20/09/12

Maskin, Ketimpangan, dan Globalisasi

Arianto A Patunru
19 September 2012

Eric Maskin, pemenang Nobel Ekonomi 2007, beberapa waktu lalu berada di Jakarta dalam acara Human Development and Capability Association.

Presentasinya mengenai mengapa pasar global belum mampu mengurangi ketimpangan di negara miskin. Pertumbuhan ekonomi di dunia telah mengangkat banyak penduduk bumi dari kemiskinan, tetapi ketimpangan ternyata justru bertambah.

Hal ini tampak bertentangan dengan prediksi ekonom Inggris klasik, David Ricardo, dua abad lalu. Teori keunggulan komparatif mengatakan, jika ada dua negara dengan tingkat keterampilan pekerja yang berbeda saling berdagang, pola perdagangannya akan mencerminkan perbedaan tersebut.

Jika negara pertama memiliki banyak pekerja dengan tingkat keterampilan tinggi (sebutlah tingkat A) dan negara kedua didominasi pekerja berketerampilan rendah (D), secara alamiah perdagangan terjadi di mana negara pertama akan berspesialisasi pada produk yang menggunakan pekerja terampil dan negara kedua pada produk yang relatif tak membutuhkan tenaga kerja terampil. Tiap negara mendapatkan kedua barang dengan lebih murah. Total kesejahteraan sosial akan lebih tinggi dibandingkan jika masing-masing memproduksi kedua barang tanpa perdagangan.

Salah satu implikasinya, seperti yang dijelaskan dalam model Heckscher-Ohlin, ketimpangan di negara miskin (baca: negara kedua) berkurang karena permintaan akan pekerja kurang terampil di negara tersebut meningkat. Upahnya pun meningkat. Hal sebaliknya terjadi pada pekerja terampil di negara tersebut. Teori ini sukses menjelaskan fenomena perdagangan dunia paling tidak sampai paruh kedua abad ke-19.

Namun, mengapa saat ini ketimpangan global tidak kunjung berkurang, bahkan di beberapa tempat justru meningkat? Dalam studinya bersama Michael Kremer, Maskin memodifikasi model Ricardo-Heckscher-Ohlin agar dapat mengakomodasi perkembangan perdagangan dewasa ini: maraknya jejaring produksi lintas negara, semakin beragamnya tingkat keterampilan, serta semakin kompleksnya pembagian tugas dalam rantai nilai.

Modifikasi mereka sederhana, tetapi implikasinya cukup signifikan. Alih-alih dua tipe, mereka membagi pekerja menjadi empat tipe keterampilan: A, B, C, dan D; dengan A paling terampil. Pekerja tipe A dan B tinggal di negara maju, tipe C dan D di negara berkembang. Didorong oleh ketiga fenomena perdagangan mutakhir di atas, pekerja tipe B dan C bergabung dan bekerja sama. Mereka menjadi penghubung antarnegara.

Implisit dalam model mereka, tipe A tidak ”bersedia” bergabung dengan B karena kualifikasi mereka terlalu tinggi untuk upah tipe B. Tipe B butuh tipe C untuk menjalankan jejaring mereka. Tipe C senang bergabung dengan tipe B karena upahnya tertarik ke atas. Namun, tipe D tidak mampu bergabung dengan tipe C karena keterampilan yang terbatas. Maka, globalisasi bisa membuat tipe D ketinggalan. Celakanya, di negara berkembang dan terutama negara miskin, tipe D-lah yang dominan. Ini menjelaskan kenapa ketimpangan belum berkurang pada era globalisasi.

Perbaiki Kualitas Pekerja

Bagaimana solusinya? Sebagian orang mungkin menyarankan menahan globalisasi demi melindungi tipe D di negara miskin. Argumennya: jika globalisasi ditutup, tipe C mau tak mau akan bekerja sama dengan tipe D. Maka kesejahteraan tipe D (yang mayoritas) akan terangkat.

Ini muskil. Pertama, menutup globalisasi berarti menghalangi kesempatan bagi tipe C (dan tipe B dari negara maju) mencapai skala yang menguntungkan kedua negara. Kedua, menahan globalisasi berarti menerima saja bahwa tipe D tidak akan pernah maju seperti tipe C. Ketiga, globalisasi sendiri niscaya tak akan bisa ditahan, kecuali dengan biaya yang sangat besar (misalnya hilangnya akses transportasi dan komunikasi yang mudah).

Sebaliknya, Maskin menegaskan, jika teorinya benar, langkah yang tepat bukan menghentikan globalisasi, melainkan memperbaiki kualitas pekerja tipe D agar mereka juga bisa menikmati globalisasi: bergabung dengan B dan C serta menikmati manfaat perdagangan. Maskin menganjurkan investasi dalam SDM berupa pendidikan dan pelatihan.

Oleh siapa? Mungkin bukan oleh pengusaha/pemberi kerja (karena pelatihan butuh biaya, dan ketika keterampilan pekerja meningkat, upah pun meningkat, yang berarti beban tambahan bagi pengusaha). Juga bukan oleh pekerja sendiri (terlalu miskin untuk meningkatkan kualitas dengan cara swadaya). Karena itu, ada ruang bagi pemerintah, LSM, serta pihak swasta. Swasta juga dapat terlibat melalui mekanisme insentif yang pas (misalnya pengurangan pajak untuk jumlah tertentu pelatihan tenaga kerja).

Ada dua isu yang relevan untuk kita. Pertama, kita pun masih menyaksikan naiknya ketimpangan di Indonesia belakangan ini. Betul bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masih kuat, angka kemiskinan dan pengangguran terus menurun. Namun, ketimpangan meningkat bukan hanya dalam hal pendapatan, juga dalam dimensi non-pendapatan (ketimpangan horizontal). Sebutlah seperti akses pada pendidikan dasar, kesehatan dasar, sanitasi layak, dan air bersih.

Kedua, selain investasi dalam SDM, pasar kerja juga berperan. Tipe D didominasi oleh pekerja informal yang mungkin sulit menembus pasar formal, seperti halnya tipe C. Dengan pasar kerja yang terlalu kaku, pemberi kerja tak punya insentif mempekerjakan lebih banyak buruh lewat sistem formal. Mereka lebih memilih subkontrak atau tenaga alih daya. Akibatnya, kepastian kerja bagi tipe D makin rendah.

Lebih parah lagi jika tipe C justru menghalangi akses tipe D untuk naik. Ini bisa terjadi secara tak sengaja ketika pekerja tipe C memperjuangkan nasib mereka sendiri, tetapi justru membuat tipe D makin terpinggirkan.

Arianto A Patunru, Fellow Australian National University

Tidak ada komentar:

Posting Komentar