kekuasaan dari para petinggi negaranya.

Lihat saja, kehancuran kerajaan besar seperti Sriwijaya, Majapahit, dan Mataram tidak terlepas dari kedua hal tersebut. Pengalaman pada zaman kemerdekaan juga hampir serupa. Pemerintahan silih berganti lebih disebabkan kedua hal tersebut.

Bangsa yang besar adalah bangsa yang pandai menghargai dan belajar dari sejarahnya untuk membangun peradaban yang lebih baik bagi kesejahteraan masyarakatnya. Bangsa yang besar memiliki kesadaran menggunakan sejarahnya untuk menghindari berulangnya kesalahan pada masa lalu. Sejarah adalah alat bagi bangsa ini untuk tidak jatuh pada lubang yang sama berulang kali.

Dengan menyimak perseteruan antara Polri dan KPK, bahkan sudah merembet ke institusi paling dominan di negeri ini (yakni lembaga eksekutif dan legislatif, lembaga negara lainnya, serta masyarakat luas), sejatinya bangsa ini sudah berada di pintu gerbang pengulangan sejarah pahit masa lalu.

Dipertaruhkan

Masa depan negeri ini sedang dipertaruhkan. Akankah sejarah masa lalu itu akan berulang kembali? Inikah saat negeri ini akan kembali kita hancurkan hanya oleh kekhilafan dan kebobrokan moral para petinggi negara ?Atau, dengan kecerdasan dan kearifan sebagai bangsa besar, kita mampu menyelesaikan masalah ini dengan baik?

Tanpa mengabaikan proses politik dan hukum yang sementara berkembang dalam penyelesaian perseteruan KPK vs Polri serta kasus Bank Century, marilah kita masuk pada dimensi yang berbeda.

Menurut buku yang disunting oleh Alexandra Barahona de Broto, Carmen Gonzales Enriques, dan Paloma Aguilar, The Politics Memory: Transitional Justice in Democratizing Societies, sukses demokratisasi sangat terkait dengan sukses atau gagalnya masyarakat memelihara ingatan mereka tentang masa lampau.

Jika ingatan masyarakat kuat, mereka akan bisa membedakan hal-hal baik dan buruk pada masa lampau.

Tidak hanya itu. Ternyata ingatan yang kuat itu masih perlu disokong oleh konsistensi dan keteguhan para pelaku demokrasi, terutama para pemimpinnya, dalam meyakini dan mengaplikasikan proses demokrasi itu. Dalam kaitan inilah ternyata kekuatan hati nurani memperoleh tempat yang khusus.

Hati nurani

Hati nuranilah yang membangunkan rakyat kecil menuntut hak-hak mereka. Hati nuranilah yang membakar para aktivis terus menyuarakan kepentingan rakyatnya. Hati nuranilah yang seharusnya membuat para wakil rakyat di lembaga legislatif memperjuangkan kebenaran bagi rakyat yang ia wakili. Hati nuranilah yang menuntun pejabat eksekutif membuat kebijakan yang adil dan prorakyat.

Pada akhirnya segala permasalahan bangsa yang sekarang dan nanti akan kita hadapi hanya dapat diselesaikan dengan baik kalau kita mulai mau dan berani mengedepankan hati nurani kita. Hati nurani tak bisa berbohong dan dibohongi. Hati nurani adalah kompas kebenaran yang akan membawa siapa pun berada di jalan Tuhan.

Seseorang yang mengingkari hati nuraninya akan terus tersiksa batin karena menyimpan borok kebohongan di hatinya, yang pasti akan terungkap pada saatnya.

Perseteruan KPK dan Polri maupun kasus Bank Century akan menjadi sederhana dan mudah diselesaikan apabila siapa pun, lembaga apa pun yang terkait, mau mengikutsertakan hati nuraninya untuk mendapatkan kebenaran.

Sebaliknya, apabila hati nurani diabaikan (yang berarti kejujuran terpinggirkan dan kebohongan masih terus dikedepankan), kita akan menjadi bangsa yang merugi karena tidak belajar dari sejarah dan berulang kali membuat kesalahan yang sama.

Maka biarkan nurani bicara.

Wiranto Purnawirawan TNI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar