30/03/13

Bebas dalam Kasih

Franz Magnis-Suseno

Bagi umat Kristiani di seluruh dunia, hari Paskah, yang oleh Gereja Katolik dan Gereja Protestan tahun ini dirayakan pada tanggal 1 April, pada hari minggu pertama sesudah bulan purnama musim semi pertama, merupakan hari gembira. Pada hari itu, mereka memperingati momen Yesus dibangkitkan Allah dari kematian-Nya di salib.

Dengan demikian, hari Paskah merupakan hari kemenangan atas kematian, tetapi bukan kemenangan dengan tari gembira, bukan kemenangan yang menghancurkan musuh. Tidak ada musuh yang mau dikalahkan Yesus.

26/03/13

Hukum Rimba

Azyumardi Azra

Serbuan sekitar 17 orang yang disebut petinggi TNI AD di Jateng sebagai ”gerombolan” bersenjata api laras panjang, pistol, dan granat ke Lapas Cebongan, Sleman, DIY, Sabtu (23/3) dini hari, agaknya adalah indikasi ”paling sempurna” tentang kian merajalelanya hukum rimba di negeri ini.

Mengambil hukum ke tangan mereka (taking into their hands), ”gerombolan” tersebut menewaskan empat orang asal Nusa Tenggara Timur, tahanan titipan Polri yang merupakan tersangka pengeroyokan yang menewaskan anggota Kopassus TNI AD, Sertu Santoso, Selasa (19/3), di sebuah kafe di Sleman.

23/03/13

Berharap Loyang jadi Emas

Yudhistira ANM Massardi

Di sekolah gratis yang kami kelola, TK-SD Batutis Al-Ilmi Bekasi, kurikulum diberikan secara individual, bukan massal, dan tidak disakral-sakralkan.

Seperti di Finlandia, negara dengan sistem pendidikan terbaik saat ini, para guru membuat kurikulum berdasarkan kebutuhan tiap siswa. Untuk itu, mereka harus memahami tahap perkembangan (piaget), kecerdasan jamak (gardner), cara kerja otak (medina) dan gen (ridley/murakami), serta domain kurikuler.

Pembelajaran diselenggarakan dengan Metode Sentra dari AS yang diadopsi oleh Wismiarti Tamin di Sekolah Al-Falah, Jakarta Timur, tahun 1996. Kurikulum mengalir fleksibel, berpusat kepada siswa, dikemas secara tematik-integratif-eksploratif, dan membangun rasa bahagia. Tujuannya: membangun insan kamil yang cinta belajar.

Program Gagal

Tulisan Mendikbud Mohammad Nuh, ”Kurikulum 2013” (Kompas, 7/3), dengan semangat ”pokoknya Kurikulum 2013 harus jalan”, selain defensif, juga terlalu normatif dan simplistis karena mengabaikan proses pelaksanaan di lapangan.

Mendikbud juga menegaskan, Kurikulum 2013 dikembangkan atas dasar ”...kajian KBK 2004 dan KTSP 2006” yang merupakan program gagal, tetapi tetap dijadikan landasan menjawab ”tantangan abad ke-21 serta penyiapan Generasi 2045”.

Kurikulum 2013 adalah proyek yang anggarannya membengkak dari rencana awal, menjadi Rp 2,49 triliun. Konon, untuk biaya pelatihan 1,1 juta guru Rp 1,09 triliun dan pengadaan 72,8 juta eksemplar buku Rp 1,3 triliun. Siapa bisa menjamin itu tidak dikorupsi, misalnya, untuk dana politik 2014? Kenyataannya, di sekolah-sekolah tertentu pelaksanaan dirancang dengan pendampingan berjenjang yang persiapan teknis dan sumber daya manusianya begitu rumit sehingga saat ini belum ada langkah nyatanya.

Proses sosialisasi pun belum dilaksanakan secara nasional sehingga para guru masih melongo tak paham. Padahal, tahun ajaran baru tinggal beberapa bulan lagi. Dengan kata lain, jika proyek yang mahal dan gaduh itu gagal, harap dimaklumi saja.

Tantangan Masa Depan

Tantangan abad ke-21 dan generasi 2045 (menandai 100 tahun Proklamasi Kemerdekaan) adalah membangun manusia bebas yang berkeahlian sesuai minat dan kemampuan individual (era intelegensia). Jadi, proses pendidikan seharusnya tidak lagi totaliter seperti awal abad ke-19 (memenuhi kehendak politik para diktator), robotik (memenuhi kehendak para industrialis), dan kolonialistik/kleristik (memenuhi kehendak para penjajah dan melahirkan mental pegawai).

Pendidikan menuju masa depan adalah pendidikan yang membebaskan, membuka pintu bagi anak didik agar bisa mewujudkan cita-cita sesuai minat dan bakat masing-masing. Mereka akan menjadi pribadi mandiri yang siap saling berkolaborasi.

Kata kuncinya adalah kurikulum harus bisa menjawab secara konkret-operasional problematik yang disebutkan Mendikbud dalam tulisannya, ”...para peserta didik SD belum terlatih berpikir abstrak”. Siapa yang harus membangun kemampuan berpikir abstrak anak-anak SD itu? Benar, untuk itu, ”peran bahasa menjadi dominan”. Namun, memangnya penguasaan, pemakaian, dan pola pengajaran bahasa Indonesia di republik ini sudah baik dan benar, khususnya kalangan pendidik dan pemimpin?

Di semua akademi seni rupa, setiap calon pelukis harus mengawali proses pembelajaran dengan penguasaan teknis anatomis/realis. Para maestro abstrak, seperti Affandi, Fadjar Sidik, Widajat, Picasso, dan Piet Mondriaan melewati proses realismenya dengan sangat cantik.

Menurut teori tahap perkembangan dan cara kerja otak, kemampuan berpikir abstrak hanya bisa dibangun dengan basis pemahaman konkret. Pemahaman konkret yang lemah mengakibatkan pemahaman abstrak lemah. Ini penyakit kronis bangsa kita sehingga semua aturan dilanggar dan korupsi merajalela!

Solusi pembangunan fondasi yang kokoh pada setiap anak adalah peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini! Itu sebabnya, usia 0-7 tahun disebut golden age. Pada masa itu kemampuan berpikir konkret dibangun melalui pembelajaran secara konkret. Jika di TK pembangunan penalaran konkret sudah selesai, di SD dan jenjang selanjutnya anak sudah siap dengan penalaran abstrak!

Jika anak sudah siap dengan pemikiran abstrak, dia siap menjadi manusia yang berpendidikan dan berkebudayaan.

Pendidikan Usia Dini

Presiden Amerika Serikat Barack Obama serius terhadap pendidikan anak usia dini. Untuk menciptakan ”generasi Apollo” baru, ia berjuang meloloskan anggaran 10 miliar dollar AS per tahun untuk peningkatan kualitas pendidikan anak usia 4 tahun. Ia, didukung kalangan bisnis Amerika, percaya pada analisis ekonom penerima Nobel, James J Heckman, yang menyatakan, investasi pendidikan anak usia dini lebih efektif dan ekonomis. Tanpa itu, perusahaan harus memberikan pelatihan lagi kepada para karyawan.

Di sini, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi terpaksa harus berencana meningkatkan kualitas 53,9 juta tenaga kerja yang mayoritas lulusan SD dengan anggaran Rp 10 triliun per tahun! Itu pula sebabnya, Pemerintah China menggenjot program peningkatan kualitas pendidikan anak usia dini.

Kurikulum 2013 sama sekali tidak menyentuh pendidikan anak usia dini (PAUD) yang begitu strategis dan fundamental. Padahal, saat ini setiap tahun sekitar 20 juta anak Indonesia tidak bisa ikut PAUD karena kemiskinan dan kelangkaan fasilitas. Dengan anggaran Rp 2,3 triliun, kita hanya akan menciptakan generasi loyang yang tidak akan bisa jadi emas tanpa peningkatan kualitas PAUD!

Yudhistira ANM Massardi; Praktisi Pendidikan

Jalan Asketisme Politik

Asep Salahudin

  Ketika kawannya, Sultan Muhammad Ibnu Malik, menjadi penguasa dinasti Saljuk, seorang ulama asketik, Imam Al-Ghazali, mengirimkan ucapan selamat dalam bentuk risalah berisi sejumlah petuah sekaligus harapan agar kekuasaan yang telah ada di genggaman karibnya itu mendatangkan berkah dan menjadi saluran yang mewariskan faedah bagi semua.

Al-Ghazali merasa mumpung kekuasaan itu baru saja berada di pangkuan, kecendekiaannya merasa terpanggil untuk turun gunung, lekas mengingatkan bahaya kekuasaan apabila tidak dikontrol dengan nasihat.

22/03/13

Pejabat Jujur Sulit Dicari

Salahuddin Wahid

Berita tentang korupsi melalui TV, koran, radio, majalah, dan media online selama beberapa tahun terakhir telah menjadi makanan kita sehari-hari. Mulai dari pagi, siang, sampai malam kita dijejali berita semacam itu, hingga banyak yang merasa bosan.

Menteri, gubernur, bupati, anggota DPR, politisi papan atas, jenderal polisi dan pejabat pemerintah diduga melakukan korupsi. Banyak yang telah dijatuhi hukuman. Bahkan, ada berita tentang dugaan bahwa wakil presiden juga terlibat sebuah kasus besar, entah sejauh mana kebenarannya. Berita tentang Nazaruddin sejak 2011 muncul hampir setiap hari, diikuti berita korupsi oleh beberapa anggota DPR. Terakhir adalah berita tentang Irjen Djoko Susilo yang mempunyai sekitar dua puluh rumah dan beberapa pompa bensin, yang diduga berasal dari hasil korupsi kasus simulator SIM. Kita langsung teringat berita tentang rekening gendut milik beberapa jenderal polisi pada 2010, di mana nama Djoko Susilo ada di dalamnya. Tentu banyak yang menduga nama petinggi polisi yang lain itu juga mempunyai harta sebanyak Djoko Susilo.

18/03/13

Bahasa sebagai "Parole"

Acep Iwan Saidi

Tanggapan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh terhadap beberapa penulis tentang Kurikulum 2013 (Kompas, 7/3/2013) menarik disimak. Tulisan saya sendiri, ”Petisi untuk Wapres” (Kompas, 2/3/2013), tampak menjadi fokus bahasan Mendikbud.

Oleh sebab itu, kiranya menjadi penting untuk memberi tanggapan balik. Akan tetapi, saya tidak akan menulis sebagaimana Mendikbud menulis. Saya pikir, tak perlu membantah tanggapan Mendikbud. Biarkan teks itu menetap dalam kepala publik yang cerdas. Lebih bermakna kiranya jika mengelaborasi butir yang saya anggap penting dalam esai Mendikbud, yakni perspektifnya tentang bahasa Indonesia. Dengan begitu, diharapkan dialog akan menjadi konstruktif.

Strukturalisme Bahasa

Saya sepakat dengan Mendikbud bahwa selama ini pelajaran Bahasa Indonesia tidak disenangi guru dan murid. Oleh karena itu, model pembelajarannya mutlak harus diubah. Saya sendiri berpendapat, pelajaran Bahasa Indonesia tak menarik karena pembelajarannya berpijak pada paradigma strukturalisme. Dalam paradigma ini, bahasa disikapi sebagai sistem (langue), bukan peristiwa dalam wacana (narrative discourse). Apa yang dipahami sebagai subyek, misalnya, adalah subyek dalam kalimat.

Sebagai contoh, kalimat ”Budi pergi ke sawah dan Wati membantu Ibu di dapur” hanya dipahami sebagai kalimat majemuk setara. Siswa tidak diberi ruang untuk mengerti mengapa Budi (laki-laki) yang harus ke sawah, sedangkan Wati (perempuan) hanya membantu ibu di dapur. Lebih jauh, semua siswa di seluruh Indonesia harus menerima Budi dan Wati dalam kalimat tersebut. Tidak boleh siswa Batak menggantinya dengan Tigor, siswa Sunda menukarnya dengan Ujang, dan seterusnya.

Pada ranah pragmatik, strukturalisme menempatkan bahasa sebagai obyek mati, yakni sebagai sarana belaka. Oleh sebab itu, definisi bahasa yang populer diketahui adalah alat komunikasi. Sebagai alat dalam komunikasi, fokus bahasan tentu komunikasi. Sebagai alat, bahasa mesti ditata sedemikian rupa agar komunikasi berlangsung baik. Dari sinilah dikenal istilah kalimat efektif, yakni kalimat yang harus efisien dalam menyampaikan pesan komunikasi. Namun, masalah lalu timbul. Kategori kalimat yang disebut efektif ditentukan oleh kuasa ilmu yang acap tak berpijak pada karakter masyarakat.

Efektivitas bahasa, lagi-lagi, didasarkan strukturalisme atau lebih luas, modernisme, yang salah satu cirinya antitradisi. Dalam dunia desain dan arsitek, misalnya, sejak awal paham ini menyebut ornamen, sebuah kode tradisi, sebagai kriminal (Adolf Loose, 1909).

Di dalam bahasa, modernisme mengharamkan kalimat yang memiliki kode tradisi. Kalimat ”Rumahnya Pak Ahmad bagus” segera akan disebut menyalahi struktur bahasa Indonesia karena enklitika-nya merupakan pengaruh bahasa Sunda (na, bumina) atau Jawa (he, omahe). Bayangkan, karakter budaya sendiri telah diusir dari struktur bahasa Indonesia. Akibat model pembelajaran demikian, bahasa Indonesia menjadi berjarak dengan siswa. Wajar jika pelajaran Bahasa Indonesia tidak disukai. Rasa memiliki bahasa yang hidup dalam ketaksadaran kolektif masyarakat telah dipreteli. Bahasa Indonesia hanya disikapi sebagai ilmu, bukan entitas budaya. Mereka tidak pernah mendapat pemahaman bahwa subyek bahasa Indonesia sebenarnya adalah dirinya, identitasnya sebagai individu dan sebagai bangsa.

Apakah Kurikulum 2013 menjawab persoalan tersebut? Tidak! Eksplisit dalam Kompetensi Dasar
(KD) pelajaran ini bahwa kata kunci untuk bahasa Indonesia adalah pemanfaatan. Dengan kata lain, bahasa Indonesia kembali diletakkan sebagai alat. Artinya, secara konseptual, kurikulum ini masih menggunakan paradigma lama. Walhasil, jika ia diberlakukan, penghormatan siswa terhadap bahasa akan kian terkikis. Maka, jangan bicara soal nasionalisme di situ. Di samping itu, ambisi mempragmatikkan bahasa tanpa dibarengi pemahaman yang memadai tentang fungsi bahasa sebagai ekspresi individu telah menyebabkan KD pelajaran ini terkesan dipaksakan. Ini yang dalam ”Petisi untuk Wapres” saya sebut mengada-ada.

Supaya lebih tegas, perhatikan KD untuk kelas III SD sebagai berikut: ”Memiliki kedisiplinan dan tanggung jawab untuk hidup sehat serta merawat hewan dan tumbuhan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia dan/atau bahasa daerah”. Silakan periksa logika bahasanya: bagaimana bisa kita merawat hewan dengan pemanfaatan bahasa Indonesia? Kalau tidak mau disebut mengada-ada, baiklah saya sebut itu kalimat nirnalar. Bagaimana mungkin perubahan terjadi kalau logika bahasa kurikulumnya saja sudah sedemikian rancu.

Ekspresi Individu

Salah satu penanda penting abad XXI adalah bergesernya pusat filsafat dari otak (rasio) ke bahasa. Ungkapan penegas yang sederhana, buat apa otak jika tak dibahasakan. Namun, yang dimaksud bahasa di sini tak berhenti sebagai alat. Dalam konteks ini, bahasa lebih dilihat sebagai sumbu artikulasi dan kreativitas, sebuah perspektif yang sangat luas dan dinamis. Bahasa adalah sesuatu yang bergerak dalam pengalaman keseharian yang kompleks. Dalam perspektif bahasa sebagai sumbu artikulasi dan kreativitas, benda-benda produksi—termasuk di dalamnya produk teknologi—telah bergeser ke digit kedua. Bahasalah yang menduduki urutan pertama. Kini, konsumsi manusia terhadap benda-benda teknologi lebih banyak digerakkan oleh bahasa.

Konsumsi keseharian kita adalah image, citra, demikian dikatakan Shcroeder (2002). Nilai benda kini tidak bertumpu pada benda itu sendiri, tetapi pada nilai tanda yang dibangunnya. Nilai tanda adalah nilai citra. Bagaimana citra diciptakan adalah topik dalam bahasa.

Bagaimana bahasa Indonesia dapat menduduki posisi demikian? Tak ada cara lain kecuali dipelajari sebagai sumbu artikulasi dan kreativitas, bukan sebagai alat. Jika ilmu bahasa mengatakan frase ”kerupuk kulit ikan” berterima secara gramatikal, pembelajaran bahasa sebagai sumbu kreativitas harus berlanjut pada pertanyaan bagaimana dengan ”kerupuk kulit pisang”? Jika sama-sama berterima, mengapa Anda tak berpikir tentang penciptaan kerupuk kulit pisang juga? Itu hanya amsal kecil.

Bahasa Indonesia punya potensi luar biasa jadi sumbu artikulasi dan kreativitas sedemikian. Caranya dengan mengalihkan tumpuan pembelajaran bahasa pada parole, bahasa sebagai ekspresi individu dalam peristiwa keseharian yang dinamis.

Dengan begini, bahasa Indonesia bukan hanya berfungsi sebagai penyampai ilmu pengetahuan, melainkan juga sumber pengetahuan itu sendiri. Riset saya menunjukkan bahwa konsep ini dapat diturunkan secara teknis sebagai model pembelajaran mulai tingkat sekolah dasar.

Acep Iwan Saidi; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB

16/03/13

Presiden 2014

Ahmad Syafii Maarif 

Jika proses ritual demokrasi Indonesia berjalan lancar, tahun 2014 akan ada lagi pemilihan umum untuk memilih wakil-wakil rakyat untuk parlemen pusat, DPD, dan pemilihan presiden RI yang ketujuh (atau kedelapan jika Sjafruddin Prawiranegara sebagai Ketua Pemerintah Darurat Republik Indonesia dimasukkan dalam daftar).

Pemilihan presiden langsung baru dimulai 2004 sebagai pelaksanaan amendemen UUD 1945 yang mengharuskan presiden dan wakil dipilih secara langsung, sebagaimana juga berlaku dalam pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota. Biayanya memang sangat besar, tetapi inilah risiko yang harus dipikul negara sesuai dengan perubahan UUD yang terasa dikerjakan kurang cermat di tengah euforia demokrasi yang eksesif.

09/03/13

Media Bebas Antikorupsi

Azyumardi Azra

Korupsi seolah-olah tiada habisnya di negeri ini. Bahkan, tampaknya tambah meruyak dengan skala korupsi kian besar.

Lihatlah kasus Inspektur Jenderal Djoko Susilo, misalnya, yang kekayaannya begitu banyak, khususnya properti yang jumlahnya sekitar 12 rumah besar dan rumah mewahnya disita KPK di sejumlah kota. Ini belum terhitung asetnya yang lain. Tidak masuk akal kalau petinggi Polri—seperti juga pejabat tinggi lain dengan gaji relatif terbatas—mampu memiliki kekayaan amat berlimpah. Kalau hanya dari gaji, mana mungkin punya uang untuk membeli aset demikian banyak.

02/03/13

Petisi untuk Wapres

Acep Iwan Saidi

Selamat pagi, Pak Wakil Presiden. Ketika tahun lalu Anda menulis esai bertajuk ”Pendidikan Kunci Pembangunan” (Kompas, 27 Agustus 2012), harapan mengenai perubahan sistem pendidikan ke arah yang lebih baik membuncah di benak saya.

Bukan semata-mata karena gagasan Anda yang brilian pada tulisan itu, melainkan yang utama dan pertama adalah kebesaran hati Anda untuk berkenan menyapa publik, rakyat yang Anda pimpin. Sudah terlalu lama kita tidak mendengar ”suara intelektual” seorang pemimpin di ruang publik melalui sebuah tulisan.