30/09/13

“Profiling” dalam Pemberantasan Korupsi

Moh Rozaq Asyhari

Istilah profiling beberapa waktu terakhir kerap kita dengar dalam upaya penegakan hukum, khususnya dalam pemberantasan korupsi oleh KPK. Profiling membandingkan potensi pendapatan seseorang dengan harta yang dimilikinya. Ketidaksesuaian antara profil seorang tersangka korupsi dan harta atau aset yang dimiliki menjadi salah satu kunci investigasi.

Profiling pertama kali diterapkan di Indonesia pada Djoko Susilo untuk kasus korupsi simulator SIM di Korlantas Polri. Majelis Hakim pada kasus itu berpendapat harta kekayaan milik terdakwa pada 2003- 2010 yang berjumlah Rp 54,625 miliar tidak sesuai dengan penghasilan terdakwa sebagai anggota Polri. Harta kekayaan terdakwa patut diduga hasil tindak pidana korupsi.
Secara umum majelis hakim Tipikor sependapat dengan dakwaan yang dikemukakan jaksa KPK. Bahwa selama 2010-Maret 2012 Djoko menjabat sebagai Kapolres Bekasi, Kapolres Metro Jakarta Utara, Dirlantas Polda Metro Jaya, Wadirlantas Babinkam Polri, Dirlantas Babinkam Polri, dan Kakorlantas, dan Gubernur Akpol.

APEC dan Indonesia

Sri Adiningsih

Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) yang didirikan tahun 1989 dan beranggotakan 21 perekonomian memiliki peranan yang semakin penting pada perekonomian dunia. Oleh karena itu, APEC Economic Leader’s Week dan beberapa pertemuan terkait yang akan diselenggarakan pada 1-8 Oktober 2013 di Bali akan mendapatkan banyak perhatian masyarakat internasional.

APEC merupakan kekuatan ekonomi dunia utama saat ini karena menjadi tempat tinggal bagi 40 persen penduduk dunia, menguasai 44 persen perdagangan dunia, dengan kekuatan ekonomi 55 persen produk domestik bruto (PDB) dunia. Karena itu, maju mundurnya ekonomi dunia banyak ditentukan oleh maju mundurnya ekonomi APEC.

Peranan APEC di dunia semakin penting di tengah gejolak pasar keuangan yang dialami perekonomian-perekonomian yang tengah bertumbuh (emerging economies) serta melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia. Sementara itu, kontraksi ekonomi Eropa masih berlanjut, demikian juga ekonomi Amerika Serikat masih menghadapi banyak masalah, sehingga peranan APEC dalam pemulihan ekonomi dunia semakin penting. Stabilitas ekonomi dunia ditentukan oleh keberhasilan ekonomi APEC menjaga stabilitas ekonominya. Demikian juga meningkatnya pertumbuhan ekonomi dunia tergantung kemampuan ekonomi APEC meningkatkan laju pertumbuhan ekonominya, sehingga harapan dunia pada APEC saat ini besar. Semua perhatian dunia akan tertuju ke Bali awal Oktober ini.

Relevansi APEC bagi Perekonomian Kita

A Prasetyantoko

Pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Bali beriringan dengan meningkatnya intensitas gejolak perekonomian, baik domestik maupun global. Goldman Sachs beberapa tahun lalu merilis laporan yang menjuluki Indonesia sebagai ”The Next 11 Countries”, atau kelompok 11 negara sangat prospektif, yang akan segera menyusul keberhasilan Brasil, Rusia, India, China (BRIC). Belum lama berselang, Indonesia kini ditempatkan dalam ”Fragile Five” oleh Morgan Stanley. Itu julukan bagi negara paling bermasalah dalam depresiasi nilai tukar, bersama Brasil, Turki, Afrika Selatan, dan India.

Buruknya depresiasi di lima negara ini terkait dengan berbagai persoalan domestik, seperti tingginya inflasi, besarnya defisit transaksi berjalan, dan terkoreksinya pertumbuhan ekonomi. Aneka persoalan ini bermunculan seiring dengan proses penemuan titik keseimbangan baru secara global. Prospek pemulihan ekonomi negara maju direspons investor global melalui reposisi portofolio investasi. Adapun negara berkembang dengan kinerja buruk mengalami tekanan lebih besar.

Indonesia menghadapi kompleksitas persoalan tersebut. Dalam jangka pendek ada persoalan likuiditas yang ditandai dengan melemahnya nilai tukar, dan dalam jangka panjang kita menghadapi transformasi struktur ekonomi yang terancam mandek. Dua tantangan inilah yang mestinya mendapat perhatian khusus dalam pertemuan APEC. Mampukah kita memanfaatkan forum tersebut? Meskipun informal dan tidak mengikat, APEC tetap memiliki peran strategis karena bisa mendorong lembaga formal seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Organisasi Perdagangan Dunia menindaklanjutinya.

Konvensi Demokrat di TVRI

Atmakusumah Astraatmadja

Ramai-ramai tentang penolakan terhadap siaran konvensi Partai Demokrat di TVRI pada 15 September, selama 2 jam 23 menit, menimbulkan pertanyaan: mengapa harus sepenuhnya ditolak?

Timbul pula pertanyaan lain: tidakkah konsep tata pemerintahan yang dijelaskan dalam peristiwa ini oleh para calon pemimpin negara cukup penting sebagai informasi yang diperlukan oleh publik?

Informasi seperti itu sulit diharapkan dari siaran televisi swasta yang lebih mementingkan tujuan komersial dan rating. TVRI, sebagai televisi publik, hampir-hampir jadi harapan satu-satunya bagi masyarakat untuk memperoleh informasi mendalam tentang para calon pemimpin kita di masa depan.
Ternyata, TVRI juga pernah melakukan siaran serupa, terfokus semata-mata pada kegiatan satu partai politik atau lembaga sosial, umpamanya ulang tahun Fraksi Partai Golkar, Partai Amanat Nasional, dan organisasi karyawan SOKSI. Direktur Utama TVRI Farhat Syukri malah menjelaskan bahwa kesempatan yang sama akan diberikan kepada partai politik yang lain dengan durasi yang sama lamanya.

Program seperti ini patut dihargai. Yang penting, TVRI tidak meminta bayaran untuk siaran ini, kecuali jika berbentuk iklan. Bahkan, durasi tayangan tak harus sama karena bobot peristiwa dan informasi bagi kepentingan publik yang terkandung di dalamnya perlu dipertimbangkan.

Menakar Retorika “M” di Papua

Pierre Marthinus

Pada 15 Agustus 2013 diresmikan kantor Free West Papua Campaign (FWPC) di Den Haag, Belanda. Sebelumnya, 28 April 2013, peresmian kantor serupa di Oxford, Inggris, menuai reaksi dan kecaman keras dari dalam negeri.

Pelajaran berharga apa yang dapat diambil bagi rekonsiliasi dan pembangunan Papua? Pernyataan bahwa ”banyak orang Papua berteriak merdeka” mungkin tak sepenuhnya salah. Namun, pernyataan itu masih gagal memberikan gambaran akurat soal tindakan serta aspirasi di belakang retorika merdeka itu.

Para pihak yang mengangkat retorika merdeka di Papua sebenarnya memiliki tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan sangat beragam. Sayangnya, mereka kerap digeneralisasikan sebagai ancaman keamanan yang sama, diberi stigma separatis, dinilai layak menerima respons kekerasan seragam dari negara.
Empat ”M” berbeda

Pada dasarnya, tiap kelompok memiliki ketidakpuasan berbeda dan mengartikulasikannya melalui bentuk-bentuk resistensi yang beragam pula. Dengan demikian, negara seharusnya mampu memberikan respons yang terdiferensiasikan dan proporsional bagi tiap kelompok. Berdasarkan tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan, terdapat empat kategori utama kelompok yang mengangkat retorika merdeka yang akrab disebut sebagai ”M”.

Pertama, kategori hipokritikal, yakni mereka yang kritis tapi tak pernah menolak segala insentif yang ditawarkan Jakarta. Tingkat ideologisasi dan tendensi kekerasan kalangan ini sangat rendah. Ironisnya, retorika ”M” kalangan ini kadang terlontar dari mereka yang sudah PNS. Di kalangan petinggi, tak jarang mereka yang habis masa jabatan dan kehilangan pendapatan ataupun privilese, lalu ”bersuara sumbang” dan mengangkat retorika ”M”.

Retorika ”M” terutama digunakan untuk mengakses berbagai konsesi politik dan ekonomi yang ditawarkan negara. Retorika ”M” juga menyediakan kesempatan untuk menjaga kehormatan sembari menjustifikasikan kelengseran mereka karena kasus-kasus korupsi, inkompetensi dalam tugas, skandal pribadi, ataupun popularitas elektoral yang menurun dalam pentas demokratik.

Kedua, kategori hiperkritikal, yakni mereka dengan sikap kritis selalu menilai semua kebijakan dari Jakarta adalah jebakan, salah kaprah, dan pasti akan gagal. Kalangan ini punya tingkat ideologisasi rendah dan sesekali terlibat kekerasan fisik dengan aparat dalam aksi-aksi demonstrasi. Umumnya, pengalaman pribadi terkait diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara telah menempa sikap nonkooperatif yang sangat kuat di kalangan ini.

Ketiga, kalangan radikal, yakni mereka dengan tingkat ideologisasi tinggi, yang mengartikulasikan ”M” sebagai nasionalisme Papua yang sepenuhnya terpisah dari nasionalisme Indonesia. Dalam perkembangannya, tendensi kekerasan di kalangan ini hampir tak ada dan telah muncul komitmen tinggi dalam melakukan perlawanan non-kekerasan.

Kalangan ini terbukti mampu menyinergikan retorika ”M” dengan retorika global lain, seperti HAM, lingkungan hidup, hak-hak masyarakat asli, hak menentukan nasib sendiri, dan demokratisasi. Bentuk resistensi konvensional mereka, yakni pengibaran bendera, kini telah berevolusi menjadi berbagai bentuk advokasi transnasional, seperti orasi di ruang publik internasional, kampanye internet, serta pentas budaya dengan lagu, cerita, instrumen musik serta tarian tradisional yang mengedepankan akar kebudayaan Melanesia Papua. Kelompok inilah yang cenderung berkembang pesat di luar negeri, berhasil memenangi dukungan dari beberapa simpatisan non-negara, dan merupakan satu-satunya kelompok yang berpotensi ”mempertanyakan” kedaulatan Indonesia di Papua, tanpa mengeluarkan sebutir peluru pun.

Keempat, kalangan radikal-ekstrem, yakni mereka yang memiliki tingkat ideologisasi tinggi dan mendukung penggunaan kekerasan. Mereka yang bergerak dalam kapasitas sipil kerap dengan sengaja melakukan aksi kekerasan kecil untuk memancing reaksi berlebihan dari aparat yang diharapkan mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa sipil. Kalangan ini merindukan terjadinya insiden Santa Cruz kedua dan intervensi internasional ala Timor Leste bagi Papua. Popularitas kalangan ini terlihat berkembang di antara segelintir kalangan muda Papua.

Sementara itu, kalangan radikal-ekstrem yang bergerak dalam kapasitas kombatan, yang kerap disebut sebagai Tentara Pembebasan Nasional (TPN), cenderung terlalu terfragmentasi, tidak populer, dan gagal memenangi dukungan, baik dari aktor negara maupun non-negara di tingkat internasional.

Dialog dan insentif

Jadi, apakah kehadiran empat kalangan yang berteriak ”M” ini berarti pendekatan berbasis insentif dalam UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua telah gagal dan sudah saatnya kembali ke pendekatan punitif (stick)? Tentu tidak.

Pertama, negara harus bisa membedakan antara politik ”potong jari” dan politik ”potong babi” yang terjadi di Papua. Kelompok ”potong jari”, yakni mereka yang telah betul-betul mengecap kepahitan diskriminasi, marjinalisasi, dan kekerasan negara seyogianya diikutsertakan dalam proses rekonsiliasi berbasis dialog yang inklusif. Di sisi lain, kelompok ”potong babi”, yakni mereka yang mendambakan kemanfaatan dan kesejahteraan dari kehadiran negara, juga perlu dimenangkan dengan menggunakan insentif-insentif yang memiliki nilai tawar sosio-kultural yang tinggi.

Kedua, sebelum memasuki dialog yang inklusif dengan kelompok yang tergolong radikal, harus dipetakan konsesi-konsesi apa saja yang bisa dan mampu ditawarkan negara tanpa melangkahi batasan-batasan konstitusional. Bagi mereka yang menginginkan kedaulatan, negara bisa menawarkan konsesi ”kedaulatan simbolik” di bidang-bidang yang umumnya menjadi ranah eksklusif negara, misalnya moneter, hubungan luar negeri, pertahanan dan keamanan.

Konsesi kedaulatan simbolik bisa berupa mata uang rupiah yang dicetak khusus untuk beredar di Papua (model poundsterling Skotlandia) yang menampilkan simbol-simbol budaya Papua, seperti tifa, rumah honai, tombak, parang, pisau belati, busur dan panah, burung cenderawasih, dan puncak Jayawijaya. Dalam hubungan luar negeri bisa dialokasikan pos-pos diplomatik tertentu atau dibentuk pos-pos baru yang dikhususkan bagi orang Papua untuk mewakili kepentingan Indonesia, seperti duta besar untuk kawasan Pasifik Selatan.

Dalam pertahanan-keamanan, misalnya, bisa dirancangkan lencana kehormatan atau lencana HAM yang akan diberikan oleh gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) beserta Majelis Rakyat Papua (MRP) kepada perwira TNI/Polri yang dianggap memiliki andil besar bagi perdamaian dan penghormatan HAM di Papua. Jika dilengkapi komponen kepangkatan dan tunjangan ekonomi, tentunya pendekatan HAM yang berbasis insentif ini bisa menjadi suatu alternatif bagi Indonesia untuk memperbaiki kondisi di Papua sembari menjawab berbagai kritik dari luar negeri.

Ketiga, negara harus mencari bentuk-bentuk insentif dengan nilai tawar sosio-kultural yang mampu memenangkan kepatuhan para aktor lokal. Pendekatan punitif dan insentif (stick and carrot) memang penting, tapi pemilihan insentif yang salah kaprah bisa membuat orang Papua merasa selalu dipukuli dengan carrot dan diberi makan stick.

Proyek pembangunan berbasis kelapa sawit, misalnya, dapat dipastikan akan memarjinalkan orang asli Papua yang sudah terbiasa menanam kopi, kakao, dan karet selama 50 tahun terakhir. Proyek pembangunan sekolah dan rumah sakit tanpa tersedia dokter, perawat, dan pengajar yang bertugas rutin pun tidak jarang malah membuat geram masyarakat.

Intinya, skema otonomi khusus ”plus” yang tengah digodok harus cermat dalam mengidentifikasi insentif-insentif dengan nilai sosio-kultural tinggi yang mampu memberdayakan sekaligus memenangkan hati masyarakat Papua. Selain untuk membangun legitimasi politik, proses dialog yang inklusif juga penting untuk mencari dan menyetujui bersama solusi-solusi kreatif serupa dalam membangun perdamaian di Papua.

Pierre Marthinus, Peneliti di Pusat Kajian Papua (Papua Center) UI

29/09/13

Tawaran Metodologi Penelitian Sastra Indonesia

Sudarmoko 

Tulisan ini pada awalnya adalah semacam wujud dari kegelisahan dan sekaligus ambisi untuk menemukan metode yang dapat digunakan dalam meneliti sastra Indonesia. Hal-hal pertama yang menjadi kegamangan peneliti dalam melakukan kajian sastra Indonesia adalah menentukan: (1) memilih karya sastra yang akan dipilih, (2) menentukan tema atau topik apa yang akan dipilih, (3) menemukan informasi yang lengkap tentang karya dan pengarang, (4) menemukan sumber data dan referensi tentang sastra Indonesia secara menyeluruh, (5) apa yang membedakan satu pengarang dengan pengarang lain, atau (6) adakah perbedaan budaya memengaruhi karya dan pengarang satu dengan lainnya?

Persoalan ini menjadi besar, mengingat Indonesia tak dapat direpresentasikan dengan satu budaya khusus, nilai sosial tersendiri, muatan karya sastra yang memiliki semangat nasional untuk dapat dibicarakan sebagai Indonesia. Karena itu, ketika kajian-kajian sastra Indonesia dibicarakan dalam semangat dan tema tertentu, selalu meninggalkan pertanyaan besar apakah ia dapat merangkum keragaman dan kekhasan budaya, dan lebih khusus lagi, apakah ia dapat membongkar isi di dalam karya sastra yang tersebar itu?

Minyak dan Presiden 2014

Garin Nugroho

”Kemenangan di Vietnam sangat penting untuk mengontrol Indonesia, bila Indocina hilang, maka beberapa hal akan terjadi. Tanjung Malaka akan sulit dipertahankan. Timah dan tungstern akan berhenti. Burma dalam posisi yang sulit dipertahankan. Semua posisi sangatlah tidak menyenangkan. Jika kita kehilangan semua itu, bagaimana bisa mempertahankan Indonesia yang kaya.”

Ucapan di atas muncul dari Eisenhower―—Presiden Amerika tahun 1953, yang melihat Indonesia sebagai permata dunia, di tengah gejolak perang dingin Rusia dengan Amerika, serta berubahnya situasi politik di Vietnam hingga Indonesia di masa Soekarno.

Sejarah mencatat, bahwa nilai penting kekayaan alam Indonesia untuk Amerika sudah terbaca sebagai catatan panjang. Tahun 1939, lewat East Indies, Belanda memasok lebih dari separuh konsumsi total sumber daya alam yang dibutuhkan Amerika.

28/09/13

Lingkungan Alam dan Perilaku Warga

Eko Wijayanto

GUBERNUR DKI Joko Widodo mengatakan tak ada gunanya menambah truk pengangkut sampah di Pintu Air Manggarai, Jakarta Selatan. Menurut dia, perilaku wargalah yang menjadi kunci bersihnya sungai dari sampah.

”Cara penyelesaian seperti ini tidak tepat. Bawa dump truck ke sini itu tidak diperlukan kalau masyarakat tidak buang sampah,” ujarnya saat meninjau Pintu Air Manggarai.

Menurut Jokowi, yang lebih pas adalah kampanye besar-besaran bagi masyarakat umum, terutama yang bermukim di bantaran sungai, untuk tak membuang sampah sembarangan, apalagi ke aliran sungai.

Memfilmkan Soekarno

Asvi Warman Adam

Film Soekarno yang dibuat Ram Punjabi dan disutradarai Hanung Bramantyo menuai protes dari Rachmawati Soekarnoputri.

Tulisan ini tidak menyoal pertengkaran itu, tetapi mengungkap beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membuat film tentang tokoh sejarah. Tentu saja lebih mudah jika film itu merupakan narasi beberapa penutur tentang seorang tokoh; bisa saja wacana itu berbeda bahkan bertentangan, terserah kepada pemirsa menyimpulkannya.

Pilihan berikutnya adalah menyelipkan tokoh fiktif dalam kelompok tokoh sejarah yang utama. Tokoh fiktif, misalnya, sepasang muda-mudi yang menjalin hubungan asmara dan berakhir dengan tragis, seperti dalam film Sang Kiai, pemuda yang pergi berjuang dan menemui ajal, sementara perempuan yang dikasihinya telah hamil. Ini menjadi semacam bumbu penyedap dalam film tersebut agar alur cerita tidak kering.

Penunggang Bebas Popularitas

Gun Gun Heryanto 

Banyak cara membangun pencitraan. Mulai dari tampil di sejumlah media, turun ke basis-basis pemilih, hingga membanjiri area publik dengan beragam peraga kampanye.

Seantero bumi pertiwi nyaris seragam: disesaki spanduk dan baliho yang muncul bak cendawan di musim hujan. Ada pencitraan yang taat aturan, banyak pula yang serampangan menabrak etika politik dan regulasi kampanye yang telah ditetapkan. Praktik tak etis ataupun pelanggaran aturan kerap kali disamarkan dengan beragam modus.

Bencana Kebahasaan

Teuku Kemal Fasya

Tragedi wawancara artis Zaskia Shinta dan Vicky Prasetyo, awal September lalu, telah menjadi topik perbincangan di media sosial dan media massa.

Wawancara pertunangan sehari mereka pun telah muncul di Youtube. Dalam lima hari, 288.000 pengunjung telah melihat ”bencana kebahasaan” itu dan menjadi olok-olok publik.
Saya tidak akan menambah olok-olok itu lagi di sini, tetapi mencoba berhenti sejenak dan merefleksikan mengapa hal seperti itu bisa terjadi. Kesimpulannya, di samping faktor psikologi kompleks sang penutur, masalah ini memang sedang merasuki psikologi sosial kebahasaan kita di media, terutama TV.

Paradoks Kemacetan Institusi

Harun al-Rasyid 

Ketika bus rapid transit atau busway di Bogota, Kolombia, sukses, model BRT sejenis sontak ingin ditiru di banyak kota di dunia termasuk kota besar di Indonesia.

Kini BRT yang berkualitas menyebar di kota besar dan menengah, mulai dari Bogota (Kolombia), Curitiba (Brasil), Guangzhou (China), hingga Ahmedabad (India). Semua kota demam dan antusias membangun BRT, dengan harapan mengurangi kemacetan yang jadi mimpi buruk warga kota. Selayaknya meniru, tentu ada yang berhasil ada yang tidak. Busway transjakarta, yang termasuk terbaik di Tanah Air, secara peringkat kinerjanya pun masih jauh di bawah BRT kelas dunia yang mampu mengangkut 20.000-30.000 penumpang per jam per arah. BRT dan bis konvensional di Tanah Air keadaannya masih sangat memprihatinkan. Untuk mendongkrak daya angkut, semua masih perlu berjuang menambah koridor lintasan, meningkatkan pelayanan, dan menambah stok armada bus.

Kereta rel listrik Jabodetabek yang notabene peninggalan Belanda masih terus berbenah manajemen. Tarik-menarik antara PT KAI dan Direktorat Jenderal Perkeretaapian terus berlanjut. Monorel yang digagas 2004 oleh PT Jakarta Monorel, sempat vakum mulai 2008, sekarang kembali dalam trek walaupun komposisi saham dominan sudah berpindah tangan. Penyelesaian pembangunan mass rapid transit (MRT) Tahap Pertama Lebak Bulus-HI dipastikan molor dari target 2016 menjadi 2018, tak lain karena terhalang ketidakmampuan dan kompetensi institusi publik sebagai implementatornya.

Akselerasi membangun MRT dari HI hingga Kota dan sinkronisasi MRT Timur-Barat dalam tanda tanya besar. Jangan sampai penyelesaian MRT Jakarta yang berulang kali disalip Delhi Metro, kemudian Bangkok, Manila, dan Ho Chi Minh, sebentar lagi akan disalip juga oleh Dhaka Metro, Banglades, yang kini baru akan memulai perancangan dasar. Apa sesungguhnya yang terjadi, mengapa eksekusi dan pemberdayaan sistem angkutan umum terus telat dan terhambat?

Rendahnya Kesadaran Akan Data

James Luhulima 

Tanggal 26 September lalu, kita dikejutkan oleh data yang dikemukakan Komisi Pemilihan Umum bahwa ada sekitar 30 persen data pemilih yang tidak tercatat. Dalam kasus ini, angka 30 persen itu sama dengan 65 juta orang. Sulit rasanya untuk percaya bahwa hal seperti itu dapat terjadi.

Jika pendataan daftar pemilih tetap (DPT) dari pemilu-pemilu sebelumnya betul, seharusnya hal seperti itu tidak boleh terjadi. Memang pemilu berlangsung setiap lima tahun, dan dalam waktu lima tahun, ada sekian banyak pemilih baru dan juga ada sekian pemilih yang meninggal dunia. Namun, sisanya, sebagian besar tentunya, seharusnya tidak berubah. Bahkan, ada sebuah keluarga dengan tiga anak, yang awalnya terdaftar sebagai penduduk suatu kelurahan, tiba-tiba yang terdaftar hanya ayahnya saja. Istri dan tiga anaknya hilang dari daftar.

27/09/13

Evaluasi Program MIFEE

Maria SW Sumardjono

Setelah diresmikan tanggal 11 Agustus 2010, program Merauke Integrated Food and Energy Estate tidak banyak terdengar gaungnya.

Cukup mengejutkan, ketika sejumlah LSM nasional ataupun internasional menyurati PBB agar menghentikan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) karena dianggap mengancam kelangsungan hidup suku Malind (Kompas, 26/7). Program yang diproyeksikan meliputi 1,2 juta hektar lahan untuk memproduksi bahan pangan dan bioenergi itu pasti berdampak luas dan jangka waktu panjang.

Pertanyaannya, apakah program tersebut dapat menjamin keadilan dalam alokasi sumber daya alam sesuai dengan semangat konstitusi? Salah satu tujuan MIFEE adalah memperkuat cadangan pangan dan bioenergi nasional untuk memantapkan dan melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan pangan dunia melalui ekspor produk pangan.

Abnormalitas Pengaturan Pilkada

Bahrul Ilmi Yakup 

Pemilihan kepala daerah dapat disebut buah pahit produk era Reformasi. Konsekuensinya menelurkan pengalaman pahit bagi perjalanan pemerintahan negara, dan masyarakat.

Salah satu penyebabnya, pilkada langsung dipilih secara tergesa-gesa dalam euforia kebebasan pasca-keterkungkungan pada era Orde Baru tanpa pemahaman dan pengaturan yang memadai.

Pilkada langsung dipilih tanpa kajian akademik dan empiris yang determinatif. Hal itu kian diperparah dengan pengaturan secara sumir serta tidak jitu dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti UU No 22/1999. Oleh karena itu, logis jika dalam implementasi dan praksisnya saat ini pilkada langsung menimbulkan sejumlah permasalahan.

Revisi UU Devisa

Beni Sindhunata 

Produktivitas dan berhemat adalah kata kunci mengatasi krisis ekonomi saat ini, demikian M Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, di Kompas (23/9).

Berangkat dari sikap dan semangat itu, penulis mengkajinya dari aspek defisit neraca perdagangan dan tata kelola hasil kerja berupa devisa ekspor. Produktivitas industri tidak banyak berarti jika hasil kerjanya, berupa devisa ekspor, tak bisa maksimal dikelola otoritas moneter selaku pengelola devisa.
Itulah salah satu titik lemah yang berdampak luas bagi perekonomian domestik, yang mendorong otoritas moneter selalu fokus pada dinamika Federal Open Market Committee (FOMC) dengan paket stimulusnya—dikurangi atau ditambah— laksana obat kuat sementara waktu.

Dari Januari ke Agustus 2013 cadangan devisa kita menyusut 16 miliar dollar AS, sedangkan devisa hasil ekspor (DHE) sebelum dikurangi impor: 87,5 miliar dollar AS. Jika seluruh DHE itu wajib ditahan atau disimpan di bank devisa dalam negeri selama jangka waktu tertentu, di atas kertas cadangan devisa bisa menjadi 179 miliar dollar AS, menghadapi utang luar negeri yang 259,5 miliar dollar AS.

Revitalisasi Rekam Medis dan Kodifikasi RS

Endah Sulistyowati 

Pelaksanaan sistem jaminan kesehatan rakyat oleh Badan Pengelola Jaminan Sosial pada awal tahun 2014 sebaiknya dipahami secara baik oleh segenap rakyat dan entitas yang terkait bidang kesehatan. Namun, sebelum diterapkan, tampaknya banyak hal harus dibenahi, termasuk di antaranya manajemen rumah sakit.

Sudah tidak zamannya lagi rumah sakit menetapkan biaya pelayanan yang tidak rasional. Kenyataannya, masih ada rumah sakit yang mengabaikan prinsip INA CBGs, yaitu penghitungan biaya berbasis pada kelompok diagnosis penyakit yang sudah diperhitungkan sebelumnya. Dalam konteks itu, setiap penanganan pasien menggunakan prinsip kendali mutu dan biaya.

Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mewarnai domain kesehatan secara signifikan dengan mengubah sistem kesehatan ke arah penerapan sistem informasi kesehatan terpadu atau e-Health. Sistem elektronik ini interconnected dalam menangani masalah dan operasional kesehatan rakyat.

Itu sebabnya mengapa penting meneguhkan sistem pelayanan kesehatan rakyat lewat Badan Pengelola Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan dengan teknologi andal. Peneguhan tersebut sangat bergantung pada
sejauh mana keandalan dan akurasi rekam medis dan kodifikasi di setiap rumah sakit.

Hukum Berat Koruptor

Aristo MA Pangaribuan 

Semangat bangsa melawan koruptor tidak boleh surut meski hukuman terhadap pelakunya sering mencederai rasa keadilan publik. Kerja Komisi Pemberantasan Korupsi harus selalu didukung demi satu tujuan: ”Pokoknya koruptor harus dihukum berat!”

Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan berdampak signifikan negatif terhadap pembangunan bangsa. Itu adalah Notoire feiten,sesuatu yang tidak perlu lagi diperdebatkan faktanya. Namun, cara menyikapi fakta tersebut dalam bentuk aturan membuka ruang diskursus yang luas.

Saya melihat ada dua hal krusial yang dapat diperdebatkan: pertama, penambahan persyaratan khusus dalam PP 99, utamanya mengenai kesediaan untuk bekerja sama dengan penegak hukum (cooperation with law enforcerment authorities). Kedua, mengenai baju tahanan KPK yang diperkenalkan kembali dengan berbagai model yang harus dipakai oleh tersangka ataupun narapidana kasus korupsi.

Model Hukum Pasca-neoliberalisme

Abdul Hakim G Nusantara

Awal 1980-an, model hukum neoliberal dikembangkan IMF dan Bank Dunia di banyak negara. Tujuannya tak lain guna mendukung pencapaian sasaran pembangunan ekonomi neoliberal, yakni pertumbuhan ekonomi tinggi bagi kemakmuran masyarakat.

Esensi model hukum ini, hukum didayagunakan untuk efisiensi biaya transaksi yang diperlukan bagi efisiensi alokasi sumber daya. Di satu sisi, hukum privat difungsikan untuk memastikan pelaksanaan kontrak dan melindungi hak atas kekayaan, serta hak-hak perdata lainnya. Di sisi lain, hukum publik didayagunakan untuk mendisiplinkan perilaku menyimpang dan mengubah kebijakan yang mengganggu bekerjanya sistem ekonomi pasar bebas. Selanjutnya hukum digunakan untuk efisiensi dan efektivitas penyelesaian sengketa. Sifat hukum jadi positivis-instrumentalis dan tidak mempertimbangkan aspek-aspek sosial, politik, dan HAM.

Pembenahan Institusional

Bambang Kesowo 

Berkembang pandangan bahwa problem multidimensi yang tidak ringan saat ini memerlukan penyelesaian yang sifat dan arahnya mendasar. Hal tersebut tidak hanya karena penyelesaian ini diperlukan sekarang, tetapi juga karena itu penting bagi arah dan kualitas kehidupan bangsa dan negara di masa depan. Rencana perbaikan dan langkah apa pun yang diambil hanya akan terwujud apabila terlebih dulu dilakukan pembenahan institusional.

Ketika publik mulai tahu betapa besar dan meluasnya pengaruh buruk politik uang dalam proses dan pengambilan keputusan politik—baik dalam bidang kehidupan politik, hukum, sosial-budaya, ekonomi, maupun keamanan—pertanyaan besarnya adalah, pertama, mungkinkah membenahi keadaan tersebut dan menghentikannya? Kedua, seberapa pentingkah pembenahan itu? Ketiga, di tataran apa pembenahan sebaiknya dilakukan?

Menuju DPT yang Lebih Baik

Toto Sugiarto 

Komisi Pemilihan Umum telah memperpanjang waktu penetapan daftar pemilih tetap tingkat kabupaten/kota hingga 13 Oktober 2013. Dengan perubahan tersebut, KPU hanya menyisakan waktu 10 hari sampai ditetapkannya DPT secara nasional, yakni 23 Oktober 2013.

Dikhawatirkan waktu yang sempit akan membuat proses penghitungan dan penggabungan data secara nasional menjadi tergesa-gesa. Sementara jika penetapan daftar pemilih tetap (DPT) tingkat nasional diundur, juga dikhawatirkan akan mengganggu proses selanjutnya.

26/09/13

Riset untuk Kebijakan Pertanian

Bambang Prasetyo  

KURANGNYA pasokan bahan pangan di pasar serta lonjakan harga semakin tidak wajar, terutama beberapa komoditas, seperti bawang merah, cabai, telur, daging ayam, dan daging sapi. Ironis, memang, negara agraris ini setiap tahun selalu menghadapi persoalan pasokan bahan pangan bagi rakyatnya.

Melonjaknya harga beberapa komoditas pangan membebani konsumen rumah tangga, yang pada akhirnya memicu inflasi dan membebani perekonomian nasional. Namun, para pejabat terkait terkesan panik dan tidak menguasai masalah sehingga terlambat bertindak. Akibatnya, gejolak harga beberapa komoditas cenderung tidak terkendali.

Salah satu faktor penyebab berulangnya fenomena tersebut adalah kurang diperhatikannya data dan informasi mengenai status masing-masing komoditas pertanian, baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Di sisi lain, kondisi tersebut menunjukkan betapa pentingnya data dan informasi yang benar sebagai dasar pengambilan kebijakan.

25/09/13

Partai Islam dan Demokrasi

Zuly Qodir 

Kiamat Sudah Dekat! Judul tayangan serial televisi yang kerap muncul itu agaknya tepat memberikan ilustrasi atas kondisi partai-partai dakwah di negeri ini.

Gambaran itu juga bisa menjadi ilustrasi hendak kiamatnya partai Islam di Indonesia pada Pemilu 2014 secara keseluruhan.

Berdasarkan penelitian Lingkaran Survei Indonesia 2012, partai Islam hanya akan menjadi komplementer alias pelengkap pada pemilu mendatang. Beberapa faktor yang menyebabkan merosotnya perolehan suara partai Islam antara lain menguatnya fenomena ”Islam Yes, Partai Islam No”, pendanaan partai politik, tindakan kekerasan organisasi massa Islam, dan kemampuan partai nasionalis mengako- modasi kepentingan umat Islam. Hal lain adalah perilaku politisi partai dakwah yang kacau-balau.

Dalam konteks demokrasi di Indonesia, agaknya ini bisa kita jadikan pelajaran berharga tentang kehadiran partai Islam atau gerakan Islam politik yang setiap lima tahun turut serta dalam pemilu, tetapi tak pernah memberi warna secara signifikan. Dalam kaitan itu, sepertinya slogan ”Islam Yes, Partai Islam No” cukup relevan jika dikaitkan dengan perolehan suara partai Islam.

Golput dan Krisis Pemimpin

Agus Sudibyo 

Hasil hitung cepat beberapa lembaga survei menunjukkan angka golongan putih dalam Pilkada Jawa Timur yang baru berakhir: 40 persen. Dengan kata lain, tingkat partisipasi masyarakat Jawa Timur dalam hajatan lima tahunan itu hanya 60 persen.

Kenyataan ini kian menegaskan kegelisahan tentang rendah-nya minat masyarakat terhadap suksesi kepemimpinan. Apalagi, Pilkada Jawa Timur tak sendirian dalam mencetak tingginya golongan putih (golput). Pilkada Jawa Tengah beberapa bulan lalu menghasilkan golput 48 persen. Pilkada Jawa Barat Februari 2013 dimenangi pemilih golput dengan 36 persen. Yang paling fenomenal tentu saja Pilkada Sumatera Utara: golput 60 persen.

Tren rendahnya partisipasi warga dalam sejumlah pilkada dianggap sebagai alarm tentang rendahnya kualitas kehidupan politik atau kualitas demokrasi di suatu wilayah. Tanpa langkah antisipasi yang memadai, tren serupa dikhawatirkan akan mewarnai Pemilu 2014.

Daya Saing, Inovasi, dan Paten

A Zen Umar Purba 

Indonesia masuk fase kedua pembangunan.., tetapi kemakmurannya bertumpu semata pada ekstraksi sumber daya alam. Adapun Singapura dan Malaysia bertumpu pada inovasi atau dalam transisi menuju ke sana.” Tajuk Rencana ”Kompas” (6/9/2013)

Inovasi menjadi kunci penting kalau satu negara ingin maju. Isu bahwa pembangunan ekonomi tidak lagi digerakkan oleh sumber daya alam, tetapi oleh sumber daya manusia sudah lama dicanangkan.
Tajuk Rencana Kompas di atas berkaitan dengan naiknya posisi RI dari ke-50 ke ke-38 dalam The Global Competitiveness Reports  (GCR) 2013-2014 Forum Ekonomi Dunia (WEF), September.

GCR 2013-2014 menekankan pentingnya aspek inovasi. Ide yang mengedepankan aspek inovasi amat perlu merangsang pertumbuhan negara-negara. Bagi negara seperti RI, ini agar jadi strategi pembangunan untuk tak sekadar mengorek perut bumi.

Politik Upah Minimum

Surya Tjandra

“Hampir semua orang bisa tahan dalam penderitaan, tetapi kalau Anda mau menguji karakter seseorang, berilah ia kekuasaan.” Abraham Lincoln

Ketika Presiden Yudhoyono dikabarkan mengeluhkan kerasnya pelantang suara demonstrasi buruh yang dianggap mengganggu Istana, sesungguhnya yang terjadi tak lebih dari jeritan kaum buruh menuntut perhatian pemerintah untuk pemerataan kesejahteraan.

Tidak harus menjadi ekonom untuk menyadari bahwa kenaikan upah minimum pada tahun ini langsung tergerus kenaikan harga BBM yang memicu inflasi, ditambah lagi kenaikan beberapa harga komoditas seperti kedelai ataupun bawang putih yang sarat skandal itu.

Badan Pusat Statistik menyatakan, meski nominal meningkat signifikan, upah riil buruh industri pada kuartal pertama 2013 justru turun 1,05 persen (Bisnis Indonesia, 1/7). Sementara itu, koefisien gini pengukur tingkat kesenjangan terus meningkat hingga 0,41 tanpa ada tanda-tanda pemerintah menaruh perhatian serius untuk mengatasinya secara sistematis.

24/09/13

Pasangan Pemimpin

AM Lilik Agung 

DALAM ranah korporasi kontemporer, muncul tokoh-tokoh yang seharusnya dicatat dengan tinta emas. Mereka adalah Daniel Dinell, Paul Melter, Tom Valerio, Ed Lewis, dan Paul Allen. Mereka bukan orang nomor satu pada korporasi yang bersangkutan, melainkan sebagai wakil pemimpin utama.

Nama mereka tidak muncul di permukaan. Kalaupun muncul, publik lebih mengenalnya sebagai sosok tegas, lurus, dan tanpa kompromi. Mereka menjadi tokoh antagonis yang berbeda dengan atasannya. Namun, berkat kehadiran mereka, perusahaan-perusahaan tempat mereka bekerja (sesuai urutan nama adalah Hilton Hotel, Saatchi & Saatchi, Cigna, Exxon Mobil, dan Microsoft) menjadi perusahaan besar.

Sebagai tokoh antagonis, mereka sering menjadi musuh bersama yang layak dimaki-maki. Berbeda dengan pemimpin tertinggi (CEO) yang berpenampilan tenang, melindungi, flamboyan, dan menjadi representasi perusahaan. Sosok Dieter Huckestein sebagai pengganti Conrad Hilton─, pendiri jaringan Hotel Hilton, ─dekat dan melindungi karyawan. Huckestein mirip Bill Gates, pendiri dan penguasa Microsoft. Hal demikian tidak ditemukan pada para wakil mereka, Daniel Dinell dan Paul Allen.

Kulihat Ibu Pertiwi

Sindhunata  

Ada sebuah patung batu di Karang Klethak, Dusun Wonorejo, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Patung itu menggambarkan seorang ibu pedesaan yang amat sederhana. Nama patung itu Mbok Turah. Turah berarti lebih atau berkelebihan. Mbok Turah berarti ibu yang berkelebihan.

Bagi penduduk setempat, Mbok Turah adalah kehidupan yang tepersonifikasikan dalam diri seorang ibu. Seperti kehidupan yang berkelebihan, Mbok Turah adalah ibu yang turah-turah atau berkelebihan dalam cinta, pemberian diri, pengorbanan, dan penderitaan. Dan itu semua dapat ditanggungnya karena Mbok Turah ibu yang berkelebihan dalam kesederhanaan.

Juni lalu, beberapa seniman Yogya menggali lebih dalam ide Mbok Turah. Perupa Tamtama Anoraga membuat dipan sederhana dari bambu. Di atas dipan ditaruh tanah yang ditumbuhi rerumputan hijau, tanaman padi, dan beberapa hasil bumi. Karya yang diberi judul ”Peraduan Ibu” itu menggambarkan betapa berlimpahnya kesuburan seorang ibu. Karena kesederhanaan dan pengorbanannya, tempat yang ditidurinya pun bisa menjadi sawah yang menghijau dengan padi dan rerumputan serta hasil bumi.

Menjadi Tuan di Negeri Sendiri

Sri-Edi Swasono 
 
Saya merasa beruntung dapat hadir di Pyongyang menyaksikan Peringatan 60 Tahun Kemenangan Perang Korea oleh Pemerintah Republik Demokrasi Rakyat Korea yang megah dan besar-besaran. Siapa pun yang hadir dan apa pun ismenya akan terinspirasi merasakan getaran nasionalisme dan keberdaulatan. Dengan semangat dan disiplin baja, mereka menegaskan bahwa nasionalisme tidak pernah usang.

Kita bisa bersetuju atau berbeda pendapat mengenai Korea Utara ini. Memang nalar bisa berbeda. Ada nalar Korea Utara berdasar komunisme, ada nalar Korea Selatan yang menolak komunisme. Ada nalar Barat yang individualistik dan kapitalistik, ada nalar Timur yang mutualistik. Ada pula paradigma Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Mengenai ini sila baca tulisan saya di Kompas edisi 2 Mei 2013.

Basa-basi Kebijakan Energi

Pri Agung Rakhmanto 

Badan Pusat Statistik mencatat kumulatif defisit neraca perdagangan periode Januari-Juli 2013 mencapai 5,65 miliar dollar AS. Defisit tersebut terutama disebabkan defisit neraca perdagangan migas sebesar 7,6 miliar dollar AS (rata-rata 1,88 miliar dollar AS per bulan).

Perdagangan nonmigas masih mencatat surplus 1,9 miliar dollar AS. Defisit neraca perdagangan ini menjadi salah satu kontributor utama melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

Sebagai bagian dari upaya mengatasi pelemahan rupiah, pemerintah mengeluarkan empat paket kebijakan ekonomi. Salah satunya, di sektor energi, adalah kebijakan meningkatkan porsi penggunaan biodiesel dalam solar sehingga akan mengurangi impor solar secara signifikan.

Pemanfaatan biodiesel di seluruh sektor diklaim dapat menghemat konsumsi solar hingga 4,4 juta kiloliter per tahun, atau lebih kurang setara dengan penghematan devisa sebesar 4,1 miliar dollar AS. Untuk tahun 2013, terhitung mulai September, penghematan ditargetkan sebesar 1,3 juta kiloliter atau lebih kurang setara 1,2 miliar dollar AS.

Kegalauan Politik Perburuan Kekuasaan

J Kristiadi 

Berita utama harian Kompas, Senin (23/9), yang berjudul ”Peran Negara Makin Tak Terasa”, tampaknya terlalu sopan. Dalam bahasa yang lebih lugas, mungkin lebih tepat dikatakan negara ini sudah lumpuh karena silang sengkarut kebijakan yang tidak dilandasi niat politik yang berkiblat kepada kepentingan rakyat.

Negara dewasa ini bahkan dapat dikatakan vakum, mengalami kekosongan pemerintahan. Banyak ilustrasi mengenai absennya negara. Contoh yang paling hangat adalah perseteruan di lingkungan pemerintahan mengenai kebijakan yang secara diametral bertentangan: kebijakan mobil murah yang hanya akan dinikmati oleh kelas menengah versus transportasi umum nyaman yang telah lama didambakan rakyat kebanyakan.

Peristiwa politik lainnya masih banyak lagi yang dapat disebutkan. Misalnya, kelahiran Perhimpunan Pergerakan Indonesia yang membuat berang dan cemas beberapa kader Partai Demokrat. Organisasi bayi ini diantisipasi, dalam jagat pakeliran, sebagai Jabang Tutuka (nama kecil Gatotkaca) yang pada usia balita berhasil membunuh Patih Sekipu, raksasa sebesar gunung anakan, yang ingin merebut kerajaan para dewa.

Royalti Batubara

Irwandy Arif 

Dalam sembilan tahun terakhir, kontribusi pertambangan batubara terhadap PDB non-migas terus meningkat. Jika pada 2004 sebesar 3,1 persen, pada 2012 jadi 6,1 persen.

Di tengah merosotnya defisit neraca berjalan, kenyataan ini ikut mendorong pemerintah merencanakan kenaikan tarif royalti batubara agar dapat meningkatkan lagi penerimaan negara. Rencana kebijakan ini tentu perlu dipertimbangkan lebih matang karena industri batubara sedang kelimpungan karena didera turunnya harga komoditas batubara sejak 2012 dan diperparah oleh peningkatan biaya produksi yang cukup signifikan.

Beberapa perusahaan penambangan batubara telah menutup usaha mereka. Selain itu, yang juga mengkhawatirkan adalah kebijakan peningkatan royalti batubara berpotensi mendorong semakin maraknya aktivitas penambangan dan perdagangan batubara ilegal di Tanah Air.

23/09/13

Mimpi di Siang Hari

Sulastomo 

ADA pertanyaan mengapa kegalauan meluas dan menisbikan keberhasilan yang dicapai? Bukankah setiap keberhasilan ada kelemahannya? Misalnya, mengapa pertumbuhan tidak disertai pembagian hasil pertumbuhan?

Dalam mewujudkan kehidupan yang demokratis, kebebasan mengeluarkan pendapat juga telah kita nikmati. Bahwa ada kesan berlebihan, inilah yang harus kita rem. Namun, dari sisi kebijakan memang perlu pendekatan atau cara berpikir dalam jangkauan menengah dan jangka panjang. Ada kesan ketimpangan itu disebabkan maraknya pemikiran jangka pendek, sekadar penyelesaian sesaat.

Inilah akar masalah yang mungkin menjadi sumber kegalauan kita semua. Kita semakin terbiasa dengan pemikiran sesaat, jangka pendek atau pragmatis. Pragmatisme telah menjauhkan idealisme sehingga tanpa disadari melahirkan budaya ”tujuan menghalalkan cara”.

Krisis Ekonomi, Kita Bisa Apa?

M Jusuf Kalla 

Negara sedang demam dan flu. Sama dengan manusia, demam disebabkan oleh virus saat daya tahan tubuh melemah. Gejalanya adalah penurunan kurs rupiah dan Indeks Harga Saham Gabungan.

Ekonomi Indonesia terkena imbas pengaruh luar saat kondisi ekonomi nasional sedang lemah. Krisis ekonomi Eropa dan Amerika menurunkan permintaan komoditas Indonesia. Ekspor ke Eropa, China, dan India menurun nilai dan volumenya sejak tahun 2012.

Penurunan ekspor menyebabkan pendapatan pengusaha dan masyarakat turun serta berdampak penurunan pajak. Di lain pihak, impor tetap naik karena kenaikan permintaan BBM dan barang modal untuk investasi. Akibatnya, defisit perdagangan mencapai 6 miliar dollar AS untuk Januari-Juli 2013, dengan defisit neraca pembayaran hampir 10 miliar dollar AS.

Kebijakan dalam negeri yang populis, dengan tidak mengurangi subsidi BBM walaupun harga minyak mentah sudah di atas 100 dollar AS/barrel sejak tahun 2010, membuat subsidi mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Pemerintah tidak mampu membangun infrastruktur dan justru menyebabkan defisit APBN yang besar karena impor BBM menggerus devisa. Dalam kondisi yang sulit ini, biaya rutin negara dalam APBN 2013 dan 2014, khususnya biaya pegawai, bunga, dan cicilan utang, tetap saja tinggi. Peluang melaksanakan pembangunan semakin kecil.

Situasi ini mengkhawatirkan pengusaha yang akhirnya kurang percaya terhadap rupiah. Kurs tembus Rp 11.000 per dollar AS, apalagi secara bersamaan Fed AS akan mengurangi stimulus dana murah karena ekonomi Amerika mulai membaik.

Kudeta Mesir dan Indonesia

Todung Mulya Lubis 

Kondisi politik Mesir kian tidak menentu. Setelah kudeta militer terhadap Presiden Muhammad Mursi, kini gelombang demonstrasi pendukung Mursi seakan tak pernah berhenti. Serangkaian tindakan kekerasan militer Mesir dalam menghadapi gelombang demonstrasi tak kunjung usai.

Kudeta terhadap Presiden Mursi sebagai pemimpin sah terpilih secara demokratis melalui pemilu, bagaimanapun dan dengan alasan apa pun, tak dibenarkan. Meskipun sangat dipahami, kemarahan pejuang demokrasi di Mesir menentang Mursi yang diakhiri kudeta militer adalah karena kebijakan Mursi sendiri yang cenderung fundamentalis dan sarat nepotisme.

Potret kondisi politik Mesir yang diperbandingkan dengan kondisi Indonesia pada 1997/1998, sebagaimana ditulis mantan Panglima TNI Jenderal (Purn) Wiranto (Kompas, 1/8), ”Membandingkan Mesir dan Indonesia” tentu menjadi menarik. Karena itulah, artikel ini mencoba merespons tulisan tersebut.

Moratorium Ekspor Migas

Eddy Purwanto

Defisit perdagangan sektor migas dari Januari hingga Juli 2013 mencapai 7,63 miliar dollar AS. Fakta ini menjadi beban berat bagi neraca perdagangan Indonesia.

Defisit sektor migas ini dipercaya jadi salah satu penyebab menyalanya lampu kuning perekonomian Indonesia, ditandai anjloknya nilai rupiah hingga Rp 11.000 per dollar AS. Lampu kuning ini telah menggiring pemerintah, Bank Indonesia, dan Otoritas Jasa Keuangan mengeluarkan kebijakan penyelamatan, terutama akibat melambungnya defisit transaksi berjalan.

Di sektor energi, salah satu paket kebijakan pemerintah adalah memperbesar kandungan biodiesel dalam solar dengan tujuan mengurangi konsumsi solar yang berasal dari impor. Pertamina dikenai kewajiban mencampur unsur nabati fatty acid methyl ester (FAME) ke dalam bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dari sebelumnya hanya sekitar 5 persen menjadi 10 persen. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi volume impor sekitar 1,25 juta kiloliter/tahun.

Pendidikan Anak-Anak TKI

Ahmad Rizali 

Di tengah optimisme Indonesia menghadapi fenomena bonus demografi sebagai titik tolak lepas landas menuju negara maju, kita masih menyisakan 45.000 lebih anak-anak TKI pekerja kebun sawit di Sabah dan Sarawak yang tak tersentuh layanan pendidikan.

Di dalam negeri, hiruk-pikuk pelaksanaan Kurikulum 2013 masih saja terdengar. Belum lagi rasa bangga yang dicuatkan pemerintah terkait penghargaan UNESCO atas kesuksesan Indonesia dalam mengurusi buta aksara serta klaim Mendikbud atas menurunnya tingkat buta aksara. Di tengah atmosfer optimisme semacam itu, di seberang tapal batas negeri ini ribuan anak Indonesia dalam kondisi buta huruf dan buta tentang Indonesia.

Mereka adalah anak-anak WNI yang pada dasarnya tidak diperbolehkan membawa anak dan beranak-pinak di kebun sawit yang mahaluas itu. Sekalipun demikian, umumnya semua anggota keluarga ikut bekerja di kebun yang menyumbang pangsa ekspor terbesar negeri jiran itu.

Meski Pemerintah Indonesia peduli dengan kondisi mengenaskan itu, dengan membangun Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) dan mengirim guru untuk bekerja di Community Learning Center (CLC)—baik yang dikelola oleh SIKK, Yayasan Serat Bangsa, dan LSM Asing Humana—jika pendekatan pemberantasan buta huruf masih dilakukan dengan cara business as usual, mustahil puluhan ribu anak buta huruf itu tertangani.

21/09/13

“A Nation at Risk”

Amril Aman 

TAHUN 1981, pada masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan, Menteri Pendidikan Amerika Serikat membentuk Commission on Excellence in Education. Hal ini merupakan respons pemerintah terhadap kekhawatiran publik tentang masalah serius dalam sistem pendidikan yang menyebabkan keunggulan AS dalam industri, perdagangan, ilmu pengetahuan, dan inovasi teknologi terancam negara-negara lain.

Komisi beranggotakan 18 orang dari berbagai pemangku kepentingan, mulai dari guru SMA, kepala sekolah, perguruan tinggi, kalangan industri, hingga lembaga penelitian. Beberapa di antaranya pemenang Nobel. Komisi diminta untuk mengidentifikasi permasalahan pendidikan serta memberikan rekomendasi solusinya.

Komisi bekerja selama 18 bulan dan hasil kerjanya dituangkan dalam satu laporan yang disampaikan tidak hanya ke Menteri Pendidikan AS, tetapi juga kepada publik Amerika. Laporan yang berjudul ”A Nation at Risk: The Imperative for Educational Reform” telah membuka mata publik tentang dampaknya apabila masalah tidak ditanggulangi.

Kita baru saja merayakan ulang tahun ke-68 kemerdekaan. Saat proklamasi kemerdekaan, para pendiri negara telah merumuskan tujuan pendirian negara, seperti tertuang pada alinea ke-4 UUD 1945, antara lain memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Ternyata kita masih jauh.

Pohon Beringin

Budiarto Shambazy 

Oh dikau beringin
Rindang batangmu membentang
Tempat yang teduh bagi kelana dahaga
Pohon beringin
Dikau lambang pengayoman
damai tenteram dan bahagia
berkat kau perkasa
(”Pohon Beringin” ciptaan Suwandi)

Pohon beringin dikenal dengan ”pohon berjalan” atau ”pohon berkaki banyak”. Ia dijuluki ”pohon berjalan” karena suka merambah ke mana-mana seperti politisi yang gemar berbisnis atau pebisnis yang suka berpolitik. Ia disebut ”pohon berkaki banyak” karena kaki kekuasaannya di mana-mana, membuat jorok dan sumpek wilayah sekitarnya.

Barisan beringin sebenarnya jadi hiasan yang menyejukkan mata. Kalau akar-akarnya menggelantung panjang ke bawah, politisi yang kekanak- kanakan senang karena bisa main ayunan sembari teriak-teriak bak Tarzan.

Riset untuk Masa Depan Bangsa

Hermawan Sulistyo 

Ketika kota Detroit akhirnya benar-benar bangkrut karena industri otomotifnya hancur, pasti Friedman dan Mandelbaum senang sekaligus sedih. Keduanya telah memprediksi kebangkrutan ini dalam buku mereka, That Used to be Us (2011).

Senang karena ramalan mereka benar dan sedih karena yang mereka sarankan untuk bangsa Amerika tidak atau belum sempat direalisasikan untuk menyelamatkan kasus-kasus seperti Detroit. AS memang sedang galau. Defisit anggaran, stagnasi ekonomi, pengangguran, dan sejumlah persoalan pelik lainnya, termasuk perang melawan terorisme yang tak ada ujungnya.

Lalu, pelajaran apa yang dapat dipetik bagi Indonesia? Friedman dan Mandelbaum mengajukan lima pilar bagi kesejahteraan AS masa depan: pendidikan, infrastruktur, keterbukaan imigrasi, riset, dan peraturan dalam bidang ekonomi. Kelimanya harus jadi prioritas kalau AS tak mau nasibnya terpuruk ditelan China, India, dan lain-lain.

Demokrasi atau Borjuasi?

Ferdy Hasiman

Setelah pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang diamendemen oleh UU No 32/2004, otoritas pemberi konsesi pertambangan beralih ke pemerintah daerah: gubernur, bupati, atau wali kota. Lisensi yang diberikan UU menjadi (mesin) ATM untuk menarik banyak uang dari investor.

Pemda tak peduli apakah pemberian izin konsesi menabrak aturan hukum yang berlaku atau tidak. Asal saja ada potensi tambang, emas, nikel, batubara, dan mangan di bawah perut bumi, semuanya digadaikan kepada korporasi tambang. Pemberian izin tiap tahun pun meningkat tajam. Sampai 2012, izin usaha pertambangan (IUP) mencapai 10.235. Dari jumlah itu, hanya 4.151 IUP dinyatakan bersih. Adapun 6.084 IUP dinyatakan ilegal.

Kekuasaan an sich tidak baik dan tidak buruk. Persoalannya, bagaimana kekuasaan itu digunakan, sangat bergantung pada integritas sang penguasa. Jika integritas penguasa runtuh, kebijakan publik untuk kepentingannya. Begitulah pemda pada zaman otonomi daerah ini menggunakan kekuasaan.

Menghargai Petani Kedelai

Soekam Parwadi 

Inilah ironi petani kedelai. Setelah bertahun-tahun menanam dengan pola padi-padi-kedelai, dua tahun terakhir kedelai ditinggalkan para petani di Desa Genengadal, Kecamatan Toroh, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Hasil panen dan harga kedelai yang tidak memadai menjadi alasan utama.

Kebiasaan menanam kedelai sebenarnya menguntungkan karena air irigasi saat kemarau tidak cukup untuk bertanam padi, sekaligus menyuburkan tanah.

Namun, musim lalu, dari setengah hektar pertanaman kedelai hanya diperoleh tak lebih dari 6 kuintal wose kering. Dengan harga Rp 4.000/kg, pemasukan kotor hanya Rp 2,4 juta. Kalah jauh jika dibandingkan dengan jagung, melon, atau semangka yang mulai mereka tanam.

Keputusan petani Grobogan juga terjadi di kawasan Demak, Pati, Kebumen, Brebes, Tegal hingga Bali. Alasannya hampir sama, produktivitas rendah dan harganya murah. Mereka tak sanggup bersaing dengan kedelai impor yang dianak-emaskan pemerintah.

Inilah penyebab utama rendahnya produksi nasional saat ini yang hanya sekitar 800.000 ton/tahun. Untuk memenuhi kebutuhan kedelai produsen tempe-tahu sebesar 2,5 juta ton lebih, pemerintah mengimpor kedelai.

Dari Neuron ke Nasion

Musa Asy’arie

Akhir pekan ini di Makassar, Sulawesi Selatan, ada pertemuan ilmiah menarik. Masyarakat Neurosains Indonesia menggelar kegiatan yang membahas ”From Neuron to Nation”. Salah satu yang hendak dibahas adalah bagaimana membuat otak normal menjadi otak sehat.

Otak sehat ditandai dengan adanya mekanisme berpikir yang mampu menembus batas-batas dimensi fisik serta memasuki dimensi nilai-nilai dan spiritual agar dapat menyatukannya dalam tindakan yang memberi manfaat bagi banyak orang.

Prof Moh Hasan Machfoed selaku Ketua Umum Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (Perdossi) menjelaskan bahwa fungsi otak tidak akan berjalan baik tanpa keterlibatan neuron sebagai inti sistem saraf. Otak sehat bukan sekadar normal, melainkan juga berarti: berfungsinya neuron yang memungkinkan otak bekerja dengan baik sehingga baiknya fungsi neuron akan mencerminkan baiknya karakter suatu bangsa.
Penjelasan itu dapat dipahami: pembentukan karakter bangsa berkaitan dengan fungsi neuron dalam otak yang memungkinkan seseorang berpikir sehat.

20/09/13

Eksistensi Masyarakat Hukum Adat

Transtoto Handadhari 


PUTUSAN Mahkamah Konstitusi RI Nomor 35/PUU-X/2012 tanggal 16 Mei 2013 yang mengabulkan gugatan atas beberapa pasal dalam UU Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999 melegakan pemohon. Akan tetapi, hal itu berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan dan kerusuhan sosial apabila ada politisasi yang memainkan potensi masyarakat hukum adat.

Hilangnya kata ”negara” pada Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan No 41/1999, sebagai keberhasilan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu, menjadi faktor penting yang melepaskan hutan adat dari hutan negara. Dengan demikian, hutan adat tidak lagi berada dalam penguasaan legal UU Kehutanan, tetapi beralih di bawah kepengurusan UU Agraria. Hutan adat pun dimaknai sebagai hutan hak (Dirjen Planologi Kehutanan, 2013).

Lalu Lintas Besi

Acep Iwan Saidi 

Tabrakan maut mengentak kita lagi. Selain berbelasungkawa kepada para korban, marilah kita melihatnya dari perspektif lain. Selama ini para ”pelaku kecelakaan” berasal dari papan atas dan korbannya rakyat biasa.

Apa yang terjadi jika posisinya terbalik? Bagaimana jadinya kalau si ”biasa” menubruk si ”istimewa”? Mungkin alur narasi berbeda: tidak mungkin si biasa membiayai hidup keluarga si istimewa.

Peristiwa berulang itu seolah mengirim pesan ”Marxian” bahwa pertentangan kelas masyarakat sedang terjadi di atas jalan raya, meski obsesi Karl Marx gagal dalam kasus ini: bukan kelas tuan yang kalah, justru kelas hamba yang lumat.

Tidak Main Dadu

L Wilardjo  

Di Kompas edisi 17 September lalu, pada halaman 7, Andrianto Handojo, yang Ketua Dewan Riset Nasional, mencerahkan kita dengan opini yang ringkas, bernas, dan jelas tentang ruh pendidikan tinggi.

Guru Besar Fisika Teknik Institut Teknologi Bandung itu, antara lain, mengatakan, dalam melakukan penelitian, pikiran mesti terbuka, tetapi dingin dan tanpa pamrih serta dalam berbagi hasil penelitian melalui publikasi atau presentasi, kita harus obyektif, jujur dan rendah hati. Itulah, kata Andrianto, yang disebut disinterestedness oleh Daoed Joesoef.

Memang pada masa Orde Baru ketika CSIS berpengaruh dalam pemerintahan dan Daoed Joesoef menjadi Mendikbud, ia menekankan bahwa ilmu itu ya proses, ya produk, ya paradigma. Paradigma itulah yang bagaikan bintang pemandu, Leitstern, menuntun proses menuju ke produk.

Polisi Melawan Korupsi

Febri Diansyah 

Dalam beberapa hari ini terjadi balas-berbalas pernyataan antara Kapolri dan Komisi Pemberantasan Korupsi. Di sebuah acara diskusi coffee morning Komisi Pemilihan Umum, pemimpin KPK menyampaikan data sebuah survei yang kemudian di beberapa media ditulis, ”Polri sebagai salah satu lembaga terkorup”. Tanggapan Kapolri, ”Kami menerima kritik dan bersedia berubah.” Sebuah respons positif. Namun, cukupkah komitmen lisan itu?

Yang disampaikan pemimpin KPK sebenarnya bukan data yang benar-benar baru. Transparency International secara rutin memublikasikan dalam produk yang disebut Global Corruption Barometer (GCB). Terakhir, pada 2013, lima sektor terkorup dari 107 negara yang disurvei adalah partai politik, polisi, petugas pelayan publik, parlemen, dan pengadilan.

Kecenderungan data global itu juga terlihat di Indonesia. Berdasarkan GCB tahun 2003-2013, parlemen, partai politik, polisi, dan pengadilan bergantian berada pada posisi institusi yang dipersepsikan paling korup di Indonesia. Polisi beberapa kali berada pada nilai terendah, berkejar-kejaran dengan parlemen.
Rekening gendut

Interaksi Simbolik Ibadah Haji

Fathorrahman 

Bulan haji sudah tiba. Para jemaah yang dinyatakan memenuhi persyaratan telah diberangkatkan. Jemaah calon haji yang terganjal sistem kuota maupun lainnya mesti bersabar.

Barangkali ada hikmah yang bisa dipetik dari kondisi yang tidak nyaman ini. Jemaah yang kini sudah mulai tiba di Tanah Suci perlu memahami makna filosofis dan sosiologis dari setiap rangkaian rukun yang berlangsung di dalamnya.

Haji dalam pandangan Ali Syariati merupakan sebuah demonstrasi simbolis dan suatu pertunjukan banyak hal yang dilakukan secara masif untuk menghayati filosofi tentang penciptaan makhluk, sejarah peradaban, keesaan Tuhan, ideologi agama, dan kesatuan ummah.

Berbagai rukun yang bersifat wajib ataupun sunah dalam haji tak terlepas dari pergulatan simbolis yang melingkupi setiap sendinya. Semisal melempar jumrah, sai antara Shafa dan Marwah, berteduh di Padang Arafah di tengah malam, melakukan tawaf dengan mengelilingi Kabah, menggunakan pakaian ihram, mencukur rambut, dan lain sebagainya merupakan sarana pertunjukan yang tak hampa makna. Namun, setiap tindakannya mempunyai definisi tersendiri mengapa setiap rukun tersebut harus dilakukan sebagai syarat pemenuhan ibadah haji.

Legasi Intelektual

Suwidi Tono 

Bagiku, pendidikan itu educating the heart. Namun, di negeriku, pendidikan itu educating the brain. Hasilnya: a flock of new barbarian. Yang cakap, cerdas, berpengetahuan tinggi, cuma siap bekerja dan dipekerjakan sebagai ahli bayaran.”

Sindiran Profesor Soetandyo Wignjosoebroto ini dicetuskannya lagi saat berbicara pada diskusi Forum ”Menjadi Indonesia”, di Jakarta, 19 Mei lalu, bertajuk ”Kemiskinan Karakter Bangsa”. Beberapa bulan sebelum wafat, ia juga menulis di Facebook: ”Mengapa aku merasa aneh dan asing di kampus? Pembicaraan di mana-mana kok hanya menyangkut pekerjaan teknis, bukan perburuan meningkatkan harkat ilmu dan martabat ilmuwan. Apakah kampus lain juga begitu?”

Kemasygulan Guru Besar Emeritus Sosiologi Hukum Universitas Airlangga itu menyegarkan kembali kekhawatiran Julien Benda tentang the betrayal of intellectual, pengkhianatan kaum intelektual. Di sini, pesan Albert Einstein (1938) ketika revolusi industri bergemuruh melanda Eropa dan Amerika menjadi relevan: ”Perhatian kepada manusia itu sendiri dan nasibnya harus selalu merupakan minat utama dari semua ikhtiar teknis, agar buah ciptaan pemikiran kita merupakan berkah dan bukan kutukan terhadap kemanusiaan”.

Karya Seni Sahabat Pencuri

Agus Dermawan T  

Pada 12 Agustus 2013, di satu koran nasional, saya memublikasikan artikel mengenai rencana pendirian museum musik di Solo. Dalam artikel tersebut saya menekankan bahwa menggagas lahirnya museum adalah mudah.

Tetapi menyosialisasi, mengurus, apalagi menjaganya, sungguh susah. Untuk membuat museum diperlukan keseriusan penyiapan perangkat. Dari sarana promosi, pemeliharaan, sampai (ini yang terpenting): keamanan.

Belum genap sebulan artikel itu dimuat, Museum Nasional Indonesia di Jakarta kecolongan (lagi). Empat benda bersejarah peninggalan Kerajaan Mataram (sekitar abad X) raib. Perhiasan berlapis emas diketahui tidak ada di lemari pada 11 September 2013. Dipastikan, karya seni bernilai tinggi itu dicolong maling.

Anehnya, dalam kehebohan itu semua pihak yang bertanggung jawab, seperti Kepala Museum sampai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, berkomentar bahwa sistem keamanan museum lemah. Kehilangan itu seolah bukan tanggung jawab mereka, melainkan tanggung jawab ”si sistem” atau ”si alat pengaman” yang tak berdaya.

Sikap Teritorial TNI

Sayidiman Suryohadiprojo

TNI Angkatan 1945 memberikan perhatian besar kepada sikap teritorial. Hal itu tergambar dalam isi Sapta Marga yang dirumuskan pada permulaan 1950-an.

Daftar penilaian yang secara teratur dibuat untuk setiap anggota memberikan tempat penting untuk penilaian sikap teritorial dari anggota yang dinilai, khususnya pangkat perwira dan bintara. Hal ini terutama dilakukan dalam TNI AD, tetapi juga tidak diabaikan dalam TNI AL dan TNI AU.

Sikap teritorial dianggap penting sebagai hasil perang kemerdekaan dan menguat setelah beragam pengalaman TNI setelah 1950 serta memperhatikan pengalaman bangsa lain.

Sikap teritorial adalah sikap yang berupa kedekatan tentara dengan rakyat dan masyarakat, terutama di daerah tentara berada. Kedekatan itu mengandung makna kedekatan fisik dan psikis serta berusaha memahami pikiran dan perasaan rakyat, termasuk berbicara dengan rakyat dalam bahasa daerah. Lebih-lebih lagi sikap perbuatan yang mendekatkan diri kepada rakyat.

Dengan memahami dan menunjukkan perhatian kepada rakyat, rakyat pun akan merasa dekat dengan tentara dan cenderung mendukung yang dilakukan dan diperjuangkannya.

Berharap kepada Komite HAM PBB

Sumarsih 

Ketika dunia luar menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia, begitu pula ketika Indonesia terpilih menjadi Ketua Komisi HAM PBB, orang akan yakin bahwa penegakan dan perlindungan HAM di Indonesia telah terwujud.

Terbitnya sejumlah undang-undang mengenai HAM dan pidato pejabat yang selalu berucap menjunjung tinggi HAM memang cukup signifikan membentuk opini internasional, tetapi kontradiktif dengan kondisi nyata. Pencitraan itu memperparah luka hati korban dan keluarga korban pelanggaran HAM yang selama ini menuntut penyelesaian kasus, tetapi tak mendapat perhatian negara.

19/09/13

Hadiah sebagai Kuda Troya

Eko Wijayanto

Keberadaan uang 100 dollar AS dalam buku pleidoi Djoko Susilo tempo hari bukan suatu masalah sederhana. Penemuan uang dalam pleidoi saat persidangan tersebut adalah kasus pertama dalam sejarah peradilan Indonesia.

Menurut Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bambang Widjojanto, uang 100 dollar AS dalam lampiran naskah pleidoi yang diberikan kepada jaksa KPK telah mencemarkan wibawa pengadilan serta melecehkan jaksa KPK, para pencari keadilan, dan upaya pemberantasan korupsi (Kompas, 29 Agustus 2013).

Menajuk Kurikulum 3.1

Iwan Pranoto 

Pada 1993 Microsoft menggagas Encarta, sebuah ensiklopedia digital. Awalnya Microsoft mengajak ensiklopedia konvensional yang sudah seabad terkenal, Britannica, bergabung. Namun, Britannica menyadari bahwa bergabung dengan Encarta adalah tindakan bunuh diri. Ensiklopedia ternama ini menolak ajakan itu.

Setelah ada Encarta dengan keindahan multimedianya, tak memakan rak buku, dan harganya terjangkau, masyarakat akhirnya tak tertarik lagi pada ensiklopedia konvensional. Walau dengan tampilan mewah berlapis bahan kulit asli, Britannica tewas. Memperbarui edisi Encarta jauh lebih praktis daripada edisi ensiklopedia berbasis kertas. Encarta telah membunuh Britannica.

Perlu dicatat, Encarta membunuh Britannica hanya bersenjata keringkasan dan kecantikan tampilan. Kenyataannya, ini hanya memindahkan ensiklopedia kertas menjadi informasi digital dalam cakram padat. Paradigma Encarta sama dan sebangun dengan Britannica atau ensiklopedia konvensional lain. Walau penjelasan dalam Encarta indah melibatkan multimedia, gagasannya tetap: informasi tetap searah dari satu otoritas sebagai sumber dan pengguna pasif menyerapnya.

Pencurian Benda Purbakala dalam Konteks KUHP

M Ali Zaidan 

Museum Nasional dibobol”. Demikian berita utama harian ini, Jumat (13/9/2013). Judul utama itu dilengkapi dengan anak judul, ”Empat Koleksi Emas Berumur 1.000 Tahun Hilang”.
Dalam konteks ini apakah hilangnya benda bersejarah itu harus dianggap pencurian biasa atau sebuah musibah besar, yakni hilangnya identitas bangsa ini.

Pencurian benda-benda bernilai sejarah dan jadi bukti perjalanan bangsa ini telah jamak terjadi dan uniknya selalu berulang. Kelalaian, kekurangsigapan, atau keterbatasan anggaran maupun fasilitas jadi kambing hitam yang empuk untuk ditumbalkan. Namun, semua itu menunjukkan kurangnya kepedulian bangsa ini terhadap benda- benda yang bernilai sejarah dan penting untuk diwariskan kepada generasi penerus bangsa.

Politik Rasialis “Biarawan Gila”

Rene L Pattiradjawane

Pernyataan calon Menlu Australia yang baru, Julie Bishop, yang berada di bawah PM Tony Abbott mengakhiri kekuasaan Partai Buruh selama enam tahun dengan tersingkirnya Kevin Rudd, menerapkan kebijakan tanpa persetujuan Indonesia terkait manusia perahu, adalah arogansi yang tidak kita harapkan dari hubungan bilateral.

Menlu Marty Natalegawa mengatakan kebijakan itu tidak sejalan dengan kemitraan kedua negara (Kompas, 17/9). Kita pun melihat kebijakan baru ”mad monk” (biarawan gila, sebutan Abbott oleh pers Australia ketika ia masih menjadi anggota parlemen karena sangat agresif) bisa merusak tatanan hubungan Indonesia-Australia.

Keputusan Abbott menggelar ”Operasi Perbatasan Berdaulat” di bawah seorang jenderal bintang tiga menjadi serangan langsung kedaulatan Indonesia dengan cara membeli kapal-kapal nelayan Indonesia agar tidak bisa dipakai para pengungsi serta mengirim polisi membayar warga Indonesia yang melaporkan adanya orang asing di wilayah mereka.

18/09/13

Tantangan Negara Preman

R William Liddle 

The Act of Killing, tindakan pembunuhan, film dokumenter baru tentang pembantaian massal 1965-1966 di Indonesia, sedang ditayangkan di seantero Amerika Serikat.

Pengambilan gambar di Indonesia dilakukan antara 2005 dan 2009. Saya menonton di Columbus, di bioskop dekat kampus Ohio State University, terdorong oleh perhatian pengamat politik dan film yang makin meningkat.

The Act of Killing diciptakan produser muda, Joshua Oppenheimer, yang berwarga negara Amerika dan Inggris, tetapi fasih berbahasa Indonesia. Film itu menggambarkan, melalui mata sejumlah pelaku di Medan, betapa kejam dan sadis tindakan orang antikomunis zaman itu. Namun, klaim utamanya adalah pelaku tersebut, dan penerus mereka, masih berkuasa hingga sekarang.

Bapak Bangsa

Sukardi Rinakit  

Saat ini saya sedang sibuk menjadi Panitia Seleksi Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia. Di kampus ini banyak dosen mumpuni, baik secara keilmuan maupun manajerial, sehingga saya dihinggapi keyakinan Plato, seperti filsuf, siapa pun dosen yang diusulkan departemen atau atas inisiatif pribadi terpanggil untuk memimpin, ketika terpilih nanti, ia akan menjadi pemimpin yang diselimuti virtue (kebajikan). Dengan demikian, kemajuan dan kehormatan fakultas dan universitas selalu terjaga.

Dalam situasi seperti itu, saya justru sering termangu-mangu. Jika seorang dekan saja layak mendapatkan penghormatan tinggi apabila dia berhasil membangun intelektualitas para mahasiswa dan kemajuan fakultasnya, lalu bagaimana kita menempatkan Bung Karno dalam konstruksi, meminjam istilah Daoed Joesoef, Tanah Air formal (negara-bangsa)?

Calon Presiden Pilihan Survei

M Alfan Alfian 

The presidency is more than a popularity contest — Al Gore

Sejak pemilihan presiden diselenggarakan secara langsung, survei-survei politik semakin dipandang sedemikian penting.

Tidak dapat dimungkiri, metode survei merupakan cara ampuh untuk melihat kecenderungan politik populer yang berkembang. Kita masih ingat, kemenangan Susilo Bambang Yudhoyono yang berpasangan dengan Jusuf Kalla pada Pilpres 2004 sudah dapat dicandra oleh hasil-hasil survei. Pada Pilpres 2009 dan menjelang Pilpres 2014, lembaga survei sudah sedemikian hiruk-pikuk beraktivitas dalam menelisik derajat popularitas dan elektabilitas para tokoh bakal calon presiden (capres).

Dalam demokrasi langsung, popularitas tokoh politik penting. Wajar, manakala politisi, sebagaimana artis, butuh terkenal dan dukungan publik luas. Maka, idealnya politisi harus hadir dan aktual. Kalau tidak, mereka akan tenggelam. Barangkali memang demikian adanya: politisi dituntut untuk profesional dalam merespons banyak hal, tetapi tetap dibarengi dengan kecanggihan merawat basis dukungan. Ibarat kontes penyanyi idola, politisi tidak hanya dituntut punya suara yang merdu, tetapi juga meraup dukungan terbanyak. Media massa, pengamat politik, dan komentar publik di ranah sosial media ibarat juri komentatornya.

Pendidikan Pecundang

Radhar Panca Dahana

Dua trending topics di berbagai media sosial belakangan ini adalah tentang seorang bocah, AQJ, yang menyebabkan kecelakaan hebat di jalan tol, dan seorang pria, Vicky Prasetyo, yang melahirkan istilah ”vickiisme”. Hal itu menggambarkan satu latar belakang yang berwajah sama: kegagalan sistem dan model pengajaran dan/atau pendidikan kita.

Ditimbang dari usia, Vicky yang lahir tahun 1984 atau sekitar 15 tahun sebelum Reformasi jelas bentukan kebijakan politik dan akademik rezim Orde Baru. Bagian dari mereka, yang berulang kali saya tuliskan, menjadi korban terbesar kepemimpinan (alm) Soeharto yang mendangkalkan atau memperkecil ruang imajinasi anak-anak dan remaja lewat represi yang dilakukannya via pendidikan atau model pengajaran secara luas. Sementara AQJ, anak siapa pun dia, sebetulnya ”anak” zaman atau kebudayaan ”kacau” yang dilahirkan Reformasi 1988. Satu zaman yang membuat negeri ini beserta rakyat semestanya, terutama anak muda dan remaja, kehilangan orientasi atau kepekaan spasial (dislokasi)-nya. Satu cacat yang ternyata juga menimpa elite, bahkan mereka para pengambil kebijakan, khususnya kebijakan pendidikan.

Ruh Pendidikan Tinggi

Andrianto Handoyo  

Yang disebut ”abstrak” tidaklah berwujud fisik, bahkan diungkapkan secara tertulis pun acapkali sukar. Contohnya: semangat, cita-cita tinggi, ruh.

Sebagian orang merasa kurang nyaman dengan sifat tak konkretnya karena dianggap kabur, mudah menimbulkan multipersepsi. Maka, timbul hasrat untuk menyatakannya secara tertulis, yang lama-kelamaan marak menjadi kecenderungan untuk menuangkan banyak perkara dalam bentuk kalimat. Dibandingkan belasan tahun silam, kini hampir setiap lembaga dan organisasi gemar menampilkan visi dan misi, apa pun isinya. Sesuai namanya, pendidikan tinggi mengajarkan (dan mengembangkan) ilmu paling tinggi, lebih atas tingkatnya dari pendidikan menengah, apalagi dasar. Apa yang ditekuni benar-benar teratas dan terbaru, diramu dari penemuan para ilmuwan besar, merupakan jejak dari akal budi dan puncak-puncak peradaban manusia.

Dengan materi seperti itu, perlu sejumlah upaya agar tujuan penguasaan ilmu dapat dicapai. Kemampuan menyerap dan menguasai mesti didorong sampai maksimal. Bayangan akan kerumitan dan kesukaran ditembus melalui segala cara. Dengan memanfaatkan buku-buku, artikel dalam jurnal, tanya jawab yang intensif, lagi berpikir tekun seakan tak pernah berhenti.

Momentum Perubahan

A Prasetyantoko 

Tak hanya publik, beberapa media dan lembaga asing pun melihat gejolak ekonomi kali ini berpotensi mengulang krisis 1998. Benarkah krisis Asia kembali mengancam?

Di Tanah Air, banyak pihak bernostalgia dengan krisis yang mendorong Reformasi 1998 itu. Tak bisa disangkal, gejolak selalu memicu perubahan. Mengapa gejolak 2008 tak membuat orang berpikir soal Reformasi 1998? Memang ada konteks ekonomi-politik yang berbeda di setiap gejolak. Kali ini, gejolak terjadi di tengah menipisnya kepercayaan publik kepada pemerintah, dan karena itu sentimen yang sangat buruk bisa saja tak membutuhkan rujukan situasi fundamental yang sama buruknya dengan reaksi yang ditimbulkan. Bisa saja situasi fundamental tak terlalu buruk, tetapi pasar menghukum lebih keras dari kesalahan yang kita lakukan.

Peduli Petani

Ali Khomsan

Untuk meredam gejolak harga, pemerintah memilih jalan termudah dengan impor pangan. Sejatinya, apabila setiap kali muncul persoalan pangan solusinya hanya impor, maka artinya pemerintah semakin tidak peduli kepada nasib petani.

Seorang sarjana IPB yang kini menjadi petani mengeluh di rubrik opini Kompas. Menurut dia, apabila petani hendak menikmati harga beras yang tinggi, pemerintah segera menetapkan kebijakan untuk operasi pasar sehingga harga anjlok kembali dan petani (padi) kembali gigit jari.

Tahun 1970-an kesejahteraan petani dan tenaga kerja industri tidak begitu jauh berbeda. Namun, kini, kesenjangannya begitu besar. Industri melaju jauh lebih cepat dibandingkan sektor pertanian. Serapan tenaga kerja pertanian memang bertambah, tetapi sebenarnya pertanian kita hanya dijejali dengan petani gurem sehingga akhirnya sektor pertanian menjadi penyumbang kemiskinan yang signifikan.

Kesejahteraan petani hingga kini masih merupakan mimpi. Ada pemeo yang mengatakan, kalau ingin hidup tenteram, jadilah petani; kalau ingin dihormati, jadilah pegawai negeri; dan kalau ingin kaya, jadilah pedagang. Kenyataannya kini petani tak bisa hidup tenteram karena kemelaratan, pegawai negeri tak dihomati karena korupsi, dan pedagang pun banyak bangkrut karena produknya tak mampu bersaing dengan produk impor.

17/09/13

Mengisi Kemerdekaan

M Dawam Rahardjo 

Ketika kemerdekaan RI diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, Bung Karno sudah mengatakan bahwa kemerdekaan yang telah dicapai pada waktu itu barulah sebuah kemerdekaan politik, yang makna konkretnya adalah merdeka dari penjajahan.

Proklamasi kemerdekaan pada hakikatnya adalah sebuah declaration of independence yang belum berarti tercapainya kondisi kemerdekaan atau kebebasan, yaitu kebebasan dari ketakutan dan kemiskinan (dalam arti negatif) serta kebebasan berekspresi dan berserikat (dalam bentuk positif). Namun, kemerdekaan itu punya arti penting karena merupakan, sebagaimana kata Bung Karno, ”jembatan emas”: kesempatan menuju masyarakat adil dan makmur. Secara implisit terkandung makna bahwa masyarakat adil dan makmur adalah sebuah kemerdekaan ekonomi yang dapat dicapai melalui pembangunan.

Namun, sejak dini pula Sutan Sjahrir, pendiri Partai Sosialis Indonesia (PSI), melihat gejala belum penuhnya kemerdekaan politik. Ia melihat kecenderungan berkembangnya pemerintahan yang otoriter dan kolektivisme yang ditandai gejala sistem partai tunggal, Partai Nasionalis Indonesia (PNI) yang dipimpin dwitunggal Soekarno-Hatta.

Percepatan Pembangunan Pertanian

Posman Sibuea 

Pengertian urbanisasi dinyatakan sebagai perpindahan penduduk dari desa ke kota. Pemahaman migrasi internal ini sejalan dengan peribahasa ada gula ada semut. Ketika kehidupan di desa kian pahit, kota yang menjanjikan kehidupan lebih manis akan menarik ”semut” untuk datang.

Fenomena kian masifnya urbanisasi bisa dilihat dari makin besarnya gelombang arus mudik saat Lebaran. Urbanisasi merajalela karena ada faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Penduduk desa terdorong pindah ke kota sebab desa sulit diandalkan untuk sandaran hidup. Pembangunan yang menumpuk di kota menjadi magnet kuat menarik kaum urban.

16/09/13

Bao, Gas Sarin, dan Idealisme

Jean Couteau 

Ketika saya kecil, lebih dari lima puluh tahun yang lalu, layaknya anak orang borju generasi itu, saya mempunyai suatu ”nounou”, seorang pengasuh. Pengasuh yang berkeriput itu adalah seorang janda, seorang wanita petani, yang terbelit kemiskinan, dan senantiasa mencari nafkah serta makna hidup dengan mengasuh, dan juga akhirnya mencintai anak-anak kaum borju seperti saya.

Jadi ketika ibu saya berpameran entah di mana dan ayah sibuk entah apa, dialah yang, ketika saya sedih entah kenapa, saya selalu datangi untuk dipeluknya erat-erat. ”Anakku,” katanya halus ketika itu. Dialah pula yang beberapa bulan lalu saya datangi makamnya, yang tak bernama nan ketutup rumput, untuk menangis sambil terisak-isak. Saya kini—mungkin terlambat— menyadari dia telah menjadi ”ibu” saya tanpa pernah berhak atas panggilan yang luhur itu. Ya, dia yang kala itu saya panggil ”Bao” dan kini saya sebut sebagai ”Ibu”, di mata orang tiada lain hanyalah seorang pembantu.

Jadi, Bao, pengasuh yang ”nista” itu, bagi saya kini melambangkan cinta kasih, dan saya masih mencintainya. Dia juga melambangkan kesadaran atas tiada artinya ”jarak sosial” antara Tuan dan Pembantu. Dia membentuk kemanusiaan saya.

Namun mengenang Bao sekarang ini, saya juga mengingat bahwa Bao juga mampu membenci. Siapa yang dibenci wanita luhur itu? Oh, bukan orang dekatnya, bukan pula ayah dan ibu saya, yang dianggap juragan tak terjangkaunya, tetapi mereka yang dia sebut ”les Boches”, julukan orang Jerman yang nista itu. Bangsa yang waktu itu merupakan musuh bebuyutan bangsa kami.

Bao memang bukan membenci tanpa alasan pribadi. Sebelum menjadi pengasuh kami, dia selama dua puluh lima tahun telah merawat suaminya yang sakit. Sakit apa? Sakit paru-paru yang diakibatkan gas sarin, seperti di Suriah baru-baru ini. Ya, suami Bao pernah berada di antara ratusan ribu tentara Perancis yang dibom dengan gas pada waktu Perang Dunia II. Ketika, atas perintah ”serbu”, para serdadu Perancis keluar dari parit perlindungan. Mereka hendak menembak atau membayonet musuh Jerman yang menanti mereka dua ratus meter jauhnya, kerap kali serbuan itu, berikut teriakannya, tiba-tiba disunyikan oleh kabut yang mematikan. Kesunyian gas. Horor atas horor dari perang. Maka tentara Perancis pun berbalas, dan pada gilirannya menciptakan pula kesunyian horor di antara parit-parit Jerman. Akibatnya, ratusan ribu manusia tewas atas nama nasionalisme yang salah kaprah.

12/09/13

Kampanye “Kucing Berkarung Partai”

Mohammad Fajrul Falaakh 

Panitia seleksi bakal calon presiden dari Partai Demokrat menetapkan 11 nama (Kompas, 30/8/2013). Sejumlah nama menolak ikut seleksi, seperti Jusuf Kalla dan Mahfud MD.

Tahap berikutnya adalah konvensi dalam desain yang tak menentu, meski peran kunci Susilo Bambang Yudhoyono (Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Pembina dan Ketua Umum Partai Demokrat) akan digantikan oleh survei elektabilitas bakal capres. Ketakmenentuan disebabkan faktor rekayasa pengecilan jumlah calon dalam pemilihan presiden (pilpres) setelah 2004 dan monopoli partai politik dalam mengusulkan capres/cawapres.

Tulisan ini membahas implikasi seleksi bakal capres Partai Demokrat terhadap proses pemilihan umum anggota legislatif dan pilpres tahun 2014.

11/09/13

Demokratisasi Negara Hukum

Lambang Trijono

Praktik demokrasi di Indonesia saat ini dijalankan begitu dangkal. Diwarnai praktik penggunaan kekuasaan hanya didasarkan aspek legalitas hukum formal, bukan pada legitimasi bersumber dari moralitas politik dan norma hukum publik yang mendalam.

Permasalahan ini mencuat ke permukaan, akhir-akhir ini, dalam kontroversi seputar pengangkatan hakim konstitusi Mahkamah Konstitusi yang baru oleh Presiden, yang digugat Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan MK karena dinilai tak transparan dan demokratis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang MK.
Paradoks politik hukum ini menambah deret ketegangan hubungan antarlembaga tinggi negara. Bukan hanya antara lembaga yudikatif dan eksekutif, melainkan juga antara lembaga yudikatif dan kekuatan-kekuatan politik di lembaga legislatif, seperti terjadi dalam kasus sengketa pilkada. Sejumlah paradoks itu menimbulkan komplikasi tersendiri pada praktik demokrasi, terutama terkait independensi MK, independensi lembaga pemilu, proses legislasi di parlemen, dan penentuan pejabat publik di lembaga pemerintahan.
Gugatan koalisi masyarakat sipil itu memberikan arti positif bagi demokratisasi penggunaan kekuasaan dan praktik hukum di Indonesia. Gugatan itu bisa dimaknai bukan hanya sebagai gugatan hukum semata, melainkan juga kontrol masyarakat sipil terhadap kecenderungan penggunaan kekuasaan berlebih—dalam hal ini otoritas Presiden—agar tidak terlalu masuk ke ranah yudikatif atau memengaruhi produk yurisprudensi.

Keterangan Saksi dan Sumpah Palsu

Eddy OS Hiariej

Barry AJ Fisher dalam Techniques of Crime Scene Investigation (2003) menyatakan bahwa sistem penegakan hukum pidana yang hanya mengandalkan pada alat bukti saksi makin lama makin tidak andal.
Selain rawan penyelewengan, alat bukti saksi tak dapat mengungkapkan suatu kejahatan yang dilakukan secara sistematis, terstruktur, atau dengan menggunakan sarana modern. Menurut Fisher, physical evidence sebagai bukti lepas secara bebas yang diperoleh dari penyidikan profesional lebih obyektif dalam hal membuktikan suatu kejahatan.

Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 29 Agustus 2013, terkait suap kuota impor daging sapi, Ridwan Hakim berbelit-belit saat memberi keterangan, terkesan menutupi keterlibatan orang tertentu dalam kasus itu. Bahkan, saat diperdengarkan rekaman pembicaraannya dengan Ahmad Fathanah (terdakwa kasus itu), Ridwan berkelit dengan senjata pamungkas: lupa atau tidak tahu. Hakim telah berupaya mengingatkan saksi terkait sumpah di bawah Al Quran. Ridwan bergeming.

Dalam konteks hukum acara pidana, keterangan yang diberikan di depan sidang pengadilan oleh saksi berkonsekuensi hukum. Selain di bawah sumpah, keterangan itu punya nilai sebagai alat bukti keterangan saksi. Jadi, keterangan yang diberikan adalah sungguh-sungguh terjadi, dialami, didengar, dan dilihat sendiri sebagaimana lafal sumpah sebelum memberi kesaksian: ”menyatakan yang sebenarnya tidak lain dari yang sebenarnya”. Saksi yang memberi keterangan yang tak benar diancam dengan pidana penjara tentang sumpah palsu dan keterangan palsu.

09/09/13

Lupakan Jokowi

Donny Gahral Adian

Jokowi adalah meteor di alam raya politik republik ini. Elektabilitasnya melesat jauh di atas pesaing-pesaingnya. Alhasil, percakapan politik pun hanya mengerucut pada dua pilihan: Jokowi atau kompetisi.

Artinya, jika Jokowi mencalonkan diri, maka tidak ada kompetisi sama sekali. Kompetisi baru sengit jika Jokowi tetap setia mengurus Jakarta. Ini wajar saja. Namun, politik terlalu sederhana jika pilihannya hanya Jokowi atau kompetisi. Politik yang sederhana tidak menarik. Politik baru menarik jika menjadi arena perebutan kekuasaan oleh calon-calon pemimpin yang sama kuat.

Persoalannya, partai-partai saat ini tidak mampu melahirkan kader terbaik. Di pihak lain, kelompok-kelompok nonpartai mengidap alergi politik yang akut. Tak heran, Jokowi ibarat setetes air di bejana kosong politik republik ini.

Mengalahkan Meksiko dan Spanyol

Salahuddin Wahid

Dalam kaitan mengikuti konvensi calon presiden Partai Demokrat, Menteri BUMN Dahlan Iskan memaparkan empat programnya apabila terpilih menjadi presiden 2014.

Dalam lima tahun kepemimpinannya, Indonesia akan menjadi negara besar yang bisa mengalahkan Meksiko dan Spanyol dari sisi ekonomi dengan produk domestik bruto (PDB) paling tidak 2.000 miliar dollar AS.

Menurut menteri BUMN itu, program selanjutnya adalah meningkatkan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG) untuk menaikkan urutan Indonesia di atas Vietnam. Kita sekarang di bawah Vietnam. Dulu kita pernah di atasnya. Sekarang kita di urutan ke-122 dan Vietnam sudah di urutan ke-75. Dahlan Iskan sudah kontak beberapa pihak di bidang MDG bahwa kita harus meningkatkan kualitas manusia kita sehingga kita sudah bisa kembali di urutan ke-70, ke-75, sampai ke-80 pada 2019.

03/09/13

Saatnya Orang Non-Jawa

Radhar Panca Dahana

Satu dari beberapa gosip beraroma mistis mengatakan keberhasilan Joko Widodo menjadi Gubernur Jakarta menjadi semacam penyempurna dari gagalnya serangan masif yang dilakukan Raja Mataram Sultan Agung, pada Batavia hampir empat abad yang lalu.

Ada pula yang mengatakan sukses Jokowi menaklukkan Jakarta lantaran secara etimologis keduanya bermakna sama. Jakarta bisa merupakan turunan dari Jayakarta (arti: kemenangan yang gemilang), tapi bisa juga peleburan kata ”jaka” dan ”karta” (arti: lelaki yang sukses meraih hasil usahanya). Sementara ”joko” yang berarti lanang bener alias lelaki sejati yang memiliki sifat dan kapasitas ”widodo” yang beruntung, selamat, dan sukses dalam usahanya.