Ulil Abshar Abdalla
SAYA meletakkan
Islam pertama-tama sebagai sebuah “organisme” yang hidup; sebuah agama yang
berkembang sesuai dengan denyut nadi perkembangan manusia. Islam bukan sebuah
monument mati yang dipahat pada abad ke-7 Masehi, lalu dianggap sebagai
“patung” indah yang tak boleh disentuh tangan sejarah.
Saya melihat,
kecenderungan untuk “me-monumen-kan” Islam amat menonjol saat ini. Sudah
saatnya suara lantang dikemukakan untuk manandingi kecenderungan ini.
Jalan
satu-satunya menuju kemajuan Islam adalah dengan mempersoalkan cara kita
menafsirkan agama ini. Untuk menuju ke arah itu, kita memerlukan beberapa hal.
Pertama,
penafsiran Islam yang non-literal, substansial, kontekstual, dan sesuai dengan
denyut nadi peradaban manusia yang sedang dan terus berubah.
Kedua,
penafsiran Islam yang dapat memisahkan mana unsure-unsur di dalamnya yang
merupakan kreasi budaya setempat, dan mana yang merupakan nilai fundamental.
Kita harus bisa membedakan mana ajaran dalam Islam yang merupakan pengaruh
kultur Arab dan mana yang tidak.
Islam itu
kontekstual, dalam pengertian, nilai-nilainya yang universal harus
diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks Arab, Melayu, Asia
Tengah, dan seterusnya. Tetapi, bentuk-bentuk Islam yang kontekstual itu hanya
ekspresi budaya dan kita tidak diwajibkan mengikutinya.
Aspek-aspek
Islam yang merupakan cerminan kebudayaan Arab, misalnya, tidak usah diikuti.
Contoh, soal jilbab, potong tangan, qishash, rajam, jenggot, jubah,
tidak wajib diikuti, karena itu hanya ekspresi lokal particular Islam di Arab.
Yang harus
diikuti adalah nilai-nilai universal yang melandasi praktik-praktik itu. Jilbab
intinya adalah mengenakan pakaian yang memenuhi standar kepantasan umum (public
decency). Kepantasan umum tentu sifatnya fleksibel dan berkembang sesuai
perkembangan kebudayaan manusia. Begitu seterusnya.
Ketiga, Umat Islam
hendaknya tidak memandang dirinya sebagai “masyarakat” atau “umat” yang
terpisah dari golongan yang lain. Umat manusia adalah keluarga universal yang
dipersatukan oleh kemanusiaan itu sendiri. Kemanusiaan adalah nilai yang
sejalan, bukan berlawanan dengan Islam.
Larangan kawin
beda agama, dalam hal ini antara perempuan Islam dengan lelaki non-Islam, sudah
tidak relevan lagi. Quran sendiri tidak pernah dengan tegas melarang itu,
karena Quran menganut pandangan universal tentang martabat manusia yang sederajat,
tanpa melihat perbedaan agama. Segala produk hokum Islam klasik yang membedakan
antara kedudukan orang Islam dan non-Islam harus diamandemen berdasarkan
prinsip kesederajatan universal dalam tataran kemanusiaan ini.
Keempat, kita
membutuhkan struktur sosial yang dengan jelas memisahkan mana kekuasaan politik
dan mana kekuasaan agama. Agama adalah urusan pribadi; sementara pengaturan
kehidupan public adalah sepenuhnya hasil kesepakatan masyarakat melalui
prosedur demokrasi. Nilai-nilai universal agama tentu diharapkan ikut membentuk
nilai-nilai publik, tetapi doktrin dan praktik peribadatan agama yang sifatnya
particular adalah urusan masing-masing agama.
Menurut saya,
tidak ada yang disebut “hukum Tuhan” dalam pengertian seperti dipahami
kebanyakan orang Islam. Misalnya, hokum Tuhan tentang pencurian, jual beli,
pernikahan, pemerintahan, dan sebagainya. Yang ada adalah prinsip-prinsip umum
yang universal yang dalam tradisi pengkajian hukum Islam klasik disebut sebagai maqashidusy
syari’ah atau tujuan umum syariat Islam.
Nilai-nilai itu
adalah perlindungan atas kebebasan beragama, akal, kepemilikan, keluarga /
keturunan, dan kehormatan (honor). Bagaimana nilai-nilai itu
diterjemahkan dalam konteks sejarah dan sosial tertentu, itu adalah urusan
manusia Muslim sendiri.
***
BAGAIMANA
meletakkan kedudukan Rasul Muhammad SAW dalam konteks pemikiran semacam ini?
Menurut saya, Rasul Muhammad SAW adalah tokoh histories yang harus dikaji
dengan kritis, (sehingga tidak hanya menjadi mitos yang dikagumi saja, tanpa memandang
aspek-aspek beliau sebagai manusia yang juga banyak kekurangannya), sekaligus
panutan yang harus diikuti (qudwah hasanah).
Bagaimana
mengikuti Rasul? Di sini, saya mempunyai perbedaan dengan pandangan dominan.
Dalam usaha menerjemahkan Islam dalam konteks sosial-politik di Madinah, Rasul
tentu menghadapi banyak keterbatasan. Rasul memang berhasil menerjemahkan
cita-cita sosial dan spiritual Islam di Madinah, tetapi Islam sebagaimana
diwujudkan di sana adalah Islam historis, partikular, dan kontekstual.
Kita tidak
diwajibkan mengikuti Rasul secara harfiah, sebab apa yang dilakukan olehnya di
Madinah adalah upaya menegosiasikan antara nilai-nilai universal Islam dengan
situasi sosial di sana dengan seluruh kendala yang ada. Islam di Madinah adalah
hasil suatu trade-off antara “yang universal” dengan “yang
partikular”.
Umat Islam
harus ber-ijtihad mencari formula baru dalam menerjemahkan
nilai-nilai itu dalam konteks kehidupan mereka sendiri. “Islam”-nya Rasul di
Madinah adalah salah satu kemungkinan menerjemahkan Islam yang universal di
muka Bumi; ada kemungkinan lain untuk menerjemahkan Islam dengan cara lain,
dalam konteks yang lain pula. Islam di Madinah adalah one among others,
salah satu jenis Islam yang hadir di muka Bumi.
Oleh karena
itu, umat Islam tidak sebaiknya mandek dengan melihat contoh di Madinah saja,
sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan. Bagi
saya, wahyu tidak berhenti pada zaman Nabi; wahyu terus bekerja dan turun
kepada manusia. Wahyu verbal memang telah selesai dalam Quran, tetapi wahyu
nonverbal dalam bentuk ijtihad akal manusia terus berlangsung.
Temuan-temuan
besar dalam sejarah manusia sebagai bagian dari usaha menuju perbaikan mutu
kehidupan adalah wahyu Tuhan pula, karena temuan-temuan itu dilahirkan oleh
akal manusia yang merupakan anugrah Tuhan. Karena itu, seluruh karya cipta
manusia, tidak peduli agamanya, adalah milik orang Islam juga; tidak ada
gunanya orang Islam membuat tembok ketat antara peradaban Islam dan peradaban
Barat: yang satu dianggap unggul, yang lain dianggap rendah. Sebab, setiap
peradaban adalah hasil karya manusia, dan karena itu milik semua bangsa,
termasuk milik orang Islam.
Umat Islam
harus mengembangkan suatu pemahaman bahwa suatu penafsiran Islam oleh golongan
tertentu bukanlah paling benar dan mutlak, karena itu harus ada kesediaan untuk
menerima dari semua sumber kebenaran, termasuk yang datangnya dari luar Islam.
Setiap golongan hendaknya menghargai hak golongan lain untuk menafsirkan Islam
berdasarkan sudut pandangnya sendiri, yang harus di-“lawan” adalah setiap usaha
untuk memutlakkan pandangan keagamaan tertentu.
Saya
berpandangan lebih jauh lagi, setiap nilai kebaikan, di mana pun tempatnya,
sejatinya adalah nilai Islam juga. Islam — seperti pernah dikemukakan Cak Nur
dan sejumlah pemikir lain — adalah “nilai generis” yang bisa ada di Kristen,
Hindu, Buddha, Konghucu, Yahudi, Taoisme, agama dan kepercayaan lokal, dan
sebagainya. Bisa jadi, kebenaran “Islam” bisa ada dalam filsafat Marxisme.
Saya tidak lagi
memandang bentuk, tetapi isi. Keyakinan dan praktik ke-Islam-an yang dianut
oleh orang-orang yang menamakan diri sebagai umat Islam hanyalah “baju” dan
forma; bukan itu yang penting. Yang pokok adalah nilai yang tersembunyi di
baliknya.
Amat konyol
umat manusia bertikai karena perbedaan “baju” yang dipakai, sementara mereka
lupa, inti “memakai baju” adalah menjaga martabat manusia sebagai makhluk
berbudaya. Semua agama adalah baju, sarana, wasilah, alat untuk
menuju tujuan pokok: penyerahan diri kepada Yang Maha Benar.
Ada periode di
mana umat beragama menganggap, “baju” bersifat mutlak dan segalanya, lalu
pertengkaran muncul karena perbedaan baju itu. Tetapi, pertengkaran semacam itu
tiak layak lagi untuk dilanggengkan kini.
***
MUSUH semua
agama adalah “ketidakadilan”. Nilai yang diutamakan Islam adalah keadilan. Misi
Islam yang saya anggap paling penting sekarang adalah bagaimana menegakkan
keadilan di muka bumi, terutama di bidang politik dan ekonomi (tentu juga di
bidang budaya), bukan menegakkan jilbab, mengurung kembali perempuan,
memelihara jenggot, memendekkan ujung celana, dan tetek bengek masalah yang
menurut saya amat bersifat furu’iyyah. Keadilan itu tidak bisa
hanya dikhotbahkan, tetapi harus diwujudkan dalam bentuk system dan aturan
main, undang-undang, dan sebagainya, dan diwujudkan dalam perbuatan.
Upaya
menegakkan syariat Islam, bagi saya, adalah wujud ketidakberdayaan umat Islam
dalam menghadapi masalah yang mengimpit mereka dan menyelesaikannya dengan cara
rasional. Umat Islam menganggap, semua masalah akan selesai dengan sendirinya
manakala syariat Islam, dalam penafsirannya yang kolot dan dogmatis, diterapkan
di muka bumi.
Masalah
kemanusiaan tidak bisa diselesaikan dengan semata-mata merujuk kepada “hukum
Tuhan” (sekali lagi: saya tidak percaya adanya “hukum Tuhan”; kami hanya
percaya pada nilai-nilai ketuhanan yang universal), tetapi harus merujuk pada
hukum-hukum atau sunnah yang telah diletakkan Allah sendiri
dalam setiap bidang masalah. Bidang politik mengenal hukumnya sendiri, bidang
ekonomi mengenal hukumnya sendiri, bidang sosial mengenal hukumnya sendiri, dan
seterusnya.
Kata Nabi,
konon, man aradad dunya fa’alihi bil ‘ilmi, wa man aradad
akhirata fa’alihi bil ‘ilmi; barang siapa hendak mengatasi masalah
keduniaan, hendaknya memakai ilmu, begitu juga yang hendak mencapai kebahagiaan
di dunia “nanti”, juga harus pakai ilmu. Setiap bidang ada aturan, dan tidak
bisa semena-mena merujuk kepada hukum Tuhan sebelum mengkajinya lebih dulu.
Setiap ilmu pada masing-masing bidang juga terus berkembang, sesuai
perkembangan tingkat kedewasaan manusia. Sunnah Tuhan, dengan
demikian, juga ikut berkembang.
Sudah tentu
hukum-hukum yang mengatur masing-masing bidang kehidupan itu harus tunduk
kepada nilai primer, yaitu keadilan. Karena itu, syariat Islam, hanya merupakan
sehimpunan nilai-nilai pokok yang sifatnya abstrak dan universal; bagaimana
nilai-nilai itu menjadi nyata dan dapat memenuhi kebutuhan untuk menangani
suatu masalah dalam periode tertentu, sepenuhnya diserahkan kepada ijtihad manusia
itu sendiri.
Pandangan bahwa
syariat adalah suatu “paket lengkap” yang sudah jadi, suatu resep dari Tuhan
untuk menyelesaikan masalah di segala zaman, adalah wujud ketidaktahuan dan
ketidakmampuan memahami sunnah Tuhan itu sendiri. Mengajukan
syariat Islam sebagai solusi atas semua masalah adalah sebentuk kemalasan
berpikir, atau lebih parah lagi, merupakan cara untuk lari dari masalah;
sebentuk eskapisme dengan memakai alasan hukum Tuhan.
Eskapisme
inilah yang menjadi sumber kemunduran umat Islam di mana-mana. Saya tidak bisa
menerima “kemalasan” semacam ini, apalagi kalau ditutup-tutupi dengan alasan,
itu semua demi menegakkan hukum Tuhan. Jangan dilupakan: tak ada hukum Tuhan,
yang ada adalah sunnah Tuhan serta nilai-nilai universal yang
dimiliki semua umat manusia.
Musuh Islam
paling berbahaya sekarang ini adalah dogmatisme, sejenis keyakinan yang
tertutup bahwal suatu doktrin tertentu merupakan obat mujarab atas semua
masalah, dan mengabaikan bahwa kehidupan manusia terus berkembang, dan
perkembangan peradaban manusia dari dulu hingga sekarang adalah hasil usaha
bersama, akumulasi pencapaian yang disangga semua bangsa.
Setiap doktrin
yang hendak membangun tembok antara “kami” dengan “mereka”, antara hizbul
Lah (golongan Allah) dan hizbusy syaithan (golongan
setan) dengan penafsiran yang sempit atas dua kata itu, antara “Barat” dan
“Islam”; doktrin demikian adalah penyakit sosial yang akan menghancurkan nilai
dasar Islam itu sendiri, nilai tentang kesederajatan umat manusia, nilai
tentang manusia sebagai warga dunia yang satu.
Pemisah antara
“kami” dan “mereka” sebagai akar pokok dogmatisme, mengingkari kenyataan bahwa
kebenaran bisa dipelajari di mana-mana, dalam lingkungan yang disebut “kami”
itu, tetapi juga bisa di lingkungan “mereka”. Saya berpandangan, ilmu Tuhan
lebih besar dan lebih luas dari yang semata-mata tertera di antara
lembaran-lembaran Quran.
Ilmu Tuhan
adalah penjumlahan dari seluruh kebenaran yang tertera dalam setiap lembaran
“Kitab Suci” atau “Kitab-Tak-Suci”, lembaran-lembaran pengetahuan yang
dihasilkan akal manusia, serta kebenaran yang belum sempat terkatakan, apalagi
tertera dalam suatu kitab apa pun. Kebenaran Tuhan, dengan demikian, lebih
besar dari Islam itu sendiri sebagai agama yang dipeluk oleh entitas sosial
yang bernama umat Islam. Kebenaran Tuhan lebih besar dari Quran, Hadis dan
seluruh korpus kitab tafsir yang dihasilkan umat Islam sepanjang sejarah.
Oleh karena
itu, Islam sebetulnya lebih tepat disebut sebagai sebuah “proses” yang tak
pernah selesai, ketimbang sebuah “lembaga agama” yang sudah mati, baku, beku, jumud,
dan mengungkung kebebasan. Ayat Innaddina ‘indal Lahil Islam (QS
3 : 19), lebih tepat diterjemahkan sebagai , “Sesungguhnya jalan religiusitas
yang benar adalah proses yang-tak-pernah selesai menuju ketundukan
(kepada Yang Maha Benar).”
Dengan tanpa
rasa sungkan dan kikuk, saya mengatakan, semua agama adalah tepat berada pada
jalan seperti itu, jalan panjang menuju Yang Mahabenar. Semua agama, dengan
demikian, adalah benar, dengan variasi, tingkat dan kadar kedalaman yang
berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam
satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran
yang tak pernah ada ujungnya.
Maka, fastabiqul
khairat, kata Quran (QS 2 : 148); berlomba-lombalah dalam menghayati jalan
religiusitas itu.
Syarat dasar
memahami Islam yang tepat adalah dengan tetap mengingat, apa pun penafsiran
yang kita bubuhkan atas agama itu, patokan utama yang harus menjadi batu uji
adalah maslahat manusia itu sendiri.
Agama adalah
suatu kebaikan buat umat manusia; dan karena manusia adalah organisme yang
terus berkembang, baik secara kuantitatif dan kualitatif, maka agama juga harus
bisa mengembangkan diri sesuai kebutuhan manusia itu sendiri. Yang ada adalah
hukum manusia, bukan hukum Tuhan, karena manusia stake holder yang
berkepentingan dalam semua perbincangan soal agama ini.
Jika Islam
hendak diseret kepada suatu penafsiran yang justru berlawanan dengan maslahat manusia
itu sendiri, atau malah menindas kemanusiaan itu, maka Islam yang semacam ini
adalah agama fosil yang tak lagi berguna buat umat manusia.
Mari kita cari
Islam yang lebih segar, lebih cerah, lebih memenuhi maslahat manusia.
Mari kita tinggalkan Islam yang beku, yang menjadi sarang dogmatisme yang menindas maslahat manusia
itu sendiri.
ULIL
ABSHAR-ABDALLA; Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL), Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar