22/05/14

Risiko Demokrasi

Ignas Kleden

DALAM penyelenggaraan demokrasi di Indonesia sering terdengar kritik tentang terbatasnya realisasi demokrasi hanya pada tingkat prosedural saja. Demokrasi diwujudkan hanya melalui pembentukan lembaga-lembaga dan pelaksanaan prosedur dan tata cara, tetapi belum memperlihatkan hasil yang dijanjikan olehnya sebagai sistem politik. Ada Dewan Perwakilan Rakyat, tetapi para anggotanya lebih sibuk dengan dirinya sendiri dan tidak banyak berperan sebagai wakil yang menyuarakan dan memperjuangkan kepentingan rakyat yang mereka wakili dan yang telah memilih mereka karena berbagai janji dan impian masa depan yang ditawarkan.

Ada pemilihan umum, tetapi hasilnya masih sering dipertanyakan apakah hasil itu benar-benar menunjukkan suara rakyat, atau menjadi gema gencarnya serangan fajar, atau cerminan disiplin penghitungan suara yang mengundang pertanyaan dan keraguan. Demikian pula ada lembaga peradilan, tetapi pencari keadilan masih kebingungan, ke mana mereka mencari keadilan dan dapat menemukannya. Ada pemerintah dengan berbagai kementerian, tetapi cukup banyak keluarga yang tetap meringkuk di bawah garis kemiskinan, dengan kondisi yang tak banyak berubah dari rezim pemerintahan yang satu ke rezim yang lain.

21/05/14

Presiden Putih

Acep Iwan Saidi

POLITIK kita kini cenderung menjadi soal penampakan. Dengan hal itu, politik menjelma ruang yang sarat tanda. Namun, tanda yang diproduksi bukan dalam pengertian umum semiotika, yakni sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain, melainkan justru untuk menyembunyikannya.

Berbagai tanda direka untuk membelokkan realitas: yang rendah divisualkan tinggi, yang kotor ditampakkan bersih, yang minimal disulap maksimal, dan seterusnya. Salah satu tanda yang direka itu adalah warna baju yang dipakai para politisi, khususnya yang mencalonkan diri menjadi penguasa, mulai dari kepala daerah hingga presiden. Warna baju yang dimaksud adalah putih. Ingatlah, misalnya, saat Pemilu Legislatif  9 April 2014, semua calon presiden memakai baju putih ke tempat pemungutan suara dan saat pendeklarasian capres-cawapres. Tentu pilihan ini tidak tanpa alasan. Pakaian adalah pesan (Nordholt, 1997). Di situ warna adalah makna.

Simbolisme Islam dan Pilpres

Azyumardi Azra

MENONTON dari layar kaca, deklarasi dua pasangan capres-cawapres Joko Widodo-M Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, 19 Mei, saya menyaksikan dua kontras yang tampaknya bakal mewarnai tidak hanya rumor, layanan pesan singkat (SMS) gelap, dan isu serta tema kampanye kedua pasangan dengan para pendukungnya, tetapi mungkin juga motif dalam pencoblosan kertas suara pada 9 Juli 2014. Supaya tidak terjadi kekagetan atau bahkan konflik di kalangan masyarakat, perlu antisipasi seperlunya.

Dalam pengamatan saya, suasana deklarasi pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) kelihatan lebih rileks, mirip ”pesta rakyat” yang nyaris tanpa protokoler dengan warna-warni pakaian. Sebaliknya, deklarasi pasangan Prabowo-Hatta terlihat lebih rapi, dengan tempat duduk yang sudah tertata dengan nama parpol pendukung dengan dominasi pakaian warna putih.

12/05/14

Bangkitnya Kapitalisme Negara

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

PENGHITUNGAN  suara Pemilu Legislatif 2014 memang belum usai. Akan tetapi, dari berbagai hitung cepat dan berbagai pertemuan politik yang mulai marak sepekan terakhir, banyak yang memprediksi kontestan Pilpres 2014 akan mengerucut ke tiga partai dengan jumlah suara paling signifikan: PDI-P, Golkar, dan Gerindra.

Beberapa pembicaraan soal koalisi sudah mengerucut pada capres PDI-P, Joko Widodo (Jokowi), dan capres Gerindra, Prabowo Subianto. Dua hal menarik dari peta ini. Pertama, menguatnya retorika nasionalisme dengan berbagai ekspresi politik. Retorika nasionalis ini dapat dilacak pada jargon ”Indonesia Hebat” ala PDI-P dan ”Ekonomi Kerakyatan” yang dibawa Prabowo.

10/05/14

Revolusi Mental

Joko Widodo 

INDONESIA saat ini menghadapi suatu paradoks pelik yang menuntut jawaban dari para pemimpin nasional. Setelah 16 tahun melaksanakan reformasi, kenapa masyarakat kita bertambah resah dan bukannya tambah bahagia, atau dalam istilah anak muda sekarang semakin galau?

Dipimpin bergantian oleh empat presiden antara 1998 dan 2014, mulai dari BJ Habibie, KH Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, hingga Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia telah mencatat sejumlah kemajuan di bidang ekonomi dan politik. Mereka memimpin di bawah bendera reformasi yang didukung oleh pemerintahan yang dipilih rakyat melalui proses yang demokratis.

Urbanisasi di Indonesia

Saratri Wilonoyudho

DUA hari berturut-turut (15 dan 16 April) Kompas menyajikan dua tema menarik tentang pertumbuhan kota di Jawa yang mengarah kepada megapolitan, seperti Jabodetabekjur, Bandung Raya, Kedung Sepur, dan Gerbangkertasusila. Megapolitan yang membentang dari arah barat sampai timur diperkirakan akan ”menyatu” sehingga Jawa akan menjadi pulau kota. Kecenderungan serupa juga terjadi di seputar Kota Medan, Palembang, Makassar, dan sebagainya.

Data Badan Pusat Statistik (1995 dan 2005) menunjukkan, proporsi penduduk perkotaan di Indonesia makin besar, 22,3 persen pada 1980 menjadi 30,9 persen pada 1990 dan 43,11 persen pada 2005. Yang menjadi masalah, urbanisasi ini akan menimbulkan berbagai efek negatif, seperti terkikisnya lahan- lahan subur di sekitar kota besar (spread effect), dan permasalahan dalam kota, seperti kemacetan lalu lintas, degradasi lingkungan, sanitasi, dan banjir.

Suara Politik Lansia

Lilis Heri Mis Cicih

SUARA politik lansia jangan disalahartikan sebagai lansia yang memaksa jadi elite politik. Juga bukan lansia sebagai obyek politik. Sebaliknya, suara politik lansia seharusnya dipandang sebagai dukungan dari para lansia dan menjadikan lansia sebagai aset bangsa demi masyarakat yang sejahtera. Namun, bagaimana supaya penduduk lansia bisa menyumbangkan suaranya dengan baik? Tentunya mereka harus punya kualitas yang baik. Jika tidak, suara politik mereka akan hilang percuma. Pengalaman pemilu legislatif lalu, beberapa kasus penduduk lansia mengalami kesalahan pengisian formulir atau karena ketidaktahuan mereka sehingga mengisi asal saja.

Memang secara umur mereka umumnya sudah mengalami penurunan berbagai kondisi tubuh. Namun, kecepatan penurunan tersebut sebenarnya bisa dicegah jika para elite politik sudah punya wawasan kelanjutusiaan sehingga dapat melakukan investasi sumber daya manusia dari sekarang. Jika para elite politik jeli, seharusnya dapat memanfaatkan potensi mereka karena penduduk lansia cenderung semakin meningkat jumlahnya di masa depan. Tahun 2014 ini jumlahnya 20,793 juta dan pada 2019 akan mencapai 25,901,9 juta. Suatu jumlah yang tidak bisa diabaikan dan dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa.

Uang dan Sunyinya Suara Agama

Paulinus Yan Olla MSF

PEMILU legislatif baru saja berlalu. Euforia pesta demokrasi berubah menjadi kabung nasional para caleg gagal.

Janji-janji pemilu dan rezeki musiman yang ditaburkan para caleg dan dinikmati sebagian besar pemilik suara berubah menjadi petaka. Yang dihasilkan hanya caleg stres dan kepentingan umum yang terancam terabaikan oleh bayang-bayang politik uang.

Jika pemilu merupakan partisipasi minimal masyarakat dalam politik untuk merajut masa depan sebuah bangsa, kiblatnya seharusnya terarah pada pertarungan program-program partai untuk melayani dan menyejahterakan masyarakat.

Penunggang Demokrasi

M Subhan SD

PENDAMBA demokrasi percaya popularitas dan figur akan linier dengan elektabilitas. Maka, politisi seperti Nurul Arifin (Partai Golkar) atau Eva Kusuma Sundari (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan) bakal tak sulit mempertahankan kursinya di DPR. Nurul adalah mantan aktris top, penggerak kaum perempuan, dan punya rekam jejak cukup bagus selama berkiprah di DPR 2009-2014. Eva juga dikenal piawai berpolitik. Namun, argumen rasional itu tiba-tiba irasional. Keduanya tampaknya terpental dari Senayan. Sebaliknya banyak orang yang bermasalah yang terpilih.

Kekalahan Nurul, seperti diakuinya sendiri, karena persaingan tidak sehat. Meminjam Thomas Hobbes (1588-1679), para politikus menjadi serigala yang memakan temannya sendiri (homo homini lupus), bahkan di internal partai. ”Tidak ada etikanya lagi, saling makan,” kata Nurul. Popularitas dan figur rupanya tak cukup. Politik uang (money politics) menunggu momen penting untuk menyalip di tikungan terakhir. Uang tetap berkuasa dan menjadi segala-galanya.

09/05/14

Penanganan Kasus JIS

Irwanto

KASUS kekerasan seksual yang menimpa seorang siswa prasekolah Jakarta International School telah membangkitkan kemarahan publik. Kekerasan seksual terhadap anak atau siapa pun adalah bentuk kekerasan yang tidak dapat ditoleransi.

Presiden Barack Obama bahkan pernah menyatakan akan menyetujui hukuman mati untuk predator seksual yang menyasar anak-anak. Meski kasusnya mendidihkan emosi banyak pihak, orang ataupun pihak yang menangani kasus ini seharusnya bisa lebih bijaksana dan tahu batas-batas etik dan moral dalam tindakan mereka.

Koruptor Membunuh Negara

Jakob Sumardjo

KEDUDUKAN koruptor tidak berbeda dengan pemberontak negara, teroris, anarkis, yang akhirnya meniadakan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Jika setiap teroris dan pemberontak dapat dikenai hukuman mati, belum ada koruptor dihukum mati.

Korupsi menggerogoti negara seperti kanker menggerogoti tubuh manusia, sedangkan teroris dan pemberontak terang-terangan terlihat seperti virus memasuki tubuh manusia. Negara yang penuh koruptor akhirnya akan ambruk juga karena kehabisan daya hidup. Koruptor seperti kambing hitam dalam keluarga, yang menghabiskan seluruh harta benda keluarga hingga menyebabkan anak-anak, orangtua, dan keluarga dekatnya telantar. Keluarga menunggu kehancurannya.

Darah untuk Demokrasi

Max Regus

Di seputar dinamika politik 1998, Washington Post menulis laporan khusus. Salah satunya ditulis oleh Keith B Richburg berjudul ”Indonesia’s Unintentional Martyrs”.

Artikel itu dipublikasikan pada 8 Juni 1998. Semua artikel tersebut ditulis dengan rinci apa yang terjadi dengan para mahasiswa Universitas Trisakti, Elang Mulya Lesmana dan kawan-kawan, yang ditembak pada 12 Mei 1998.

Tidak terbantahkan, Tragedi Trisakti adalah titik balik keangkuhan politik rezim Orde Baru hingga keruntuhannya. Sejak itu, empat momentum pemilihan umum (pemilu), disertai kegairahan politik yang muncul, tidak pernah lepas dari tetesan darah para mahasiswa di Mei itu. Kita bisa merayakan demokrasi karena keberanian mereka me- ngorbankan hidup dan masa depan.

Agenda Otonomi Presiden RI

Irfan Ridwan Maksum

Dalam tahun 2014 ini bangsa Indonesia segera mempunyai presiden baru untuk periode 2014-2019. Siapa pun presidennya, kebijakan otonomi merupakan instrumen reformasi administrasi pemerintahannya agar mampu mewujudkan platformnya dengan baik.

Otonomi daerah dalam sebuah negara bangsa dapat digunakan sebagai salah satu strategi reformasi bangsa tersebut (Hoessein: 2008). Negara dapat semakin efektif meraih tujuan-tujuannya melalui penerapan otonomi daerah, terutama bagi negara dengan geografi luas, jumlah penduduk besar, dan amat heterogen, serta kompleks masalahnya.

Koalisi untuk Rakyat

Komaruddin Hidayat

Mengikuti pemberitaan politik akhir-akhir ini terdapat dua macam kebingungan dan kegaduhan yang terjadi pada level bawah dan level atas. Pada level bawah adalah para calon anggota legislatif (caleg) yang gagal lolos ke Senayan, baik karena dukungan rakyat yang tidak mencukupi maupun merasa suaranya hilang dicuri. Mereka merasa sudah berjuang habis-habisan, bahkan sudah mengeluarkan dana besar. Seorang caleg menyatakan dia mengeluarkan dana lebih dari Rp 4 miliar. Namun, tak ada jaminan melenggang ke Senayan. Fantastis dan sekaligus memilukan!

Pada level atas, para elite partai politik (parpol) sedang bingung memosisikan diri. Dengan modal dan saham kursi di Senayan yang dimiliki, mau dengan siapa dan ke mana berkoalisi. Mencari teman koalisi ini ternyata tidak cukup bermodal jumlah kursi semata, tetapi ada faktor lain seperti kecocokan ideologis, agenda besar yang diperjuangkan, serta kesesuaian chemistry antar-tokohnya.

03/05/14

Menemukan Api Semangat Pendidikan

Yudi Latif

PERINGATAN Hari Pendidikan Nasional dan kunjungan calon presiden Joko Widodo ke Museum Ki Hadjar Dewantara seperti napak tilas untuk menemukan kembali api semangat pendidikan yang hilang. Api semangat yang oleh konsensus nasional dipersonifikasikan dalam figur Ki Hadjar sehingga hari kelahirannya (2 Mei) dijadikan Hari Pendidikan Nasional.

Seluruh jejak langkah perjuangan Ki Hadjar mencerminkan empatinya kepada wong cilik, penghormatannya terhadap martabat dan kesederajatan manusia, serta kegigihannya memperjuangkan kedaulatan, kemandirian, dan kepribadian bangsa. Tak salah jika Bung Karno menyebutnya sebagai salah satu ”guru” terpentingnya.

Semiotika Buruh dan Barang

Acep Iwan Saidi

Buruh meniscayakan barang. Meskipun digantikan mesin, posisi buruh di hadapan barang tak pernah hilang. Mesin butuh dioperasikan. Buruh operatornya.

Secara metaforik, buruh  adalah mesin. Jam kerja adalah tombol untuk mengoperasikan buruh sebagai mesin. Bagi buruh, lonceng mulai kerja jadi semacam tanda masuk bagi ”transformasi diri menjadi mesin” hingga lonceng yang sama sebagai tanda waktu keluar berdentang.

Di dalam proses produksi barang dengan situasi tubuh seperti itu, buruh tak pernah mengetahui sejarah barang. Sebelum tercipta barang, buruh tidak hadir di dalam konsep dan perencanaan. Pun begitu setelah barang tercipta, buruh tidak ada di dalam distribusi. John A Walker (1989) menggambarkan bahwa posisi buruh berada pada tahap produksi kedua di antara desain prototipe dan barang desain.