25/10/12

Berkorban Tak Sekadar Berkurban

A Mustofa Bisri

Akhirnya, setelah sekian lama mendambakan dan tak kunjung mempunyai anak, permohonan Nabi Ibrahim agar dianugerahi anak dikabulkan oleh Tuhannya.

Allah menganugerahinya seorang anak yang sabar. Ketika si anak sudah cukup dewasa untuk membantu ayahnya bekerja, tiba-tiba sang ayah memberitahukan bahwa ada isyarat Tuhan untuk menyembelih si anak. ”Bagaimana pendapatmu?” kata sang ayah. Dengan tenang, si anak menjawab, ”Ayahku, laksanakan saja apa yang diperintahkan kepada ayah. Insya Allah ayah akan mendapatkan anakmu ini tabah.”

Ketika bapak-anak itu bertekad bulat berserah diri sepenuhnya untuk melaksanakan perintah Allah dan Nabi Ibrahim telah merebahkan anak kesayangannya itu di atas pelipisnya, ketika itu pula keduanya membuktikan kepatuhan dan kebaktian mereka. Dan, Allah pun mengganti si anak dengan kurban sembelihan berupa kambing yang besar.

Meskipun ritual kurban (dengan ”u”) konon sudah dilakukan sejak putra-putra Nabi Adam, Habil dan Qabil, peristiwa yang dituturkan dalam kitab suci Al Quran itulah yang jadi dasar persyaratan kurban setiap Idul Adha (Hari Raya Kurban).

Nabi Ibrahim rela mengorbankan putranya dan putranya ikhlas dijadikan kurban demi Tuhan mereka. Bagi Nabi Ibrahim dan putranya, Tuhan adalah nomor satu. Allah adalah segalanya. Siapa pun dan apa pun tidak ada artinya di hadapan-Nya. Demi dan untuk-Nya, apa pun ikhlas mereka korbankan; sampai pun anak atau nyawa sendiri.

22/10/12

Demokrasi di Persimpangan Jalan

Asrudin

Freedom House, lembaga riset dan advokasi di bidang demokrasi dan hak asasi manusia terkemuka di AS, pada 17 September 2012 memublikasikan hasil penelitiannya terkait pembangunan demokrasi di 35 negara, periode 1 April 2009-31 Desember 2011.

Hasil laporan penelitian itu diberi judul ”Countries at the Crossroads 2012”. Bersama negara-negara ASEAN lain, seperti Vietnam, Malaysia, dan Kamboja, Freedom House memasukkan Indonesia dalam daftar negara-negara yang demokrasinya berada di persimpangan jalan.

20/10/12

Siapa Suruh Datang Jakarta

Acep Iwan Saidi

Akhir Februari 2012 Jokowi datang ke Jakarta dengan sebuah harapan. Bukan untuk menjadi gubernur, melainkan mengantarkan mobil Esemka mengikuti uji emisi. Dan, kita tahu, Jokowi tidak berhasil.

Terlalu naif jika mengatakan bahwa kegagalan uji emisi tersebutlah yang memotivasi Jokowi bekerja keras memenangi pencalonannya sebagai gubernur DKI. Namun, hal itu setidaknya menjadi salah satu penanda perkenalan Jokowi dengan Jakarta.

15/10/12

Biarkan Kepala Negara Bicara

Radhar Panca Dahana

Ketika saya melaksanakan gagasan untuk mengoordinasi seniman dan budayawan dan pergi ke kantor Komisi Pemberantasan Korupsi, seorang seniman bertanya secara retoris: ”Apakah momennya masih tepat?” Pertanyaan itu tentu bertalian dengan pidato Presiden tentang penyelesaian kisruh antara KPK dan Polri pada Senin malam, 8 Oktober 2012, sehari sebelum 20-an seniman dan budayawan menyambangi KPK.

Bahkan ada budayawan yang menyatakan, ”KPK sudah menang 2-0!” Artinya, buat apa kita menambah gol untuk pertempuran yang sudah dimenangi? Saya tidak merenung dengan pernyataan dan pertanyaan retoris itu. Saya segera menyatakan, persoalan mutakhir di seputar korupsi di negeri ini bukanlah soal kemenangan temporer, setelak apa pun, apalagi jika hanya ditujukan pada ”pertempuran” antara dua lembaga yang memiliki wewenang penyidikan korupsi itu.

08/10/12

Negeri Tawuran

Azyumardi Azra

Tawuran antara SMA Negeri 70 dan SMA Negeri 6 yang mengorbankan jiwa peserta didik, belum lama ini, hampir dipastikan hanyalah gejala dari penyakit akut yang terus dan bahkan kian diderita negeri ini. Lihatlah, sebelumnya seorang mahasiswa Universitas Muslim Indonesia Makassar juga tewas karena tawuran antarfakultas.

Pada saat yang sama, tawuran antarkampung dan antardesa juga terus terjadi di berbagai tempat dari waktu-waktu. Kejadian mengenaskan yang hampir selalu mengakibatkan hilangnya nyawa terjadi tidak hanya di desa-desa yang jauh dari jangkauan aparat keamanan, juga di perkotaan—seperti Jakarta—yang lengkap dengan personel Polri yang semestinya dapat bergerak cepat.

06/10/12

Ketoprak yang Tidak Lagi Lucu

Franz Magnis-Suseno

Menurut para ahli, jumlah orang ”PKI” dan ”terlibat” yang dibunuh pada Oktober 1965-Februari 1966 minimal setengah juta dan maksimal 3 juta orang. Angka terakhir disebut oleh Sarwo Edhie, Komandan Resimen Pasukan Komando Angkatan Darat yang berperan menumpas PKI kala itu.

Kalaupun kita mengasumsikan angka korban terkecil (500.000 orang), pembunuhan itu masih termasuk empat pembantaian paling mengerikan yang pernah dilakukan umat manusia dalam bagian kedua abad ke-20.

04/10/12

Negara tanpa "Recht"

Mochtar Pabottingi

Apa yang kita sebut krisis multidimensi sebetulnya bersimpul satu, yaitu tiadanya Rechtsstaat. Kata recht di sini menghimpun semua kebajikan atau moralitas publik: benar, adil, beradab, patut, sah, dan berharkat. Para pemikir politik mulai dari Aristoteles, Rousseau-Kant-Hegel, hingga ke John Rawls, Ian Shapiro, dan Michael Sandel selalu menekankan moralitas ini.

Sejak pengujung abad ke-18, moralitas publik bertumpu pada kolektivitas politik egaliter bernama bangsa atau nasion yang lahir dari solidaritas kesejarahan dan kesatuan cita-cita besar politik. Serempak, moralitas publik juga lahir dari tuntutan peradaban akan niscayanya menghormati harkat setiap individu warga nasion. Perpaduan antara rasa bernasion dan penekanan pada harkat tiap warga nasion inilah yang melahirkan negara dengan sistem demokrasi. Aktualisasi sistemik dari moralitas publik ini kemudian juga dikukuhkan di atas prinsip transparansi dan akuntabilitas, begitu pula prinsip pemisahan kekuasaan dan kesetaraan di depan hukum. Sejak pengujung abad ke-18 itu, negara-negara nasion pelopor demokrasi modern di Amerika dan Eropa Barat kurang lebih berkiprah, bertumbuh maju, dan bersinar dengannya.