29/01/13

Tantangan Sebuah Bangsa

Radhar Panca Dahana

What is in a date? Apalah arti sebuah tanggal? Sebagai penanda berganti (mata) hari, atau peristiwa-peristiwa yang kita selebrasi secara global?

Tanggal tetap sebuah hal yang abstrak dan kosong. Hal yang sepanjang sejarah kebudayaan mati-matian mau dimaterialisasi. Pikiran yang memiliki anggapan demikian. Seolah waktu bisa kita tundukkan, lalu kita kerat dalam potongan atau satuan tertentu.

28/01/13

Jakarta Darurat

Franz Magnis-Suseno SJ

Bahwa Jakarta dan sekitarnya dalam keadaan darurat tidak perlu diuraikan lagi. Masalahnya, apa yang dapat dilakukan untuk mengatasinya? Penulis tidak mempunyai keahlian dalam hal lalu lintas, apalagi dalam hal kontrol banjir. Maka, saya hanya ingin mengajukan beberapa pertimbangan sederhana yang barangkali juga ada di hati banyak warga DKI Jakarta.

Tidak perlu diragukan bahwa kalau mass rapid transit (MRT) sudah tersedia, situasi lalu lintas di DKI Jakarta akan mengalami perbaikan sangat berarti. Begitu pula kalau terowongan multifungsi sudah jadi, banjir di Jakarta pasti akan berkurang.

Generasi Digital

Radhar Panca Dahana

Dalam sebuah tulisan yang memenangi sayembara penulisan esai Kompas pada 1980-an, saya membahas sebuah masalah yang tergambar dalam judulnya, ”Generasi yang Hilang”. Sebuah istilah yang kemudian muncul pada dekade berikutnya di Amerika sebagai gambaran dari mereka yang lahir di pertengahan 1960-1970-an.

Itulah generasi yang digambarkan dengan bawaan mental yang apatis. Kelompok pemilih terendah dalam soal partisipasi politiknya karena skeptisitas tinggi terhadap realitas kontemporer mereka. ”Generasi yang tersingkirkan dan tak pernah berhasil kembali pada isu-isu mutakhir,” tulis Newsweek.

20/01/13

Saatnya Pengarang Bersinergi

Radhar Panca Dahana

Tidak sedikit, bahkan mungkin masih mayoritas, seniman berpendapat bahwa organisasi atau tertib dan keteraturan berbahaya bagi kreativitas. Dalam cara kerja seniman yang intuitif, emosional, atau moody,tertib dan disiplin organisasi seperti menjadi ancaman (bahkan) pembunuhan manusia kreatif.

Seniman itu ”eksentrik”, ”urakan”, ”susah diatur”, ”semau gue”, dan sebutan-sebutan lain yang memberi semacam privilese atau ”kejaizan” untuk keluar atau melanggar tertib sosial, baik secara yuridis, normatif, manajerial, maupun adat. Sebuah otoritas yang kemudian dipahami secara keliru sebagai bagian dari licentia poetica.

14/01/13

RSBI: Rusak Sudah Bangsa Ini

Yudhistira ANM Massardi

Belum lagi reda debat tentang Kurikulum 2013, kini dunia pendidikan dihebohkan oleh keputusan Mahkamah Konstitusi yang memvonis bahwa proyek Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional dan Sekolah Bertaraf Internasional bertentangan dengan UUD 1945.

Kedua perkara itu menarik perhatian masyarakat luas terutama karena nalarnya dinilai tidak nyambung dan bertentangan dengan pemahaman umum tentang tujuan pendidikan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Salah satu di antara banyak pokok keberatan, baik terhadap Kurikulum 2013 maupun proyek RSBI/SBI, meskipun dimaksudkan untuk peningkatan kualitas, pada praktiknya penghapusan bahasa daerah dan penggunaan bahasa Inggris justru dinilai melemahkan jati diri bangsa.

Proyek Pembuangan

Kritik lain terhadap proyek RSBI/SBI, yang lantas menjadikan sekolah eksklusif dan mahal, adalah melahirkan diskriminasi kaya-miskin dan meniadakan kewajiban negara menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi seluruh warga negara.

Kehebohan ini untuk kesekian kali membuktikan bahwa pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tampaknya tak paham tentang arti dan tujuan pendidikan, apalagi dalam hubungannya dengan kebudayaan. Lahirnya berbagai keputusan yang aneh itu juga menunjukkan bahwa mereka tak paham fungsi Kemdikbud.

Satu-satunya hal yang mereka pahami tampaknya adalah bahwa ada dana triliunan rupiah yang harus segera digelontorkan. Untuk itu, dibuatlah berbagai program sebagai proyek pembuangan uang. Diberitakan, dalam kurun 2006-2010, Kemdikbud telah menyubsidi 1.172 RSBI/SBI dengan dana Rp 11,2 triliun! Proyek itu juga menyedot dana yang tak sedikit dari pemerintah daerah dan masyarakat. Untuk itu, kiranya Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi segera mengusut peruntukan dan aliran seluruh dana itu, serta menghukum berat para koruptor apabila ternyata mereka berpesta pora dalam proyek itu.

Hakim konstitusi Akil Mochtar seusai persidangan di Gedung Mahkamah Konstitusi pada 8 Januari lalu tegas mengisyaratkan bahwa kehadiran Pasal 50 Ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijadikan payung hukum bagi proyek RSBI/SBI terkesan dipaksakan.

”Undang-Undang Sisdiknas itu tidak memberikan penjelasan, tiba-tiba pasal itu muncul begitu saja sehingga (harus) dibatalkan,” kata Akil. Jadi, keberadaan norma dalam pasal itu tak memiliki penjelasan dalam pasal-pasal sebelumnya. Fakta adanya ”pasal siluman” ini mengingatkan pada berbagai modus kongkalikong antara eksekutif dan legislatif dalam sejumlah kasus korupsi. KPK harus turun tangan.

Rakyat Sudah Letih

Setelah MK menyatakan RSBI/SBI inkonstitusional dan harus dibubarkan, Mendikbud M Nuh secara normatif menyatakan menghormati dan akan melaksanakan keputusan MK. Namun, pada saat yang sama, ia menyerukan agar para guru dan siswa RSBI/SBI tetap berkegiatan seperti biasa. Hal serupa dinyatakannya terhadap keputusan Mahkamah Agung beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa ujian nasional harus dihentikan. Namun, hingga kini ia berkeras menyelenggarakan ujian nasional—suatu hal yang menunjukkan pembangkangan hukum.

Semua kemelut itu, selain membingungkan dan menyedihkan, bisa dimaklumi jika juga membangkitkan rasa apatis sekaligus amarah publik. Hendak dididik jadi apa sebenarnya bangsa kita? Sudah 67 tahun merdeka, tetapi pemerintah tak juga mampu merumuskan dan membuat desain besar pendidikan bangsa yang jelas, bernas, dan holistik. Sebuah kebijakan pendidikan yang bisa dipahami akal sehat dan mudah dilaksanakan di lapangan di semua unit pendidikan serta adil bagi seluruh rakyat.

Rakyat sudah letih menjadi bangsa pariah dunia yang moralnya ambruk oleh semeru korupsi, yang pemerintahannya begitu lemah tanpa visi, yang kementerian pendidikannya begitu limbung tanpa arah.

Kerusakan bangsa ini hanya bisa dihentikan jika, pertama-tama, Kemdikbud dan Kementerian Agama yang juga menangani institusi pendidikan sebagai mercusuar intelektualitas dan moralitas berhenti menjadi sarang koruptor. Kedua, Kemdikbud dan Kementerian Agama harus mengibarkan visi membangun manusia Indonesia yang berilmu, berakhlak mulia, dan kukuh jati diri; serta misi membangun lembaga pendidikan nasional yang membuat anak didik bahagia belajar dan cinta belajar sepanjang hayat. Ketiga, semua pihak harus sadar bahwa semua itu tak akan mewujud jika tak dimulai dengan penanganan ekstra serius terhadap pendidikan anak usia dini!

Yudhistira ANM Massardi; Pengelola Sekolah Gratis TK-SD Batutis Al-Ilmi di Bekasi

11/01/13

Waspadai Sektarianisme

Azyumardi Azra

Jika pemirsa mengamati berita atau ”teks berjalan” TV berita di Tanah Air, kita sering menemukan berbagai tindakan kekerasan sektarianisme di banyak negara Timur Tengah.

Aksi kekerasan itu biasanya mengambil bentuk pengeboman rumah ibadah, makam tokoh agama dan tempat suci lain, pasar, dan jalan raya. Aksi sektarianisme hampir tidak pernah henti; dan bahkan cenderung meningkat setiap akhir pekan—Kamis sore sampai Sabtu malam, hari libur, di Timur Tengah.

03/01/13

Kepemimpinan Trisakti

Airlangga Pribadi Kusman

Pada awal musim hujan yang baru turun di tanah Jakarta, kami sekumpulan dosen, aktivis kemanusiaan, dan jurnalis dari Aceh sampai Papua—bertemu dalam forum Sukarelawan Indonesia untuk Perubahan. Selama tiga hari kami bertukar pengalaman bersama tentang persoalan di antara kita dalam konteks keindonesiaan.

Salah satu persoalan penting yang kami diskusikan terkait dengan kepemimpinan Indonesia. Bagi kami, kepemimpinan Indonesia menjadi problematik ketika hanya diputuskan segelintir lapisan sosial elite Jakarta yang memiliki akses dominan atas kekuasaan ekonomi-politik di negeri ini. Kepemimpinan Indonesia ke depan—yang melingkupi gugus kebinekaan Indonesia dalam segenap dimensinya—sudah saatnya dirundingkan oleh segenap pluralitas Indonesia, terutama kaum muda.

Persoalan kepemimpinan Indonesia menjadi tantangan ke depan sekaligus krisis dalam kehidupan kita berbangsa. Krisis kepemimpinan Indonesia ini tampil dalam beberapa indikator utama, yang memperlihatkan runtuhnya prinsip-prinsip dalam Trisakti yang pernah dicanangkan oleh Soekarno pada 1963 sebagai parameter kemajuan bangsa. Tiga prinsip itu adalah berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi, dan berkepribadian dalam ranah sosial-kebudayaan. Meskipun Trisakti ini diucapkan hampir 50 tahun lalu, tetapi prinsip-prinsipnya masih relevan dalam konteks demokratisasi di Indonesia.

02/01/13

Forum Kebudayaan Dunia

Radhar Panca Dahana

Pemerintah Indonesia yang diprakarsai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono—setidaknya menurut brosur yang ada—akan menyelenggarakan Forum Kebudayaan Dunia (WCF) di Bali tahun 2013.
Ide ini menjadi buntut atau epigon dari forum-forum dunia lain seperti di Davos untuk bidang ekonomi dan di Brasilia untuk bidang sosial.

Tema utama WCF adalah bagaimana memosisikan kebudayaan sebagai katalis(ator) pembangunan berkelanjutan. Artinya bagaimana menempatkan kerja-kerja kebudayaan, produk-produknya, hingga cara berpikir pada kedudukan yang tinggi dalam cara kita bernegara dan berbangsa. Artinya kita memperhitungkan khazanah nilai, norma, tradisi, estetika, dan etika sebagai pertimbangan yang sama, utamanya dengan, katakanlah, politik dan ekonomi yang selama ini menjadi panglima.